ASSALAMU'ALAYKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH... SELAMAT DATANG DI BLOG BUNDANYA AZMI

Jumat, 31 Januari 2014

Novel: Ketika Cinta Harus Bersabar

PART 1
Ketika Cinta Harus Bersabar 
By NURLAILA ZAHRA
Copas by Iloveoriginalkawanimut



Ya Rabbi, entah siapa yang tadi aku lihat. Malaikatkah?
atau mungkin seorang alim yang menjelma seperti Malaikat?
Entahlah. Tapi yang pasti, hatiku langsung berdetak kencang
tatkala kedua mataku menatap tak sengaja wajah putih bersih
nan berwibawa itu yang sempat melintasi penglihatanku.
Sampai sekarang, sosok ‘malaikat’ itu masih melekat dalam
benakku.

Sore tadi, Mama mengajakku kerumah salah seorang
sahabatnya yang tengah sakit. Awalnya aku menolak karena
memang editan tulisanku belum selesai aku revisi kembali.
Besok lusa harus segera aku serahkan ke pihak penerbit untuk
dipelajari dan untuk selanjutnya di terbitkan menjadi sebuah
buku novel yang siap untuk dibaca.

Aku seorang penulis novel yang memang belum terlalu
termasyhur seperti Habiburrahman El Shirazy, Azimah
Rahayu, Helvy Tiana Rossa, dan masih banyak nama-nama
penulis lainnya yang menjadi penulis idolaku sekaligus
menjadi inspirasiku dalam menulis. Dua novelku sudah
beredar di pasaran. Yang pertama berjudul Kerlingan Hati
dan yang kedua berjudul Episode Jingga. Alhamdulillah
kedua novelku itu laris manis di pasaran. Dan sekarang, aku
sedang menggarap novelku yang ketiga yang judulnya masih
aku rahasiakan. Tapi lagi-lagi karena mamaku tersayang
mengajakku pergi menjenguk temannya yang sedang sakit,
jadilah aku merubah semua jadwalku duduk didepan
komputer untuk merevisi ulang novelku, untuk ikut mama
pergi menjenguk temannya. Mau bilang apa lagi? toh kalau
mama sudah beralasan,”Dinda, nanti kalau sampai penyakit
mama kumat di jalan, bagaimana?”. Hfh…tak tega rasanya
kalau sampai penyakit asma mama kumat ditengah jalan.
Semoga saja tidak.

Aku berangkat bersama mama tepat setelah shalat Ashar
kami tunaikan. Aku tidak pernah tahu teman mama yang satu
ini. Mama bilang dia itu bernama Ibu Rahayu. Teman mama
semasa kuliah dulu. Aku hanya mendengarkan mama
bercerita banyak tentang sahabatnya itu yang katanya
lumayan cantik dan mempunyai seorang suami yang juga
tampan dan seorang anak laki-laki yang menurut mama
sangat cocok untuk dijadikan seorang menantu.

”Bu Rahayu itu punya seorang anak laki-laki. Mama lupa
namanya siapa. Tapi yang pasti dia itu cocoklah untuk
dijadikan seorang menantu”

Hfh…aku hanya menghela nafas mendengar celotehan
mama yang menurutku hanya sebuah pengharapan seorang
ibu yang menginginkan anak perempuannya segera menikah.
Menikah. Semua gadis yang sudah cukup umur juga pasti
berharap ingin segera mempunyai pendamping hidup yang
sesuai dengan kriterianya. Ya…minimal seseorang yang baik,
sholeh, bertanggung jawab, dan dapat menerima keadaan diri
apa adanya. Tapi kalau memang belum jodoh mau diapakan
lagi? Aku hanya berharap seorang yang soleh yang bersedia
menjadi suamiku.

* * *
Tepat disebuah rumah bernuansa minimalis kami turun
dari mobil yang aku kendarai sendiri. Diluar sudah ada
seorang perempuan paruh baya yang membukakan pintu
rumah untuk kami. Ibu itu lalu menyuruh kami masuk karena
dia sudah tahu bahwa kami akan datang untuk menjenguk Ibu
Rahayu. Sekantong buah-buahan aku serahkan padanya.
Diapun segera mengantar kami memasuki kamar Bu Rahayu.
Di dalam aku melihat seorang ibu yang sudah sedikit tua
dengan wajah pucat pasinya berbaring diatas tempat tidur
berselimutkan kain yang sangat tebal. Kepalanya ia tutup
dengan sebuah kerudung pendek. Dialah Bu Rahayu.
Senyumnya segera menyambut kami ketika ia lihat wajah
kami nampak dari balik pintu. Mama dan Bu Rahayu segera
berpelukan tatkala keduanya dipertemukan kembali setelah
beberapa tahun tidak bertemu. Tangis kebahagiaanpun
membuncah disana. Aku hanya bisa menatap mereka dengan
penuh haru. Beberapa saat lamanya aku menjadi orang yang
terasing didalam kamar itu.

Tiba-tiba Bu Rahayu menegurku dengan sapaan yang
lembut. Tegurannya itu membuat aku tersadar dari
lamunanku.

”Ini pasti Dinda ya?” Tanya Bu Rahayu.

”I..iya bu..” Jawabku tergagap. Aku segera meraih
tangannya dan kucium. Aku kembali tersenyum padanya.
”Sudah besar ya? Berapa usia kamu sekarang?” Tanya Bu
Rahayu lagi yang membuat aku ragu-ragu untuk
menjawabnya.

”Ehm...27 tahun bu” Sahutku tanpa semangat yang
membara. Entah mengapa setiap kali ada seseorang yang
menanyakan berapa usiaku, aku selalu menjawabnya tanpa
mempunyai semangat. Mungkin karena sampai sekarang aku
belum juga menikah.

”Tahu darimana Lis kalau aku sakit?” Tanya Bu Rahayu
pada Mama. Aku menarik kursi yang disediakan oleh ibu tua
tadi sambil mendengar jawaban Mama.

”Dari Rudi. Kebetulan kemarin aku bertemu dia di pasar.
Dan dia bilang katanya kamu sakit. Memang kamu sakit apa
sih Yu?” Mama balik bertanya.

”Tahulah Lis. Aku juga bingung sendiri dengan sakitku”
Jawab Bu Rahayu dengan mata berkaca-kaca. Sesaat
kutangkap sepertinya ada yang mengganjal dalam hatinya.
Diapun mulai bercerita.

”Beberapa hari yang lalu ada yang menawarkan seorang
muslimah padaku untuk dijadikan istri oleh anakku....”

”Oh iya, mana anakmu itu? Kok tidak kelihatan? Siapa
namanya?” Cerocos Mama memotong pembicaraan Bu
Rahayu. Bu Rahayu menghela nafasnya dan menjawab
dengan nada datar. Aku memperhatikannya dengan seksama.

”Anakku itu bernama Yusuf Abdul Fattah. Masa kau lupa
sih Lis?”

”Oh iya! Maaf..maaf, namanya juga orang tua. Lanjutkan
Yu!” Kata Mama seraya menyuruh Bu Rahayu untuk
melanjutkan ceritanya.

”Aku sempat melihat gadis itu. Wajahnya cantik,
perilakunya baik, ahklaknya pun bagus. Dia berjilbab, sama
seperti Dinda” Lanjut Bu Rahayu sambil melirik kearahku
ketika dia menyebutkan namaku. Aku hanya tersenyum dan
meneruskan mendengar cerita Bu Rahayu.

”Setelah aku tawarkan pada si Yusuf, lha kok dia malah
menolak. Katanya, kurang cocok dengan seleranya. Asal
kamu tahu saja ya Lis, ini untuk yang kelima kalinya dia
menolak untuk dinikahkan. Kamu tahu sendiri, usianya Yusuf
itu tidak beda jauh dengan usianya Dinda. Apalagi coba yang
mau dicari dengan umur segitu kalau bukan istri. Aku sampai
stres memikirkannya dan akhirnya aku jatuh sakit. Nah itulah
penyebab sakitku saat ini” Ucap Bu Rahayu menutup
ceritanya. Sesekali kulihat dia membenarkan posisi duduknya
yang bersandar pada sebuah bantal.

”Sekarang dia kemana bu?” Tanyaku tiba-tiba saja. Aku
juga kaget. Kenapa aku menanyakan hal itu? Aku sendiri
tidak tahu alasannya.

”Sekarang dia sedang menebus obat ibu di apotik.

Perginya sih dari tadi, mungkin sebentar lagi juga pulang”
Jawab Bu Rahayu tenang. Suasana kembali lagi seperti
semula. Mama dan Bu Rahayu kembali larut dalam
perbincangan masa lalunya, sedangkan aku hanya dapat
mendengarkan mereka berbincang tentang suatu hal yang
baru bagiku.

Beberapa saat lamanya waktu berjalan, tiba-tiba dari luar
kamar terdengar suara seorang laki-laki mengucapkan salam
dan membuka pintu secara perlahan. Aku, Mama, dan Bu
Rahayu pun segera mengarahkan pandangan kami ke arah
suara itu. Perlahan-lahan pintu itu terbuka dan...Subhanallah!
Seorang laki-laki tampan dengan kemeja dan celana
bahannya datang dengan membawa sekantong kecil obat.
Aku berdiri dari dudukku tanpa melepaskan pandanganku
dari laki-laki itu. Sesaat lamanya aku menatap dia yang
sedang mencium tangan Bu Rahayu kemudian mengatupkan
kedua tangannya pada Mama. Aku seperti terbius oleh
keindahan zahirnya. Aku tersadar tatkala dia mengucapkan
salam padaku dan mengatupkan kedua tangannya juga
padaku.

”Assalamu’alaikum” Ucapnya lembut sambil menunduk.

”Wa..wa’alaikummussalam” Sahutku dengan sedikit
tergagap. Aku segera menundukkan pandanganku dari
wajahnya dan kutarik nafasku secara perlahan. Entah
mengapa saat ini jantungku berdebar-debar.

Kudengar Bu Rahayu memperkenalkan laki-laki itu
sebagai anaknya yang bernama Yusuf Abdul Fattah dan dia
juga memperkenalkan Mama sebagai sahabat lamanya dan
juga memperkenalkan aku pada Yusuf. Sesaat aku mencuri
pandang padanya. Astaghfirullah! Ucapku dalam hati.
Kembali kutarik nafasku dalam-dalam.

Tak berapa lama, laki-laki yang kukenal bernama Yusuf
itu meminta diri untuk keluar dari kamar. Aku tak berani lagi
menatap wajahnya. Takut dosa. Aku hanya dapat mendengar
suaranya yang dengan lembut mengucapkan salam. Aku
menjawab salamnya dengan pelan. Tak berapa lama, Mama
dan Bu Rahayu mengganti topik pembicaraan mereka dengan
masalah Yusuf.

Aku berusaha mengendalikan perasaanku. Entah
mengapa, seperti ada yang berbeda dalam hatiku setelah aku
melihat Yusuf tadi. Aku jadi teringat perkataan Mama.

”Bu Rahayu itu punya seorang anak laki-laki. Mama lupa
namanya siapa. Tapi yang pasti dia itu cocoklah untuk
dijadikan seorang menantu”.

Apa mungkin bisa ya? Pikirku sudah mulai ngaco
kemana-mana.

Sepanjang perjalanan pulang aku tak bisa memfokuskan
fikiranku. Sesampainya dirumah aku sudah tak memikirkan
editan tulisanku di komputer. Yang menjadi pikiranku
sekarang adalah, apakah sosok ”malaikat” itu yang menjadi
harapan Mama? Oh....Rabbi, selamatkan aku dari penyakit
hati ini. Teriakku dalam hati.

Adzan Maghrib sudah berkumandang. Aku segera
bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.



 PART 2
Ketika Cinta Harus Bersabar  
 By NURLAILA ZAHRA

Hari berganti hari, aku sudah tak lagi memikirkan sosok
”malaikat” itu. Dan aku berusaha untuk tidak
memikirkannya. Kemarin sore aku mendapat sebuah
undangan dari sahabatku, Arini, teman satu kantor. Hari ini
dia akan menikah. Aku tertawa sendiri melihat namanya yang
manis bertengger didalam undangan pernikahannya yang
berwarna kuning keemasan, bersebelahan dengan nama
seorang ikhwan1 yang sangat aku kenal, Fauzi. Yang jelas-jelas
aku ingat dulu Arini sempat tidak suka pada ikhwan
yang mempunyai potongan rambut belah tengah itu dan
berkaca mata.

Menurut Arini -sebelum akhirnya dia luluh juga pada
Fauzi- Fauzi itu sosok seorang ikhwan yang paling aneh yang
pernah ia kenal. Wajahnya yang biasa-biasa saja dengan
aksesoris kaca matanya yang tak pernah ia tinggalkan,
membuat Arini ilfill terhadapnya. Apalagi gaya bicaranya
yang menurut Arini seperti perempuan, semakin menguatkan
argumennya bahwa Fauzi itu bukan ikhwan tulen. Aku hanya
tersenyum mendengarnya tanpa bisa memberikan komentar
apa-apa soal Fauzi karena ternyata, diam-diam Fauzi
menyimpan perasaan pada Arini.

Aku tahu hal itu dari Fauzi sendiri. Suatu ketika Fauzi
pernah mengirimkan email padaku yang meminta tolong agar
aku mau mengatakan pada Arini kalau dia suka padanya dan
hendak melamarnya. Aku sempat terkejut membaca pesan
itu. Jarak antara ruanganku dengan ruangan Fauzi tidak jauh.
Kami memang satu kantor tapi kami tak pernah bertemu lama
walaupun hanya sekedar berbincang-bincang.

Setelah membaca ulang emailnya, aku segera menulis
balasan email untuknya.

Wa’alaikumussalam. Wr. Wb
Fauzi, apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu? Kalau peranku
hanya sekedar menyampaikan pesanmu pada Arini, mungkin aku bisa bantu.
Tapi kalau untuk lebih jauhnya, afwan, lebih baik kamu hubungi saja
murabbi3nya. Kalau kamu mau, aku bisa memberikan alamat dan nomor
teleponnya padamu. Kebetulan aku mengenalnya. Bagaimana? Afwan ya.

Segera kukirim email itu padanya dan kuketik sms
untuknya yang mengatakan bahwa aku sudah memberikan
balasan emailnya. Aku melanjutkan tugasku kembali.
Mengedit beberapa tulisan yang sudah masuk kedalam
redaksi kami. Kantor tempat aku bekerja adalah perusahaan
majalah Islam yang cukup terkenal di Jakarta.
Tak berapa lama ponselku berdering. Kulihat. Satu pesan
diterima. Dari Fauzi. Kubuka. Isinya :

Baiklah Mbak. Aku minta almt & nomor tlp murabbinya Arini. Smg ini bs
membntuku. Krm via email ya Mbak? Syukran4.
Aku tak membalas smsnya. Segera kubuka buku
agendaku dan kucari nama Mbak Nurma, murabbi Arini.
Ketemu. Tanpa berlama-lama, aku langsung mengetik nama,
alamat, dan nomor telepon Mbak Nurma dan segera kukirim
via email, sesuai dengan permintaan Fauzi. Setelah aku
megirimnya, aku kembali mengetik sms untuknya.
Almtnya sdh aku krm. Smg itu bs mmbntu dlm ikhtiarmu mncri jodoh y?
Smg sukses. Afwan.

Aku kembali larut dalam kerjaanku yang sedari tadi
tertunda oleh urusan Fauzi. Tak berapa lama kemudian,
ponselku berbunyi lagi. Aku tak mengindahkannya. Aku
yakin itu dari Fauzi yang ingin mengucapkan terima kasih
padaku. Kerjaanku sedang banyak-banyaknya dan sebentar
lagi tulisan-tulisan ini harus segera diserahkan kepercetakan.

* * *

Aku tersenyum sendiri melihat undangan manis yang kini
masih tergeletak di atas meja riasku. Peranku dalam usaha
Fauzi menemukan jodohnya hanya sampai disitu. Aku
sungguh tak menyangka kalau Fauzi memang benar-benar
menginginkan Arini menjadi istrinya. Satu hal yang aku ingat
saat aku berbincang-bincang dengan Arini dulu.

”Rin, membenci seseorang itu boleh saja. Tapi harus
sewajarnya. Tidak boleh kita membenci orang lain tanpa
alasan yang tidak jelas. Ingat lho Rin! Janganlah kamu
membenci orang lain dengan sangat membencinya, karena
bisa saja suatu hari kamu jadi menyukainya. Begitu juga
sebaliknya. Jika kamu menyukai orang lain ya sewajarnya
saja, sebab bisa jadi suatu hari kamu akan berbalik
membencinya. Saat ini mungkin kamu tidak suka dengan
penampilan dan gaya bicara Fauzi. Tapi bisa jadi suatu saat
kamu malah justru berbalik menyukainya. Ingat! Hal itu ada
haditsnya lho Rin”

Sikap Arini saat itu hanya diam. Mungkin dia sedang
memikirkan hal yang baru saja aku katakan. Dan sekarang,
aku sungguh tak percaya. Hari ini dia akan menikah dengan
seorang ikhwan yang dulu sempat ia benci zahirnya.
Hah...jodoh memang sulit ditebak. Yang setiap hari
bertengkar, ternyata dikemudian hari malah menjadi jodoh.
Sedangkan yang sudah lama menjalin hubungan, malah putus
ditengah jalan. Yap! Aku jadi lebih yakin kalau jodoh itu
memang rahasia Allah. Dan bisa saja jodoh yang tengah
disiapkan Allah untukku adalah seseorang yang tidak pernah
aku duga sebelumnya.

Diluar, Mama mengetuk pintu kamarku dan minta izin
untuk masuk. Akupun mengizinkan. Dia berdecak kagum
ketika melihat aku berdandan sangat beda hari ini.

”Wah...wah!! Mau kemana sih kamu Din? Pagi-pagi
begini sudah rapi sekali? Ada acara apa?” Tanya Mama
sambil matanya terus memandangiku dari atas kebawah.

”Tuh, lihat saja Ma!” Jawabku sambil menunjuk sebuah
undangan berwarna kuning keemasan diatas meja riasku.
Tanganku sibuk mengaitkan peniti di jilbabku. Mama
mengambil undangan itu dan membacanya.

”Undangan pernikahan, Arini Musdalifah dengan Fauzi
Nur Alamsyah” Ucap Mama mengeja huruf-huruf yang
terangkai dengan indah di undangan tersebut.

”Oh...ini Arini yang pernah main kesini ya Din? Yang
pernah konsultasi sama kamu masalah lamaran....siapa itu?”
”Fauzi Ma!” Sahutku.

”Iya Fauzi. Lha kok jadi nikah begini? Katanya nggak
suka, kok jadi nikah?” Tanya Mama penasaran.

”Ma, jodoh itu rahasia Allah. Kita nggak tahu dengan
siapa nantinya kita akan menikah. Kalau Arini tadinya nggak
suka sama Fauzi, tapi kalau memang Allah sudah
menggarisakan jodohnya mereka ya mau diapakan lagi?”
Jawabku meyakinkan Mama.

Mama hanya mengangguk-angguk pelan sambil terus
membaca undangan Arini. Tiba-tiba ia menyampaikan
sesuatu padaku yang membuat hatiku bertanya-tanya.

”Oh iya Din, nanti malam keluarganya Bu Rahayu akan
datang kesini”

”Keluarganya Bu Rahayu?” Tanyaku dengan menatap
wajah Mama dengan serius.

”Iya. Bu Rahayu yang tempo hari pernah kita jenguk.
Kamu ingat kan?”

Aku mengangguk pelan. Mana mungkin aku lupa. Dari
kunjungan itu aku melihat sesosok manusia alim bernama
Yusuf Abdul Fattah. Yang menjadi maksud pertanyaanku
pada Mama barusan adalah untuk apa Bu Rahayu datang
kemari dengan membawa serta keluaganya? Aku mencoba
bertanya pada Mama.

”Untuk apa mereka kemari Ma?”

”Ya sekedar silaturrahimlah. Kan sudah lama tidak
bertemu. Sekalian ada yang mau kami bicarakan” Jawab
Mama yang memberikan sebuah tanda tanya besar untukku.
Membicarakan apa?

”Siapa saja yang nanti datang bersama Bu Rahayu?”

Tanyaku makin penasaran.

”Nggak banyak. Ya Bu Rahayu, suaminya, dan anaknya
yang kemarin” Jawab Mama tenang, tapi tidak bagiku. Tibatiba
saja hatiku berdebar hebat ketika Mama menyebutkan
”anaknya yang kemarin”.

”Nanti jangan pulang malam-malam ya? Ikut temuin Bu
Rahayu dengan keluarganya” Ucap Mama sambil beranjak
pergi dari hadapanku. Aku masih terpaku dengan ucapan
Mama. Dia ikut? Sosok ”malaikat” itu nanti malam akan
datang? Oh Rabbi, kenapa aku ini? Kenapa aku jadi gelisah
seperti ini?

Aku segera membereskan barang-barangku dan langsung
bergegas pergi menuju pesta walimatul ursy-nya Arini dan
Fauzi. Tak lupa aku membawa sebuah bingkisan untuk
mereka. Sejenak aku lupakan dulu rasa tidak tenangku.

* * *

Sepulang dari walimatul ursy-nya Arini, aku langsung di
ajak oleh Shanti, teman satu halaqah5ku ke Istora Senayan
karena disana sedang ada acara pameran buku Islami atau
Islamic Book Fair. Hari ini terakhir diadakan. Kupikir tidak
ada salahnya menghabiskan waktu disana sambil membeli
beberapa buku untuk referensi novel terbaruku.

Selepas Ashar aku langsung menuju kesana. Suasana
disana sangat penuh oleh ikhwan dan akhwat6 yang berjubel
ingin masuk. Aku dan Shanti bahkan hampir terpisah karena
sesaknya orang yang berebut masuk. Yang aku tahu dari
pusat informasi disana, hari ini ada temu penulis novel
bestseller ”Ayat Ayat Cinta”, Habiburrahman El Shirazy, jadi
pantas saja kalau banyak orang yang berbondong-bondong
datang untuk melihat Kang Abik secara langsung.

Aku yang mendengar hal itupun segera mencari tempat
lokasi temu penulis ”Ayat Ayat Cinta”. Secara, aku juga
sangat mengidolakan Kang Abik sebagai penulis inspirasiku
dalam menulis novel.

Beberapa buah buku referensi telah aku dapatkan.
Kebanyakan dari buku yang aku beli adalah novel dan
beberapa buku penunjang untuk bahan penulisan novelku.
Lain lagi dengan Shanti. Dia lebih tertarik dengan buku-buku
yang membahas tentang perjalanan hidup Nabi Muhammad
saw dan para sahabatnya. Secara, dia itu adalah seorang guru
agama Islam di Sekolah Menengah Pertama Islam Taman
Qur’aniyah di daerah Poltangan, Jakarta Selatan.

Di saat langkahku tengah mendekati ruang Anggrek,
tempat dimana acara temu penulis ”Ayat Ayat Cinta” digelar,
aku melihat sosok ”malaikat” yang pernah kulihat dirumah
Bu Rahayu. Dialah Yusuf. Dia berdiri di stand Penerbit
Cakrawala sambil membuka lembar demi lembar buku yang
dipegangnya. Disebelahnya berdiri seorang ikhwan yang
tengah mengajaknya berbicara.

Entah ada angin apa, tiba-tiba saja Shanti menarik
tanganku dan membawaku ke stand Penerbit Cakrawala. Dia
bilang ingin membeli sebuah buku karangan Dr. ’Aidh bin
Abdullah alqarni dengan judul Jangan Takut Hadapi Hidup.
Aku terkejut dibuatnya. Yusuf belum beranjak dari
tempatnya berdiri. Sedangkan aku berdiri persis
membelakanginya. Dia tidak tahu kalau aku ada
dibelakangnya. Atau mungkin, kalaupun dia melihatku, bisa
saja dia tidak mengenaliku atau lupa padaku.

Shanti masih saja mencari buku yang dia maksudkan.
Sedangkan aku pura-pura melihat-lihat buku yang sekarang
ada dihadapanku. Samar-samar aku mendengarkan dia
berbicara dengan temannya.

”Suf, ente bener hari ini nggak mau ikut ane kerumah
Sandi? Ente nanti nyesel lho!” Ucap temannya Yusuf dengan
semangat.

”Bener akhi7, ana nggak bisa ikut nih. Hari ini ana mau
pergi sama orang tua kerumah teman mereka” Jawab Yusuf
dengan nada penuh penyesalan.

”Ente jadi ikut sama orang tua ente? Kirain cuma mainmain.
Jadi dong nyebar undangan?” Tanya temannya yang
tiba-tiba saja membuat hatiku bertanya-tanya. Undangan?!

”Ah, antum jangan begitu dong. Ana lagi pusing nih
memikirkan permintaan orang tua” Sahut Yusuf.

”Lagi sih ente. Ane bilang buru-buru lamar si Alifa, eh
ente bilang nanti-nanti dulu. Ya terima deh nasib dijo...”

”Sstt!!” Tiba-tiba Yusuf memotong pembicaraan
temannya itu.

”Udah yuk ah, ana mau langsung pulang nih. Nanti Ibu
marah, terus jatuh sakit lagi” Lanjutnya menutup
perbincangan dia dan temannya. Aku semakin bertanyatanya.
Ada masalah apa sebenarnya dengan Yusuf? Apa yang
diminta orang tuanya padanya?

Shanti menyadarkanku dari pertanyaan yang belum
sempat aku temukan jawabannya. Dia sudah mendapatkan
buku yang diinginkannya. Baru beberapa langkah aku
menuju ruang Anggrek, tiba-tiba ponselku berdering.
Kuangkat. Dari Mama.

”Ya Ma?” Sapaku langsung pada Mama.
”Din, kamu dimana sekarang? Cepat pulang. Sebentar
lagi keluarganya Bu Rahayu akan segera datang” Ucap
Mama dengan nada sedikit kesal.

”Iya Ma. Sebentar lagi Dinda akan pulang. Mama tunggu
sajalah dirumah. Paling Bu Rahayu juga akan telat
datangnya” Ucapku meyakinkan Mama. Sebab aku tahu,
Yusuf saja masih ada di Senayan.

”Sok tahu kamu. Dari dulu itu Bu Rahayu orangnya
selalu tepat waktu. Sudahlah jangan membantah. Pokoknya
sebelum Maghrib, kamu harus sudah sampai dirumah” Ucap
Mama sambil menutup teleponnya. Sepertinya Mama agak
marah padaku. Mau diapakan lagi. Dengan berat hati aku
langkahkan kakiku menuju keluar Istora Senayan dan itu
artinya aku tidak jadi melihat Kang Abik secara langsung.
Tapi satu yang masih aku pikirkan. Apa kira-kira yang
diminta oleh orang tuanya Yusuf pada Yusuf?
 


PART 3
 Ketika Cinta Harus Bersabar  
By NURLAILA ZAHRA

Sampai dirumah tepat ketika azan Maghrib
berkumandang. Mama menyuruhku untuk segera mandi dan
langsung menunaikan shalat Maghrib. Kuturuti apa kata
Mama. Papa yang hendak pergi ke masjid tak pernah
sedikitpun berkomentar tentang kerepotan Mama
menyuruhku ini dan itu.

Selepas mandi dan shalat Maghrib, Mama lagi-lagi
menyuruhku dengan suatu hal yang menurutku aneh.
”Din, coba kamu pakai ghamis kamu yang warna biru tua
ini. Sepertinya bagus deh!” Pintanya sambil mengambil
sebuah ghamis yang dimaksudkan dari dalam lemariku.
”Untuk apa sih Ma? Ini kan hanya acara silaturahim saja
kan? Nggak usahlah pakai baju yang berlebihan. Kayak mau
pergi saja” Tolakku tanpa mau mengindahkan permintaan
Mama. Kuperhatikan ghamis biru tua itu yang menurutku
lebih cocok dipakai keacara walimahan.

”Eh, malam ini kamu harus tampil cantik. Pokoknya
harus spesial. Awas kalau tidak. Mama akan marah sama
kamu. Dipakai ya?” Pinta Mama sekali lagi. Aku hanya Bisa
termenung sendirian dikamar sambil memikirkan perkataan
Mama barusan. Apa sih yang sebenarnya diinginkan Mama
dariku? Sehingga aku harus mengenakan ghamis itu.
Kuturuti saja permintaan Mama. Aku masih tidak
mengerti ada apa dibalik semua kedatangan keluarga Bu
Rahayu malam ini.

Pukul tujuh malam kurang lima belas menit keluarga Bu
Rahayu datang. Aku heran, apa mereka sudah shalat
Maghrib? Mama dan Papa menyambut kedatangan mereka
dengan hangat. Aku tidak ikut menyambut mereka karena
aku sedang sibuk membuatkan minum dibelakang.
Hatiku tiba-tiba saja berdesir tatkala Mama menyebut
nama Yusuf. Ya, dia datang malam ini. Jantungku yang
seolah tenang, kini menjadi berdegup dengan kencangnya.
Kutarik nafas dalam-dalam lalu kuhembuskan. Dari ruang
tamu, Mama memanggil namaku.

”Dinda!! Kesini sebentar. Temui dulu ini keluarga Bu
Rahayu!” Teriak Mama.

”Iya sebentar Ma!” Sahutku sembari mengelapkan
tanganku pada sebuah kain. Aku bergegas melangkah
menemui mereka diruang tamu. Sekali lagi kutarik nafasku
dalam-dalam lalu kuhembuskan.

Wajah yang pertama kali kulihat adalah wajah Bu
Rahayu, kemudian laki-laki bertubuh besar dengan kumis
diwajahnya. Mungkin dia suaminya. Aku tak berani
mengalihkan pandanganku pada Yusuf. Kuraih tangan Bu
Rahayu lalu kucium. Dan kukatupkan kedua tanganku pada
suaminya dan....Yusuf pastinya. Bu Rahayu memuji
penampilanku.

”Wah!! Malam ini Dinda cantik sekali. Cocoklah” Ucap
Bu Rahayu padaku. Ucapan itu membuat sebuah tanda tanya
besar dihatiku. Cocok?!

”Ah, Bu Rahayu bisa saja. Terima kasih atas pujiannya”
Sahutku sambil meminta diri. Aku ingat aku sedang
membuatkan minum dibelakang. Mereka mengizinkan. Tibatiba
saja kedua mataku beradu pandang dengan Yusuf. Uh!!
Bergetar rasanya hati ini. Kutarik nafasku dan kuhembuskan
ketika sudah sampai didalam.

Di belakang, aku lanjutkan membuat minum. Kutata kuekue
di atas piring yang tadi siang Mama beli di pasar. Samarsamar
kudengar perbincangan Mama, Papa, dan keluarga Bu
Rahayu di depan. Biasalah, membincangkan masa lalu.

Sambil membawa lima cangkir air teh hangat dan 2 toples
kue-kue kering, aku melangkah keruang tamu. Wajahku
masih menunduk. Tak berani aku mengangkat kepalaku. Bu
Rahayu dan suaminya yang kuketahui bernama Pak Sardi
mengucapkan terima kasih padaku, kecuali Yusuf. Dia hanya
diam. Aku memberikan senyumku pada Bu Rahayu dan
suaminya.

Aku berbalik kebelakang sebelum akhirnya aku
mendengar Yusuf mengucapkan terima kasih padaku. Aku
menoleh sesaat dan mengangguk padanya. Aku kembali
kebelakang dengan perasaan yang tak menentu. Yang pasti,
perasaan senang itu tiba-tiba saja merasuki jiwaku.
Aku kembali kebelakang dan kuambil dua piring berisi
kue-kue yang tadi sudah kutata. Kusuguhkan pada mereka
dan kembali kebelakang lagi. Awalnya Mama menyuruhku
untuk tetap tinggal diruang tamu tapi aku menolaknya.
Kudengarkan dengan jelas perbincangan mereka dari
ruang tengah. Sambil memainkan sebuah sendok, aku
mendengar Pak Sardi bersuara.

”Ya, tujuan kami datang kesini ini kan, selain untuk
menyambung silaturrahim juga untuk membicarakan suatu
hal yang sangat penting, menyangkut anak-anak kita yang
sudah besar-besar. Betul tidak Pak, Bu?”

”Ya ya, betul betul” Sahut Papa.

”Saya yakin Bapak sama Ibu pasti sudah tahu apa tujuan
kami datang kesini” Lanjut Pak Sardi.

”Saya hendak melamar putri kalian untuk anak kami,
Yusuf. Bagaimana Pak, Bu?”

”Prang!!” Sendok yang tadi aku mainkan terjatuh. Ya,
sendok itu terjatuh karena aku terkejut mendengar perkataan
Pak Sardi barusan. Dadaku sesak. Mulutku serasa kelu
dibuatnya. Keringat dingin tiba-tiba saja membasahi sekujur
tubuhku. Perlahan aku mendengar jawaban Papa.

”Ya, kami sangat senang atas keinginan Bapak dan Ibu
untuk menjadikan anak kami sebagai menantu. Merupakan
suatu kebanggaan bagi kami bisa berbesan dengan Bapak dan
Ibu. Dengan senang hati kami menerima pinangan itu.
Semoga ini menjadi langkah awal untuk kebaikan kita
bersama”

”Amin!” Jawab semuanya serentak.
Dalam hati aku bertanya-tanya. Kenapa Papa tidak
menanyakan hal itu padaku dulu? Kenapa Papa menerima
pinangan itu secara sepihak tanpa mau berkompromi dulu
denganku? Tapi, biarpun Papa tidak menanyai hal itu
kepadaku dulu juga, sebenarnya aku mau menerimanya.
Oh, senangnya hatiku!! Ternyata Yusuf menyukaiku.
Jodoh memang benar-benar rahasia Allah. Aku tidak
menyangka bahwa jodohku adalah seseorang yang baru saja
kukenal. Tapi, bagaimana dengan sifat-sifat Yusuf? Aku kan
belum begitu mengenalnya. Ah! Setelah menikah nanti, kami
akan sama-sama belajar sifat kami masing-masing. Oh Rabbi,
senangnya hati ini. Tiba-tiba aku mendengar Mama
memanggil namaku.

”Dinda! Kesini sebentar Nak!”

Aduh! Bagaimana ini? Aku panas dingin. Kakiku gemetar
dan sulit untuk diajak berjalan. Tapi mau tidak mau aku harus
memenuhi panggilan Mama.

”Iya Ma, sebentar” Sahutku sambil menata diri agar tidak
tampak gugup. Aku menunduk. Kuberanikan diriku menatap
wajah Yusuf, yang kini telah menjadi calon suamiku. Dia
masih menunduk. Aku beristighfar dan duduk disamping
Mama.

”Kamu sudah mendengar kan, Apa yang barusan kami
perbincangakan?” Tanya Mama sambil mengusap-usap
bahuku. Aku mengangguk pelan.

”Lalu bagaimana dengan kamunya? Menerima tidak?”
Tanya Mama yang sebenarnya ingin langsung kujawab

”Mau..mau!!” Tapi aku malu. Aku lebih memilih untuk diam
sejenak sambil menatap satu per satu wajah yang ada diruang
tamu, terutama Yusuf. Lalu aku bersuara.

”Dengan segala kerendahan hati, dengan segala
kekurangan dan kelebihan yang aku miliki, maka dengan
menyebut nama Allah....” Kutarik nafasku perlahan.

”Aku menerimanya” Lanjutku.

Lega rasanya hati ini. Semua yang ada diruang tamu
tertawa bahagia. Kecuali, Yusuf. Aku menatapnya dengan
penuh tanya. Ada apa dengannya? Dia hanya menunduk.
Sesekali bibirnya tersenyum ketika matanya menatap wajah
Mama atau Papa. Tapi sepertinya, senyumnya berbeda.
Senyum yang aku tangkap darinya, seperti bukan senyum
kebahagiaan. Tidak. Pasti saat ini dia sedang menutupi rasa
gugupnya, sama seperti aku. Setiap orang kan pasti berbedabeda
dalam menyembunyikan rasa gugupnya.

Aku tepis perasaan itu. Yusuf juga pasti mempunyai
perasaan yang sama terhadapku. Saat ini aku hanya ingin
melewati malam yang indah ini bersama keluarga besarku.
Papa, Mama, Pak Sardi, dan Bu Rahayu mulai membicarakan
semua proses pernikahan. Aku sangat bahagia malam ini.

* * *
 

PART 4
Ketika Cinta Harus Bersabar

By NURLAILA ZAHRA



Semuanya sudah ditentukan. Prosesi pernikahan jatuh
pada tanggal 23 April 2007. Akad dan walimatul ursy-nya
akan diadakan bersamaan di Masjid Raya At Taqwa Pasar
Minggu. Baju pengantin yang nantinya akan aku dan Yusuf
kenakan pun sudah ditentukan. Dan mahar, aku minta agar
Yusuf cukup memberikan aku seperangkat alat shalat, satu
buah Al-Qur’an, sebuah cincin emas, dan hafalan surat Al
Ikhlas. Persiapan ini memang terkesan terburu-buru, namun
mau diapakan lagi, toh yang meminta semua ini adalah
keluarga Yusuf.

Setelah semua selesai dan beres dengan rapi, Yusuf dan
keluarganya pamit pulang. Aku pun ikut mengantarkan
mereka sampai depan pintu. Aku masih belum menemukan
senyum yang berarti dari Yusuf. Sampai pulang pun dia tak
sedikitpun menatapku. Aku mulai berpikir yang macammacam.
Setelah mereka pulang, aku langsung membereskan
cangkir-cangkir dan piring-piring yang kotor diatas meja.
Tiba-tiba Mama memberikan sebuah amplop putih padaku.

”Apa ini Ma?” Tanyaku heran.

”Surat dari calon suamimu” Jawab Mama membuat
hatiku berbunga-bunga. Aku tertawa sendiri menerima surat
itu. Mataku mulai berair. Segera saja kupeluk erat tubuh
Mama.

”Makasih ya Ma? Akhirnya aku menemukan jodohku”
Ucapku sedikit serak.

”Iya. Mama doakan supaya kamu selalu bahagia” Sahut
Mama sambil membelai kepalaku yang masih tertutup jilbab.
Aku beranjak kekamarku untuk menaruh surat dari Yusuf di
atas meja belajar. Tak sabar rasanya ingin cepat-cepat
membukanya. Tapi aku harus mencuci dulu semua piringpiring
kotor didapur.

Setelah selesai, aku langsung bergegas melangkah
kekamar. Amplop putih itu kini seperti harta yang paling
berharga untukku. Tak rela rasanya bila harus kehilangan
kata-kata dalam surat yang ditulis Yusuf untukku. Sekarang
aku yakin, Yusuf bersikap seperti itu tadi karena dia merasa
gugup. Buktinya sekarang aku menerima surat darinya. Lebih
tepatnya lagi, surat cinta dari kekasihku. Oh...aku jadi
romantis begini. Sejak bertatap muka dengannya, hatiku ini
memang sepenuhnya dipenuhi rasa cinta padanya.
Kubuka perlahan surat itu. Isinya,

Assalamu’alaikum. Wr. Wb
Kepada yang terhormat
Dinda Altharina Puteri
Di tempat
Aku sengaja menulis surat ini dengan tulisan
tanganku sendiri. Berharap kau bisa merasakan apa
yang aku rasakan saat ini. Aku tak tahu lagi apa yang
harus aku lakukan ketika orang tuaku memaksaku
untuk menikah denganmu. Asal kau tahu saja, pinangan
atas dirimu sebenarnya bukan aku yang menginginkan,
melainkan orang tuaku.

Mereka bilang, sejak pertama kali melihatmu, hati
mereka langsung tergerak untuk menjadikanmu sebagai
menantu. Lagi pula orang tuaku dan orang tuamu
berteman sejak lama. Tapi maaf, itu semua diluar
kemauanku. Dan maaf sekali lagi, aku tidak pernah
berniat menikahimu. Semua ini adalah rencana orang
tuaku dan orang tuamu untuk menjodohkan kita.
Aku tahu hal ini adalah hal bodoh yang pernah aku
lakukan sepanjang hidupku. Aku juga tahu bahwa jika
semua ini benar-benar terjadi, maka akan banyak orang
yang aku bohongi. Terlebih lagi, aku akan menjadi
seorang pecundang dan pengecut karena telah menyakiti
perasaanmu.

Tapi aku juga tidak bisa berbuat lebih banyak lagi
sebab melihat kondisi ibuku yang sudah sangat lemah,
aku takut bila aku menolak permintaanya, sakitnya
akan semakin parah. Asal kau tahu saja, dua hari yang
lalu ibuku masuk rumah sakit karena aku menolak
permintaannya.

Jadi aku mohon, bantulah aku memainkan sandiwara
ini didepan orang tua kita masing-masing. Aku tahu
segala sesuatunya itu akan dipertanggung jawabkan
dihadapan Allah Azza wa Jalla, tapi aku tak bisa berbuat
banyak lagi untuk hal ini.

Aku merasa, belajarku selama beberapa tahun tentang
Islam sia-sia saja karena akhirnya aku harus
membohongi banyak orang atas kepura-puraanku
mencintaimu. Maaf sekali lagi.

Pernikahan bukanlah suatu hal yang main-main
untuk dijalankan. Terlebih lagi bila tidak dilandasi
dengan rasa cinta. Sesungguhnya, ada ’nama’ lain yang
mengisi relung hatiku. Dan sepertinya, mulai saat ini
aku harus menghapus ’nama’ itu dan berusaha
menggantinya dengan ’namamu’.

Jika memang tak ada cara lain lagi untuk kita
mencegah kebohongan ini, maka sebagai langkah awalku
dalam menjalankan kehidupan baruku nanti, aku
ceritakan semuanya ini padamu. Jujur. Tidak ada yang
ditambahkan atau dikurangkan. Aku tidak mau
mengawali semua ini dengan kebohonganku pada dirimu.
Maafkanlah aku yang tak mencintaimu.

Mungkin ketika membaca surat ini, matamu sudah
dipenuhi dengan air mata. Aku akan berusaha
mengganti air matamu itu dengan usahaku untuk dapat
mencintaimu. Maaf, beribu-ribu maaf aku minta
kepadamu.

Tolonglah malam ini kau shalat tahajud dan minta
kepada Allah agar memberikan yang terbaik untuk kita.
Aku tak sanggup, bila selamanya harus menyakitimu.
dengan kepalsuan cintaku.

Dan tolong jangan ceritakan hal ini pada siapapun.
Aku yakin kau mengerti seperti apa posisiku. Sekian
dulu surat dariku. Bila semua ini kurang berkenan
dihatimu, mohon dibukakan pintu maafmu untukku.

Afwan
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb
Dari Seorang Pengecut
Yusuf Abdul Fattah

Remuk redam rasanya jiwa ini ketika aku membaca surat
itu. Air mata sudah tak dapat lagi kubendung. Aku merasa
hatiku hancur berkeping-keping. Aku merasa dunia ini
menjadi gelap di penglihatanku. Orang yang aku cintai
ternyata tidak pernah mengharapkanku. Dan sikapnya yang
tadi kulihat janggal, ternyata benar adanya. Tiba-tiba aku
merasa bahwa Yusuf adalah manusia terjahat yang pernah
aku temukan selama hidupku. Tapi spekulasi itu tetap tidak
bisa mengalahkan perasaanku yang sejak awal sudah
dipenuhi rasa cinta padanya.

Sekarang aku mengerti apa yang diminta oleh Bu Rahayu
padanya. Dan sekarang aku lebih mengerti apa yang
dibicaraknnya pada temannya di book fair tadi. Yang
dimaksudkan menyebar undangan adalah undangan
pernikahanku dengan Yusuf. Dan ’nama’ lain yang
dimaksudkannya adalah nama ... Alifa. Nama seorang akhwat
yang tadi disebut-sebut oleh temannya Yusuf. Oh Alifa,
mengapa tiba-tiba aku jadi merasa cemburu padamu?
Sebenarnya seperti apa sosok dirimu sehingga membuat
Yusuf jatuh hati padamu?

Aku merasakan air mata kembali menetes membasahi
kedua pipiku. Sebuah berita menggembirakan yang baru saja
aku dengar beberapa saat lalu, tiba-tiba saja berubah bagai
kilat yang menyambar yang menghantam tubuhku dan
membuatnya hancur berkeping-keping. Kalau saja aku tahu
hal ini dari awal, aku tidak akan pernah mau menerima
lamarannya. Tapi, aku juga tidak mau melihat Bu Rahayu
jadi jatuh sakit. Oh Ya Rabbi, tolonglah hambaMu ini.

Aku bangkit dari dudukku. Aku berusaha mengumpulkan
kembali sisa-sisa kepingan hatiku yang tadi hancur
berserakan. Kulirikkan mataku ke jam dinding. Sudah cukup
malam dan aku teringat, aku belum shalat Isya. Sekuat tenaga
aku berdiri dan melangkahkan kakiku ke kamar mandi untuk
mengambil air wudhu. Mataku memerah tapi kutahan untuk
menangis dihadapan Mama dan Papa. Mereka tidak boleh
tahu akan hal ini.

Malam ini akan kuadukan semuanya pada Dzat Yang
Maha Memberikan rasa, agar Yusuf dapat menemukan arti
dari sebuah makna cinta sejati.

* * *
Hari ini hari Minggu. Pagi ini aku kelihatan lesu dan tidak
berdaya. Seusai shalat subuh, tilawah qur’an beberapa
halaman, dan wirid ma’tsurat aku langsung bergegas mandi
dan membereskan rumah. Hari ini aku ingat ada jadwal liqa8
pukul sepuluh nanti. Seusai membereskan rumah, aku
langsung membuat sarapan seperti biasanya. Makan satu meja
bersama Mama dan Papa.

Di tengah menyantap nasi goreng yang kubuat, tiba-tiba
Papa menegurku.

”Din, kamu kenapa? Sepertinya lesu sekali pagi ini?”

Tanya Papa mengejutkanku dari lamunan. Kupandangi wajah
Papa dengan tatapan hampa.

”Iya nih Din. Mama perhatikan dari tadi kok kamu diam
saja. Seharusnya kamu senang dong, kan semalam baru
dilamar oleh Yusuf. Dapat surat lagi darinya” Imbuh Mama
melanjutkan. Tiba-tiba aku teringat akan surat dari Yusuf
yang isinya sangat menghancurkan hatiku. Aku termenung
sendiri sambil menatap segelas susu putih kepunyaanku.
Andaikan saja hatiku ini bisa seputih susu itu.

”Din! Ada apa sih kamu?” Tegur Mama padaku. Aku
kembali tersadar dari lamunanku.

”Ehm....Pa, Ma, ada yang mau aku bicarakan” Ucapku
tanpa pikir panjang lagi. Hatiku semakin galau.

”Mau membicarakan apa?” Tanya Papa.
Kutarik nafasku dalam-dalam.

”Setelah semalaman aku berpikir ulang kembali, aku
memutuskan untuk.... menolak lamaran Yusuf”

”Apa?!” Teriak Papa dan Mama berbarengan.

”Iya Pa, Ma, aku memutuskan untuk tidak menikah
dengan Yusuf” Kataku lagi mempertegas perkataanku
sebelumnya.

”Kamu sudah ngaco apa? Hari pernikahan dan segala
persiapannya itu sudah ditentukan, Dinda. Lagi pula, kenapa
tiba-tiba kamu menolaknya? Bukankah semalam kamu
kelihatan bergembira sekali menerima lamaran Yusuf? Bahkan
Yusuf sampai menuliskan surat cinta untukmu. Lalu apa yang
menyebabkanmu sampai berubah pikiran?” Tanya Mama
dengan penuh ketegasan.

Andai saja Mama dan Papa tahu apa isi surat itu, pasti
kalianpun akan melakukan hal yang sama sepertiku. Bahkan
aku yakin, Papa dan Mama tidak akan rela melepaskan aku
pada seseorang yang tidak mencintaiku. Tapi aku tidak akan
memberitahukan semua ini pada kalian. Cukup aku saja yang
menderita.

”Dinda?” Tegur Mama.

”Ya Ma? Ehm....”

Sesungguhnya aku tidak mempunyai jawaban atas
pertanyaan Mama. Ya Allah, jawaban apa yang harus aku
berikan pada Mama dan Papa?
”Ehm...A, aku merasa kurang pantas saja Ma bersanding
dengan Yusuf. Aku merasa, lebih baik dia bersanding
dengan wanita lain saja dari pada dengan aku” Jawabku
sekenanya.

”Tapi Din, dia itu jelas-jelas sudah memilihmu untuk
menjadi pendampingnya. Jadi untuk apa lagi kau
menolaknya?” Tanya Papa penuh ketegasan. Aku diam seribu
bahasa. Dalam hati aku menjawab pertanyaannya.

”Yang sebenarnya memilihku bukanlah Yusuf Pa, tapi
orang tuanya. Orang tuanya yang menginginkan aku jadi
menantunya, bukan Yusuf”

Aku hanya bisa menunduk dan pasrah dalam ketidak
berdayaanku. Sejurus do’a kupanjatkan pada Yang Kuasa
agar semuanya bisa berjalan dengan baik. Mama kembali
bersuara.

”Din, usiamu sudah menginjak 27 tahun. Mau cari yang
seperti apa lagi kalau yang seperti Yusuf saja kamu tolak?”
Ucap Mama berusaha meyakinkanku. Aku rasa pertanyaan
Mama tak perlu kujawab. Aku hanya menjawabnya dalam
hati.

”Aku hanya ingin mencari suami yang sholeh dan dapat
mencintaiku apa adanya, Ma” Ucapku dalam hati.
Aku beranjak pergi dari hadapan Mama dan Papa.
Mereka hanya bisa memandangiku berjalan kekamar. Di
kamar, kubuka buku harianku dan kutuliskan semua
kegundahanku dalam buku itu dengan air mata berlinang.

Tanpa kusadari air mataku itu jatuh membasahi tulisanku.
Aku tak sanggup lagi dengan keadaan ini. Tapi aku
kembali ingat, bahwa Allah tidak akan pernah memberikan
suatu cobaan kepada hambaNya diluar batas kemampuan
hambaNya. Dan sampai sekarang aku selalu ingat salah satu
ayat itu yang terdapat di Surat Al Baqarah. Kalau memang
Allah sudah mempercayakan cobaan itu padaku, maka aku
yakin akupun bisa mengatasinya. Allah tidak pernah salah
dalam bertindak. Mana mungkin Allah salah? Mungkin ini
adalah sebuah cobaan atas diriku untuk mencapai tingkat
derajat taqwa yang lebih tinggi. Jika aku sabar
menghadapinya, itu berarti aku lulus. Tapi kalau tidak, maka
aku belum bisa mencapai derajat taqwa yang lebih tinggi itu.
Aku yakin, setiap manusia itu mempunyai kadar
kesanggupannya masing-masing.

Dan yang tahu kadar itu
hanyalah Allah swt. Bahkan manusia pun belum tentu
mengetahui kadar itu, karena manusia hanya bisa mengeluh
dan mengeluh tanpa mau berpikir kenapa Allah memberikan
cobaan itu. Yang manusia bisa lakukan hanyalah meratapi
nasib yang sudah ada tanpa mau berusaha untuk
mengubahnya. Padahal kalau diingat-ingat lagi, Allah itu
mengikuti prasangka hambaNya. Pertanyaannya bukan,
Kenapa Allah memberikan cobaan ini? Tapi lebih tepatnya
lagi, Apa hikmah dibalik cobaan yang Allah berikan? Dan
tugas seorang manusia itu ialah mencari hikmah yang
terkandung dari semua cobaan yang telah Allah berikan.
Itulah sikap manusia sejati.

Dan aku? Aku akan berusaha untuk menjadi manusia
sejati itu. Aku tidak boleh kalah oleh keadaan. Biar
bagaimana pun, hidup ini masih dan harus terus berjalan. Aku
yakin, akan ada hikmah dibalik semua cobaan ini.
Ya, saat ini, bagiku, mencintai calon suamiku adalah
cobaan untukku. Dan pastinya, akan ada suatu kebaikan yang
terkandung jika aku bersabar dalam mencintainya. Dan janji
Allah itu pasti, Innallaha Ma ’ashshobirin. Allah itu selalu
bersama orang-orang yang sabar. Sabar dalam beribadah,
sabar dalam melakukan perbuatan, sabar dalam mengarungi
kehidupan, dan sabar bila kita mencintai seseorang yang tidak
mencintai kita. Sabar, sabar, dan sabar. Itulah yang sekarang
sedang berusaha aku lakukan. Aku akan selalu bersabar,
menanti pintu hatinya terbuka untuk dapat menerima cintaku.
Pukul sembilan kurang sepulih menit. Aku harus bersiapsiap
pergi liqa ketempat Mbak Rianti, murabbiku. Hari ini
aku ada jadwal kultum. Aku tak mau terus menerus
memikirkan masalahku dengan Yusuf sementara masalahku
yang lain masih menunggu uluran tangan untuk aku
selesaikan. Aku jadi mempunyai tema kultum yang baru
untuk aku sampaikan kepada teman-teman. Tema itu adalah
tentang kesabaran. Apa itu sabar, kenapa kita harus sabar,
dan apa gunanya kita bersabar, semuanya akan aku bahas di
forum halaqah nanti. Sekalian aku akan meyampaikan kabar
gembira sekaligus menyedihkan untukku. Gembira karena
sebentar lagi aku akan menikah. Dan menyedihkan karena
laki-laki yang menikahiku sesungguhnya tidak mencintaiku.

Tapi kabar menyedihkan itu tak akan aku sampaikan nanti.
Cukup hanya aku, Yusuf, dan Allah saja yang tahu.
Rabbi, kuatkanlah diriku. Izinkanlah aku meraih derajat
taqwaMu, Ya Allah......

* * *

PART 5
Ketika Cinta Harus Bersabar

By NURLAILA ZAHRA



Hari pernikahan itu tiba. Aku dan Yusuf didandani ala
pengantin Jawa karena keluargaku dan keluarganya berasal
dari Jawa. Lebih tepatnya lagi, aku dari Jawa Timur dan
Yusuf dari Jawa Tengah. Aku mengenakan pakaian khas
Jawa tapi tetap terbalut oleh jilbab syar’i. Para undangan
banyak sekali yang hadir. Tak terkecuali orang-orang dari
pihak penerbit yang selama ini berjasa dalam menerbitkan
dua novelku. Diantara para undangan yang hadir, ada yang
mengaku kalau mereka adalah penggemar setia novelku. Aku
tak tahu dari mana mereka tahu acara pernikahanku ini. Tapi
yang pasti aku sangat senang karena mereka sangat peduli
padaku. Aku hanya bisa mendo’akan mereka supaya mereka
bisa menemukan jodoh mereka dengan cinta.

Aku duduk bersanding dengan Yusuf. Kulihat wajah
Yusuf tak seperti orang yang sudah menikah pada umumnya.
Wajahnya terlihat murung dan tak bersemangat. Dan yang
mengetahui penyebab kemurungannya itu hanya aku
pastinya. Sesekali dia melebarkan senyumnya pada orang
yang memberikannya selamat. Senyum keterpaksaan
tentunya.

Disela-sela waktuku menerima ucapan selamat dari para
tamu, aku melihat sosok seorang akhwat berjilbab lebar
datang menghampiriku dan Yusuf bersama dengan dua orang
temannya. Aku dan Yusuf berdiri. Setelah mendekat, akhwat
itu dan dua orang temannya mengatupkan tangannya pada
Yusuf sambil memberikan ucapan selamat padanya. Akhwat
berjilbab lebar itu begitu cantik. Dia lalu menjabat tanganku
dan memelukku dengan erat seraya berkata,

”Barakallah ya? Semoga menjadi keluarga sakinah,
mawaddah, wa rahmah” Ucapnya pelan. Dua orang akhwat
yang mengiringinya melakukan hal yang sama terhadapku.
Aku hanya tersenyum pada mereka dan mengucapkan terima
kasih. Aku tak tahu siapa mereka. Tiba-tiba Yusuf bersuara,

”Syukran ya Alifa sudah mau datang” Ucap Yusuf pada
akhwat berjilbab lebar tadi yang kuketahui bernama Alifa.
Alifa hanya mengangguk dan segera meminta diri. Dua
akhwat yang mengiringinya pun mengikutinya.

Kini aku tahu siapa Alifa yang pernah disebut-sebut oleh
temannya Yusuf waktu di book fair tempo hari. Kini aku tahu
siapa Alifa yang disarankan oleh temannya Yusuf itu untuk
segera dilamarnya. Dan kini aku tahu, siapa ’nama lain’ yang
ada di hatinya Yusuf, yang mulai saat ini harus ia ganti
dengan namaku. Nama itu adalah Alifa. Gadis itu adalah
Alifa. Dan impiannya yang sebenarnya juga adalah Alifa.
Bukan diriku.

Aku hampir saja meneteskan air mata kalau saja Mama
tidak mengajakku untuk berphoto bersama. Dalam keramaian
pesta pernikahanku, aku merasa sepi. Sepi sekali. Mulai hari
ini, aku harus menjalani kehidupanku yang baru dengan
seorang suami yang tidak pernah mencintaiku. Aku merasa
sendiri saat ini. Hanya kesabaran yang dapat menguatkan
aku. Sekali lagi, hanya kesabaran yang dapat menguatkan
aku.

* * *

PART 6
Ketika Cinta Harus Bersabar

By NURLAILA ZAHRA



Selesai akad dan walimatul ursy, Yusuf membawaku ke
Hotel Maharani yang terletak di kawasan Mampang Prapatan.
Masih dengan busana pengantin lengkap, aku dan Yusuf
memasuki kamar malam pertama kami. Kamar yang begitu
indah, megah, mewah, dan harum. Tapi semua itu sia-sia saja
kalau malam ini aku dan Yusuf hanya bisa menatapi
keindahan kamar itu dengan perasaan hampa.

Aku tak tahu kenapa Yusuf membawaku ke hotel ini.
Sebelum masuk ke kamar, Mama, Papa, dan orang tua Yusuf
ikut mengantarkan kami. Setelah dirasa cukup, merekapun
pulang. Tinggal aku dan Yusuf yang kini ada di dalam kamar.
Mau apa juga bingung. Aku memutuskan untuk mengganti
pakaianku dengan pakaian biasa yang sudah disiapkan
dikamar. Entah siapa yang menyiapkan. Aku mandi, berganti
pakaian, dan mengambil air wudhu. Tak lupa aku mengajak
Yusuf untuk shalat sunnah dua rakaat. Diapun menuruti.

Tak lama shalat sunnah, azan maghrib berkumandang.

Segera saja Yusuf berpamitan padaku untuk melakukan
shalat Maghrib dan Isya di masjid terdekat. Aku
mengizinkannya. Tapi sebelum itu, aku memintanya untuk
membacakan do’a yang pernah Rasulullah ajarkan. Diapun
mau. Perlahan dia mencium keningku dan membacakan do’a
yang pernah Rasulullah ajarkan, di atas ubun-ubunku. Sejurus
kemudian aku dapati mataku basah dengan air mata. Aku
ucapkan terima kasih padanya. Setelah itu dia melangkah
keluar dan hilang dari pandanganku.

Aku langsung menunaikan kewajiban shalat Maghribku
di kamar sambil menunggu Yusuf pulang dari masjid. Aku
masih merasakan kehampaan disini.

* * *

Pukul delapan malam lebih lima belas menit Yusuf tiba
kembali dikamar. Aku yang selepas shalat Isya lalu tilawah
sebentar, segera bergegas untuk tidur. Tak ada pembicaraan
yang berarti antara aku dan Yusuf. Aku bangkit dari tempat
tidur dan mengambilkan segelas susu putih untuknya. Dia
menerimanya dengan ekspresi biasa-biasa saja lalu
mengucapkan terima kasih padaku. Saat ini aku masih
mengenakan jilbabku. Aku masih belum bisa tampil apa
adanya di hadapannya.

Aku kembali lagi ke tempat tidur dan memiringkan
tubuhku disana. Aku membelakangi Yusuf yang tengah
menikmati susu putih buatanku tadi. Kami masih terjaga oleh
diam. Sesaat lamanya kami melewati waktu dengan kondisi
seperti itu. Tiba-tiba Yusuf bersuara dan memulai
pembicaraan.

”Maafkan aku ya Din?” Ucapnya pelan.

Aku masih terkejut mendengar dia bersuara. Aku tak
menjawabnya dan hanya diam sambil mendengarkan dia
kembali bersuara.

”Aku memang seorang lelaki pengecut yang tidak
mempunyai nyali untuk menghadapi semua kenyataan ini.
Kenyataan bahwa aku harus membohongi kedua orang tuaku,
membohongi kedua orang tuamu, menyakiti hatimu, dan
terlebih lagi, aku harus menyakiti Allah karena telah
melakukan hal ini. Aku sungguh-sungguh lelaki yang tak
berguna. Bahkan ketika aku sudah menjadi seorang suami
pun, seorang imam bagi dirimu, aku tidak bisa sedikit pun
membahagiakanmu. Aku memang pengecut”

Aku dengar suara itu dengan perasaan gamang. Aku tak
bisa berucap apa-apa. Perlahan aku rasakan kedua mataku
basah. Segera aku membasuhnya.

”Maaf, jika karena diriku, kamu harus merelakan
kebahagiaanmu tergadaikan oleh sikapku ini. Mungkin kamu
tidak akan menemukan kebahagiaan itu bersamaku. Tapi aku
selalu berharap, kelak kaupun bisa menemukan
kebahagiaanmu itu” Ucap Yusuf lagi pelan.

”Bagaimana mungkin aku bisa bahagia, bila orang yang
aku cintai tidak bahagia” Ucapku menyahuti perkataan
Yusuf. Aku tak mendengar dia berucap.

”Aku memang memiliki dirimu, tapi aku tidak memiliki
cintamu. Aku memang bukan siapa-siapa dihatimu, tapi aku
berharap....kau tidak lagi memikirkan Alifa” Sambungku
sekenanya.

”Alifa?!” Tanya Yusuf kaget.

”Dari mana kau tahu tentang Alifa?”

Aku bangkit dari tidurku dan kuhadapkan wajahku
padanya. Wajah yang penuh kecemburuan pada seorang
wanita yang bernama Alifa.

”Kau tidak perlu tahu darimana aku tahu tentang Alifa,
yang terpenting, aku hanya minta satu darimu, tolong lupakan
Alifa. Biar bagaimanapun, aku istrimu yang sah. Dan seperti
seorang istri pada umumnya, aku tidak terima kalau kau
masih saja terus memikirkan perempuan lain. Aku bukannya
egois, tapi aku hanya ingin membantumu untuk tidak
menyakiti Allah lebih banyak lagi. Aku yakin kaupun
mengerti akan hal ini” Jelasku sambil menatap kedua
matanya yang jeli.

Kembali aku rebahkan tubuhku di tempat tidur dengan
membelakanginya. Kutarik selimut untuk menutupi tubuhku
dan kumatikan lampu yang ada diatas meja kecil disamping
tempat tidur. Aku berusaha memejamkan mataku sebisanya.
Dalam hati kecilku, aku masih berharap Yusuf mau
menyentuhku dan menganggapku sebagai seorang istri.

Biar bagaimanapun, akupun sama seperti seorang istri pada
umumnya, menginginkan kebahagiaan atas dirinya di malam
pertama pernikahannya. Melakukan ibadah bersama
sebagaimana sepasang suami istri pada umumnya. Memadu
kasih dengan kerelaan hati dan jiwa, diiringi dengan munajat
sepasang pengantin yang tengah dimabuk cinta dan berharap
pahala yang banyak dari Allah swt. Dapat melahirkan
generasi pilihan yang dapat menegakkan kalimat Allah di
muka bumi ini.

Tapi semua harapanku seolah sirna ketika Yusuf lebih
memilih untuk tidur membelakangiku dan mematikan lampu
yang ada disebelahnya. Keadaan kamar saat itu gelap
seketika. Aku tak bisa merasakan apapun kecuali sakit yang
tiba-tiba saja menyusup dalam dada. Aku ingin menjerit, aku
ingin berteriak, tapi aku kembali sadar, bahwa ini hanya
sebuah ujian yang Allah berikan untukku. Dan aku yakin,
akan ada berlimpah-limpah hikmah yang akan aku dapat jika
aku bersabar karenanya.

Rabbi, kuatkanlah aku malam ini........

* * *

Waktu seolah lamban sekali berputar. Malam ini, aku
benar-benar tidak bisa tidur. Entah dengan Yusuf. Berkalikali
aku merasakan tempat tidur yang kami tiduri bergoyang
karena Yusuf sering sekali membalik-balikkan tubuhnya.
Sedangkan aku masih dengan posisiku yang semula. Aku
merasakan pegal yang teramat sangat di bagian pinggangku
karena semalaman aku tidur dengan posisi miring
membelakanginya.

Kuraih ponselku yang tergeletak diatas meja kecil dekat
lampu. Kunyalakan. Ternyata baru pukul setengah tiga pagi.
Sudah bosan rasanya aku dengan keadaan seperti ini. Ingin
berbuat sesuatu, tapi apa? Tiba-tiba aku merasakan Yusuf
bangkit dari tempat tidur. Entah dia berjalan kemana. Aku
enggan menolehkan kepalaku untuk melihat sedang apa dia
sekarang.

Sejurus kemudian aku mendengar dia bersuara.
”Din, aku mau ke masjid. Mau shalat tahajud lalu
menunggu hingga subuh datang” Ucapnya padaku. Aku
dengar dia melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Aku
bingung harus berbuat apa. Seketika saja aku bangkit dari
tidurku dan berlari mengejarnya. Aku berdiri di depan pintu
untuk menghadangnya keluar. Segera saja aku kunci pintu.
Kuncinya aku cabut dan kupegang dengan erat.

”Kau tidak boleh kemana-mana!” Ucapku tegas. Aku
menatapnya dengan tajam. Kulihat pandangannya seolah
bertanya-tanya akan sikapku. Sedangkan aku masih berdiri di
depan pintu sambil mengatur nafasku.

”Kenapa aku tidak boleh? Aku hanya ingin pergi ke
masjid untuk shalat tahajud dan menunggu hingga subuh
datang. Aku hanya ingin shalat” Ucap Yusuf seolah
mempertegas pernyataannya yang pertama tadi.

”Kau tidak boleh kemana-mana sebelum kau melakukan
tugasmu sebagai seorang suami!” Kataku sambil diiringi
dengan nafasku yang tersengal-sengal. Aku yakin tatapanku
begitu meyakinkan untuknya. Dia tidak bersuara sedikitpun.

Tapi raut wajahnya begitu memperlihatkan kebertanyatanyaannya.
Aku kembali berucap.

”Subuh masih dua jam lagi dan kau masih punya waktu
untuk menunaikan tugasmu sebagai seorang suami yang
bukan seorang pengecut!”

Matanya tidak berkedip sedikitpun dan wajahnya terlihat
hampa. Bibirnya bergerak sedikit tapi tidak mengucapkan
apapun. Aku terus saja menatap wajahnya. Tiba-tiba mataku
basah dan sejurus kemudian aku menangis sejadi-jadinya.

Aku menangis karena memikirkan tindakan dan perkataanku
barusan padanya. Aku tersadar. Mana mungkin Yusuf mau
memenuhi permintaanku sedangkan rasa cinta untukkupun
dia tidak punya. Yusuf memandangiku yang sedang
menangis. Tak sedikitpun dia berpikir untuk menghampiriku
untuk sekedar menghapus air mataku.

Ditengah tangisku aku berucap,

”Mungkin aku egois karena tidak memimikirkn
perasaanmu, dan mungkin aku egois karena seakan-akan aku
memaksakan cintamu padaku. Tapi aku ingin tanya, apakah
pernah kau memikirkan perasaanku ketika pertama kali aku
tahu kalau kau tidak mencintaiku? Apakah pernah kau
memikirkan perasaanku ketika surat darimu yang aku kira
surat cinta, ternyata adalah surat yang isinya begitu
menyakitkan untukku? Apakah pernah kau memikirkan
perasaanku ketika kau menyebutkan ada ’nama lain’ di
hatimu dan itu bukan aku? Apakah pernah kau memikirkan
perasaanku ketika di malam-malam menjelang hari
pernikahanku, bukan kebahagiaan yang aku rasakan
melainkan kesedihan demi kesedihan yang terus menyayat
hatiku? Apakah tak tergerak sedikit saja hatimu, ketika kau
melihat air mataku jatuh di malam pertama pernikahanku?
Apakah pernah kau memikirkannya??!” Tanyaku sambil
terus menangis.

Aku tertunduk lemas didepan pintu kamar sambil
sesenggukkan. Berkali-kali aku hapus air mataku tapi air
mata itu keluar begitu saja seiring dengan hatiku yang
semakin sakit akan sikap Yusuf yang biasa-biasa saja
terhadapku. Sesaat lamanya aku menangis dan Yusuf juga
hanya bisa menundukkan kepalanya tanpa berbuat apapun.
Aku semakin gemas dibuatnya. Dia memang laki-laki yang
pengecut. Untuk hal ini saja dia tidak bisa mengambil
keputusan.

Akhirnya aku putuskan untuk membiarkannya pergi. Aku
buka pintu dan kupersilahkan dia untuk pergi. Kemana saja
yang dia mau tanpa harus memikirkan diriku.

”Pergilah!” Ucapku tanpa memandang wajahnya.

”Pergilah kemanapun kau suka. Pergilah ketempat yang
bisa membuatmu tenang. Pergilah agar kau tidak selalu
melihat diriku. Pergilah tanpa kau harus memikirkan diriku
disini. Aku tidak akan memaksamu. Pergilah!!” Perintahku
dengan suara agak serak.

Lagi-lagi kurasakan air mataku jatuh membasahi pipiku.
Segera saja kuhapus. Sesaat kemudian aku mendengar dia
melangkahkan kakinya mendekat kearahku. Tiba-tiba dia
memelukku dengan sangat erat. Aku terkejut dibuatnya. Air
mataku semakin deras membasahi pipi. Di dalam pelukannya
aku berucap,

”Pergilah! Aku sudah bilang aku tidak akan memaksamu.
Pergilah! Jangan biarkan hatimu tersakiti oleh perbuatan yang
sebenarnya tidak ingin kau lakukan. Pergilah! Pergilah!”

Ucapku sambil terus menangis. Yusuf semakin erat
memelukku. Sejujurnya, aku merasakan kehangatan berada
dalam pelukannya.

Tiba-tiba Yusuf menutup pintu kamar dan menguncinya.
Tanpa berucap sepatah katapun dia mengajakku ke tempat
tidur. Kududukkan tubuhku di pinggirannya dan diapun
duduk di hadapanku. Tangannya menghapus air mataku. Dia
menatapku dan berucap,

”Subuh masih dua jam lagi dan aku masih punya waktu
untuk menunaikan tugasku sebagai seorang suami. Dan akan
aku buktikan, bahwa aku bukan seorang pengecut”.

Aku mengerti apa yang diucapkannya. Aku tak
menyahuti perkataannya lagi. Perlahan dia melepas jilbab
yang aku kenakan. Dia membuka ikatan rambutku dan
perlahan tangannya menyentuh kancing-kancing bajuku.

Dia merebahkan tubuhku. Dan dalam kegelapan malam,
aku dan Yusuf melakukan ibadah itu bersama. Melakukannya
dengan penuh kekhusyukkan, ketenangan, meskipun aku
tahu, tak ada cinta yang dia berikan untukku. Tapi sungguh,
malam ini aku benar-benar menjadi seorang istri. Aku selalu
berharap, Allah masih bersedia memberikan sedikit
pahalaNya atas ibadahku dan Yusuf malam ini.

Ya Allah, berkahi malam ini untukku dan suamiku. Amin.


* * *



PART 7
Ketika Cinta Harus Bersabar

By NURLAILA ZAHRA


Tiga hari kami berada di hotel. Tak banyak waktu yang
kami gunakan untuk melakukan segala aktivitas yang
biasanya dilakukan oleh pasangan suami istri yang sedang
berbulan madu pada umumnya. Jalan-jalan bersama, melihat
pemandangan suasana malam di beranda kamar hotel, atau
sekedar sarapan bersama sambil bercerita hal-hal yang indah
yang Bisa membangkitkan keromantisan dalam berumah
tangga. Semua itu hanya impian belaka bagi kehidupanku
yang sekarang. Selepas shalat Subuh, Yusuf pergi keluar dan
baru akan kembali setelah waktu dhuha sudah hampir hilang.
Sedangkan aku, kuhabiskan waktuku sendirian di dalam
kamar sambil membaca buku atau tilawah qur’an sambil
sedikit menghafalnya.

Tadi pagi Yusuf tak pergi kemana-mana. Dia bilang
tugasnya disekolah sudah menumpuk. Dia tak ingin tidak
masuk mengajar lebih lama lagi karena kasihan muridmuridnya.
Ya, Yusuf memang seorang guru fisika di Sekolah
Menengah Pertama Labschool di kawasan Kebayoran. Dari
sekolahnya sebenarnya mengizinkan dia untuk libur sampai
lima hari, tapi dengan alasan banyak kerjaan yang tertunda
kalau dia libur sampai lima hari, akhirnya dia memutuskan
untuk pulang hari ini. Akupun menerima keputusannya dan
berusaha menerima alasannya juga.

Semua barang sudah dikemas dengan rapi. Tak banyak
barang yang kami bawa sebab kami datang kesini langsung
dari pesta walimatul ursy. Hari ini kami sepakat untuk pulang
kerumah orang tua Yusuf yang terletak di kawasan Cawang,
Jakarta Timur. Setelah dirasa cukup, kamipun pulang
meninggalkan hotel. Tak banyak yang kami perbincangkan
selama dalam perjalanan pulang, bahkan seolah tak ada topik
yang enak untuk dibahas bersama. Suasana didalam taksi
benar-benar hening, sunyi, dan senyap.

Sesekali supir taksi yang kuketahui bernama Pah Burhan, berseloroh mengenai
cerita-cerita lucu. Aku dan Yusuf hanya tersenyum kecil lalu
kembali diam. Kadang-kadang Yusuf menimpali dan
menyahuti celotehan Pak Burhan itu. Aku jadi tak berselera.
Di sekitar kawasan Jalan MT. Haryono taksi yang kami
tumpangi berhenti. Bukan karena mogok atau kehabisan
bensin, tapi karena macet tengah menghadang kami. Cukup
lama taksi terjebak oleh kemacetan itu. Ditengah hiruk pikuk
kota Jakarta, tiba-tiba saja Pak Burhan mengeluarkan
pertanyaan yang membuatku dan Yusuf saling bertatap muka.

”Oh iya, kalian ini suami istri kan?” Tanyanya sambil
melihat kaca spion yang ada di atas kepalanya. Aku dan
Yusuf mengangguk.

”Kenapa memang Pak?” Tanya Yusuf.

”Ah tidak. Saya takut saja kalau kalian ini bukan suami
istri tapi kok keluar dari hotel. Ternyata kalian memang
benar-benar suami istri.

Syukurlah” Ucap Pak Burhan sambil sesekali membasuh peluh yang mengalir di pelipisnya.

Suaranya menunjukkan sekali keciri khasannya bahwa dia ini
orang Batak.

”Kenapa Bapak bertanya seperti itu?” Tanyaku tiba-tiba.

”Tidak. Tidak kenapa-kenapa. Habis saya perhatikan dari
tadi, kalian ini kok hanya diam-diaman saja tanpa berbicara
sedikitpun. Kenapa rupanya kalau saya boleh tahu?” Tukas
Pak Burhan.

Aku dan Yusuf terdiam. Aku mengalihkan pandanganku
kearahnya dan diapun begitu. Lalu kami mengembalikan
pandangan kami ke luar. Aku tak tahu jawaban apa yang
harus aku berikan untuk pertanyaan Pak Burhan yang
sebenarnya bisa aku jawab dengan jawaban, ”Kami seperti ini
karena suami saya tidak mencintai saya Pak”. Tapi aku hanya
bergumam dalam hati. Pak Burhan kembali bertanya.

”Waduh!! kalian ini kenapa malah diam lagi? Kalau
memang saya tidak boleh tahu, ya tidak apa-apa. Tapi kalau
saya boleh saran, janganlah suami istri itu saling diam dan
acuh tak acuh. Tidak baik itu. Kalian itu dipertemukan oleh
Allah dan sepatutnyalah kalian bersyukur akan hal itu. Kalau
memang kalin punya masalah, maka selesaikanlah secara
baik-baik. Dibicarakan apa permasalahannya lalu carilah
jalan keluarnya secara bersama-sama. Dan semua itu butuh
komunikasi yang kuat. Tidak diam-diaman seperti ini.

Macam mana pula kalian ini. Saya ini hidup berkeluarga itu
sudah hampir 36 tahun, tapi keadaan rumah tangga saya dan
istri baik-baik saja, karena kami selalu membicarakan apapun
yang menurut kami mengganjal dihati. Seperti itulah kalian
berdua.” Jelas Pak Burhan panjang lebar.

Aku yang mendengarnya benar-benar tersentuh. Memang
benar apa yang di katakan Pak Burhan. Segala sesuatunya itu
memang harus dibicarakan agar tidak ada kesalah pahaman.
Tapi apa yang mau dibicarakan kalau semuanya sudah jelas
kalau keadaan seperti ini disebabkan oleh ketidak mampuan
suamiku untuk mencintaiku. Aku perhatikan Yusuf hanya
terdiam. Mungkin diapun tengah memikirkan perkataan Pak
Burhan barusan.

”Kalau saya boleh tahu lagi, sudah berapa lama kalian ini
menikah?” Tanya Pak Burhan lagi mengejutkanku.

Kuarahkan pandanganku padanya. Kali ini Yusuf menjawab,
”Baru tiga hari Pak”

”Wah! Wah! Wah! Baru tiga hari rupanya. Pengantin
barulah kailan. Kuucapkan selamat ya? Berarti, ke hotel
kemarin itu untuk bulan madu ya? Wah! Bergembiralah
kalian. Berapa ronde sudah kalian mainkan?” Tanya Pak
Burhan membuatku bingung.

”Berapa ronde apanya Pak?” Yusuf balik bertanya.

”Ah! Masa kalian tidak mengerti. Itu, ronde kalian
bermain cinta. Masa tidak mengerti. Kaulah anak muda.
Pura-pura saja kau tidak mengerti. Tapi maklumlah aku,
namanya juga pengantin baru. Jadi masih perlu banyak
belajar” Tukas Pak Burhan santai. Aku dan Yusuf saling
berpandangan sesaat lalu kembali terdiam.

Taksi sudah mulai berjalan. Kamipun terlepas dari
jebakan macet. Yusuf lebih memilih diam tanpa mau
menjawab pertanyaan Pak Burhan tadi. Aku sendiri
memikirkan perkataan Pak Burhan.

”Namanya juga pengantin baru, jadi masih perlu banyak
belajar”

Ya, aku dan Yusuf memang masih harus banyak belajar.
Belajar untuk lebih sabar dalam menghadapi kenyataan
hidup, belajar untuk lebih bisa menerima keadaan kami satu
sama lain, belajar untuk bisa lebih bersyukur atas segala
nikmat yang diberikan Allah, dan belajar untuk lebih bisa
menghargai dalam mencintai. Belajar, belajar, dan belajar.
Itulah yang sekarang sedang aku dan Yusuf usahakan dalam
mengisi hidup ini.

Utlubul ilma minal mahdi ilallahdi.

* * *
Sesampainya dirumah, aku dan Yusuf langsung disambut
hangat oleh orang tua Yusuf yang kini telah menjadi
mertuaku, dan juga orang tuaku yang kini telah menjadi
mertua Yusuf. Mereka begitu bergembira melihat kedatangan
kami. Aku peluki Mama dan Papa dengan penuh kerinduan.
Entah mengapa, aku benar-benar merindukan mereka. Tak
lupa aku memeluk Bu Rahayu yang tak lain adalah ibu
mertuaku dan mencium tangan Pak Sardi yang tak lain adalah
ayah mertuaku. Hari itu kami habiskan dengan
memperbincangkan hal-hal kecil seputar pernikahan dan
bulan madu kami selama tiga hari di hotel.

Setelah cukup lama di rumah mertuaku, Mama dan Papa
memutuskan untuk pulang. Mulai hari ini, aku telah resmi
menjadi bagian dari keluarga Pak Sardi dan Bu Rahayu.
Sebelum mereka pulang, aku memeluk mereka dengan erat
sambil menangis di pelukannya. Sungguh, aku tak bisa
menahan tangis haruku ketika mereka memutuskan untuk
melepasku dan menyerahkanku pada Yusuf dan keluarganya.

Mereka hanya menenangkanku dengan ucapan-ucapan yang
tidak bisa aku terima dalam hati.

”Sudahlah Din. Kamu ini sudah berkeluarga. Ikutlah apa
yang suamimu bilang. Jangan sampai mengecewakannya ya?

Mama dan Papa akan sering-sering menghubungimu. Kami
yakin kamu akan bahagia hidup bersama mereka. Ya?”

Itulah perkataan yang diucapkan Mama sebelum dia
pulang bersama Papa. Aku memandangi mereka dari
kejauhan. Semakin lama mereka hilang dari pandanganku.
Jauh, jauh, dan akhirnya hanya tinggal bayangan mereka saja
yang selalu aku ingat dalam pikiranku.

Aku, Yusuf, dan orang tuanya masuk kembali ke dalam
rumah. Hari sudah semakin malam. Ayah mertuaku
memutuskan untuk segera tidur. Aku dan Bu Rahayu
membereskan gelas-gelas dan piring kotor untuk dicuci di
dapur. Yusuf masih tenang di depan televisi sambil menonton
siaran berita malam. Tak pernah ada senyum yang
mengembang di wajahnya.

Aku membantu ibu mertuaku mencuci piring. Kami
banyak berbincang tentang pengalaman beliau selama
berumah tangga dengan Pak Sardi. Dari perbincangan itu aku
banyak menemukan pelajaran-pelajaran baru dalam berumah
tangga. Bagaimana caranya membuat suami bahagia, apa
yang harus dilakukan seorang istri jika suaminya marah, dan
masih banyak lagi yang ibu mertuaku beri tahukan padaku
soal kehidupan suami istri. Termasuk hal-hal intim yang
menurut sebagian orang tabu untuk dibicarakan.

Aku melihat sosok Bu Rahayu begitu terbuka. Begitu
ramah dan baik dalam bersikap. Kelembutannya sebagai
seorang ibu tidak mengalahkan sikap ketegasannya dalam
bertindak. Apa yang menurutnya benar, ya maka
dibenarkannya. Tapi jika menurutnya salah, maka diapun tak
segan-segan memberikan peringatan pada siapapun dengan
tegas dan baik tapi tidak terkesan menghakimi.

Hal itu aku ketahui ketika dia bercerita tentang Yusuf
yang ketika kecil sering membuat onar dengan teman
bermainnya. Suatu ketika, orang tua temannya itu pernah
mengadu pada Bu Rahayu kalau Yusuf telah memukul
anaknya itu sampai berdarah. Sebagai ibu yang adil dan
bijaksana, Bu Rahayu memberikan hukuman yang setimpal
pada Yusuf. Dia akhirnya jera dan tidak mengulangi
perbuatannya lagi.

Diam-diam aku salut pada ibu mertuaku. Dia sosok yang
sekarang ini menjadi pengganti Mama di kehidupan baruku.
Dia pula yang secara tidak langsung dapat menguatkanku
dalam menghadapi masalahku dengan Yusuf.

Tak terasa waktu sudah beranjak malam mendekati dini
hari. Aku dan ibu mertuaku memutuskan untuk segera tidur.
Di ruang tamu tidak lagi aku dapati Yusuf disana. Mungkin
sudah masuk kamar. Semua lampu sudah dimatikan. Sebelum
masuk kekamarnya, Bu Rahayu memberikan senyumannya
padaku. Aku membalasnya. Aku masih berdiri di depan
kamar Yusuf yang kini juga menjadi kamarku. Kutarik
nafasku dalam-dalam dan kupejamkan mataku. Perlahan
kusentuh gagang pintu kamarku dan mulai kubuka. Tiba-tiba
saja dari dalam, Yusuf membukanya dan mendapatiku tengah
terkejut menatap wajahnya.

”Kenapa berdiri saja disitu? Ayo masuk!” Perintahnya
padaku. Aku hanya mengangguk dan mengikutinya masuk ke
kamar. Dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya
yang empuk. Lampu yang ada disebelahnya sudah dimatikan.
Cahaya yang ada tinggal dari lampu yang ada disebelah
tempat aku tidur. Aku belum mau mematikannya. Aku
membuka jilbabku dan aku duduk di depan cermin. Kusisiri
rambutku perlahan sambil memandangi Yusuf dari balik
cermin. Tubuhnya membelakangiku.

Setelah selesai menyisir, aku melangkah ketempat tidur
dan bersiap untuk tidur. Posisiku sama seperti posisi dia
membelakangiku. Kumatikan lampu yang ada disebelahku
dan kupejamkan mataku. Suasana malam ini begitu dingin.
Selimut yang menutupi tubuhku dan Yusuf seolah tak bisa
memberikan rasa hangat yang lebih pada hatiku yang
semakin membeku. Dalam pejam malamku, aku berdo’a,
”Ya Allah, kuatkanlah aku untuk bisa menghadapi semua
kenyataan ini. Amin”


* * *

 PART 8
 Ketika Cinta Harus Bersabar

By NURLAILA ZAHRA



Detik berganti detik, menit berganti menit, jam berganti
jam, hari berganti hari, dan minggu berganti minggu. Tak
terasa sudah lima bulan lamanya aku hidup sebagai seorang
istri. Menjalani hidup ini dengan seorang suami yang sampai
sekarang belum Bisa menerimaku sebagai istrinya. Sampai
sekarang pula tak pernah sedikitpun aku lihat sebuah kilatan
cinta dimatanya untukku. Tak pernah ada tatapan mesra
penuh kehangatan yang dia berikan padaku ketika dia pulang
dari kerjanya ataupun ketika aku pulang dari kewajibanku
bekerja di sebuah perusahaan majalah Islam. Karena hal ini
juga, novel ketigaku yang harusnya sudah rampung beberapa
bulan yang lalu, kini harus rela tertunda karena masalah
hatiku.

Suasana di rumah dan di kantor sangat berbeda sekali. Di
rumah tak Bisa aku temukan kemesraan seikitpun dari
suamiku, Yusuf. Tetapi dikantor, aku justru menemui Arini
dan Fauzi yang kian hari kulihat kian mesra. Tak jarang aku
mendengar cerita Arini tentang Fauzi, suaminya, yang
menurutnya sangat lembut dan mesra sekali pada dirinya.
Aku semakin iri dibuatnya.

Andai saja Arini tahu apa yang aku alami selama hidup
berumah tangga, aku yakin Arinipun akan menangis
dibuatnya. Dia adalah tipe perempuan yang mudah sekali
menangis bila melihat atau mendengar kabar atau berita yang
menyedihkan. Saat ini dia tengah mengandung dua bulan,
hasil buah cintanya dengan Fauzi. Aku hanya Bisa tersenyum
kecil kala mendengar ceritanya tentang pengalamannya
selama dia mengandung. Tak jarang aku dibuatnya
kebingungan tatkala dia menanyaiku kapan aku mau
menyusulnya. Aku kembali tersenyum dan hanya menjawab,

”Do’akan saja ya Rin? Mudah-mudahan Allah berkenan
menitipkan bidadari kecilNya padaku dan suami”

”Amin”, Sahut Arini mengamini.

Mengingat hal itu, aku jadi teringat akan bulan maduku
bersama Yusuf di hotel Maharani lima bulan yang lalu. Aku
ingat betul, sejak kejadian itu sampai sekarang, kami baru
melakukannya lima kali. Ya, Bisa diperhitungkan dalam
sebulan itu hanya sekali kami melakukannya. Maka tak
jarang, sebelum subuh aku terbangun untuk makan sahur agar
keesokannya aku kuat melakukan shaum10. Hal itu sengaja
aku lakukan untuk menahan keinginan biologisku yang tak
tersalurkan.

Terkadang pula sebelum aku makan sahur, aku terlebih
dulu melaksanakan shalat tahajud dan sedikit bermunajat
pada Sang Maha Pencipta. Meminta kekuatan untuk Bisa
menjalani hidup ini, meminta kesabaran agar aku Bisa lebih
tabah menerima keadaan suamiku, dan tak lupa, meminta
kepada Sang Maha Pemberi nikmat agar berkenan
menitipkan bidadari kecilNya padaku. Bidadari kecil yang
sudah lama aku nantikan. Bidadari mungil yang sebenarnya
sudah aku impikan sebelum aku menikah. Bidadari cantik
yang sesungguhnya menjadi harapanku ketika kelak aku
hidup bersama seorang suami. Bidadari yang mungkin kini
akan lama hadir dalam kehidupanku.

Ditengah munajatku kepadaNya, tak jarang air mataku
jatuh membasahi putihnya warna mukena yang kukenakan.
Selesai bermunajat, aku tutup tahajudku dengan shalat witir 3
rakaat lalu kemudian aku makan sahur. Seadanya saja.
Biasanya setelah sahur, aku mengambil buku harianku dan
kutuliskan semua keadaan hatiku disana. Tentang Yusuf
suamiku, tentang alasanku melakukan puasa sunnah, dan
tentang harapan-harapanku di masa depan.

Terkadang ayah dan ibu mertuaku bertanya padaku
kenapa sering sekali melakukan puasa sunnah. Aku hanya
menjawab,

”Ingin lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan
banyak melakukan ibadah-ibadah sunnah”

Biasanya ayah dan ibu mertuaku hanya mengangguk-angguk
pelan.

Aku juga sering mandi sebelum subuh. Hal itu aku
lakukan agar mereka tak menaruh curiga padaku. Mereka
pasti akan berpikir kalau aku mandi sebelum subuh, itu
artinya semalam aku dan Yusuf baru memadu kasih. Aku
hanya ingin mereka berpikiran yang baik-baik terhadap aku
dan Yusuf. Itulah hal-hal yang sering aku lakukan ketika aku
masih tinggal dirumah mereka.

Tapi kini, hal itu tak perlu lagi aku lakukan. Beberapa
hari yang lalu aku dan Yusuf memutuskan untuk mengontrak
rumah di darerah Lenteng Agung. Tak besar memang, tapi
aku rasa inilah yang terbaik yang harus kami lakukan.

Tempat tidur, lemari pakaian, komputer, bufet, televisi,
kursi, dan meja, semuanya telah tertata dengan rapi dirumah
kontrakan baruku. Mama, Papa, Ayah, dan Ibu mertuaku
turut membantuku merapikan rumah. Mereka benar-benar
mengira kalau kehidupanku dan Yusuf amatlah bahagia,
sampai-sampai kami memilih untuk mengontrak rumah
karena ingin belajar hidup mandiri. Aku hanya bisa meminta
do’a restu mereka agar aku dan Yusuf memang benar-benar
Bisa menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya dirumah
ini.

* * *

Malam ini Yusuf tengah bergelut dengan laptopnya. Aku
sendiri tak tahu apa yang sedari tadi dikerjakannya. Selepas
Maghrib tadi dia sudah mulai duduk di depan laptop sambil
mengetik beberapa tulisan yang ada dihadapannya. Beberapa
lembar kertas berserakan di meja dan itu membuatnya
tampak sangat sibuk. Sepertinya tak ada jeda untuk dia
melakukan aktivitas lain. Dia menjeda kegiatannya tatkala
azan Isya berkumandang dari masjid dekat rumah baru kami.
Masjid Al Mustofa namanya. Kali ini dia memilih untuk
shalat Isya dirumah ketimbang di masjid. Alasannya kalau di
masjid, selesai shalat tidak Bisa langsung pulang karena
bapak-bapak disana sering mengajaknya berbincang-bincang
terlebih dahulu. Kalau itu sampai terjadi, maka malam ini dia
harus ekstra lembur karena banyak sekali ketikan yang yang
harus diselesaikan.

Selesai shalat Isya, dia kembali lagi bergelut dengan
laptopnya di ruang tamu. Aku mencoba memberanikan diri
untuk bertanya padanya sambil membawakan segelas wedang
jahe untuknya agar tidak masuk angin, karena malam ini ia
harus lembur.

”Ngetik apa sih Mas, dari tadi? Sepertinya kelihatan sibuk
sekali?” Tanyaku sambil memanggilnya dengan sebutan
’Mas’. Ya, memang semenjak aku menikah dengannya, aku
memanggilnya dengan sebutan ’Mas’. Diapun tidak
keberatan aku memanggilnya seperti itu.

Mendengar pertanyaanku tadi, dia sepertinya agak kesal.
Wajahnya tak tampak seguratpun senyuman. Mungkin karena
dia yang sudah sibuk, ditambah lagi dengan pertanyaanku
yang sebenarnya tidak Bisa membantunya. Mungkin. Itu
hanya sebuah kemungkinan saja dariku. Dia menjawabnya
tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.

”Ngetik soal buat UTS besok” Jawabnya singkat.

”Memang sebanyak itu?” Tanyaku lagi.

Dia hanya mengangguk. Aku terdiam sesaat lalu beranjak
pergi dari hadapannya.

”Jangan tidur terlalu malam ya? Khawatir besoknya
kurang fit malah tidak Bisa ngajar. Wedang jahenya jangan
lupa diminum, biar kamu tidak masuk angin. Aku tidur
duluan ya?” Ucapku sebelum beranjak pergi ke kamar.
Lagi-lagi dia hanya mengangguk lirih. Aku jadi merasa
kasihan padanya. Ketika aku hendak membuka pintu kamar,
dia bersuara.

”Terima kasih ya? Dinda” Ucapnya sambil memandang
kearahku. Spontan akupun menoleh padanya dan
memberikannya senyuman. Diapun tersenyum kecil dan
kembali lagi mengetik. Aku masuk ke dalam kamar dengan
perasaan bahagia. Entah mengapa mendengar dia memanggil
namaku seolah mendadak berubah menjadi panggilan sayang
untukku. Dinda. Ya, nama itu seolah menjelma menjadi
panggilan, ’Dindaku sayang’.

Ah, andai saja itu benar-benar terjadi, pasti saat ini aku
tengah berbahagia dengan kehidupan baruku. Tapi paling
tidak, mendengar dia memanggil namaku saja aku sudah
sangat senang. Malam ini, aku Bisa tidur nyenyak.

”Terima kasih ya? Dinda” Suaranya terus menggema di
telingaku, sampai aku memejamkan mata.


* * *

 PART 9
 Ketika Cinta Harus Bersabar

By NURLAILA ZAHRA



Di tengah pejam malamku, tiba-tiba aku terbangun. Aku
merasakan haus yang tak tertahankan. Akhirnya aku bangkit
dari tidurku dan melangkah keluar kamar. Betapa terkejutnya
aku melihat suamiku tengah tertidur di depan laptopnya.

Kulirik jam dinding. Pukul sebelas malam. Aku terenyuh
melihatnya. Kuhampiri dia. Wajahnya begitu lelah terlihat.
Wedang jahe yang tadi aku buatkan untuknya juga sudah
habis diminumnya. Aku juga melihat ketikan di
komputernya. Masih banyak yang belum ia selesaikan. Aku
bingung. Apa yang harus aku lakukan untuk membantunya?
Sejenak aku berpikir. Tiba-tiba aku mempunyai ide untuk
menghubungi Mas Bambang, temannya Mas Yusuf di
tempatnya mengajar, untuk mencari tahu tentang soal-soal
yang tengah diselesaikannya sekarang. Mas Bambang itu
mengajar pelajaran matematika. Tapi, apa tidak terlalu malam
untuk menghubunginya? Apa tidak mengganggunya? Ah, ini
kan untuk kebaikan juga. Kalau sampai soal-soal ini tidak
selesai malam ini juga, maka besok tidak ada soal fisika yang
bisa dikerjakan. Aku putuskan untuk menghubungi Mas
Bambang melalui ponsel Mas Yusuf yang tergeletak di meja
dekat laptopnya. Kucari nama Mas Bambang lalu kupanggil.
Busmillah.

Sesaat lamanya yang kudengar hanya nada sambung.
Kuulangi lagi. Alhamdulillah diangkat.

”Ada apa Suf? Malam-malam kok mengganggu saja”
Ucap Mas Bambang dengan nada kesal. Terdengar sekali
suaranya yang baru saja terbangun dari tidurnya.

”Maaf Mas, saya Dinda, istrinya Mas Yusuf” Tukasku
agak pelan. Takut Mas Yusuf terbangun.

”Oh, maaf...maaf. Saya pikir Yusuf. Ada apa ya,
menelepon malam-malam?” Tanya Mas Bambang terdengar
kaget ketika dia tahu yang meneleponnya adalah istrinya
Yusuf, bukan Yusuf.

”Maaf ya Mas, sebelumnya. Saya hanya ingin tahu
mengenai UTS besok. Apa mata pelajaran Mas Yusuf itu
akan diujikan besok pagi, Mas ya?”

”Oh...iya. Pelajaran fisika itu akan diujikan besok
bersama pelajaran Bahasa Indonesia. Ada apa rupanya ya?”
Tanya Mas Bambang ingin tahu.

”Tidak Mas, tidak ada apa-apa. Ehm...setiap soal
pelajaran itu mendapat jatah berapa nomor ya Mas?”

”Setiap soal pelajaran itu mendapat jatah 50 nomor,
kecuali matematika, hanya 40 nomor” Jelas Mas Bambang
singkat. Kulirikkan mataku ke layar laptop. Soal yang
diselesaikan Mas Yusuf baru 27 nomor. Berarti kurang 23
nomor. Jumlah yang cukup besar bila harus diselesaikan
malam ini juga. Mengingat waktu terus berputar dan malam
semakin larut menjelang.

”Ya sudah Mas, terima kasih kalau begitu. Maaf ya
mengganggu malam-malam” Ucapku masih dengan pelan.

”Ya...ya, tidak apa-apa” Sahut Mas Bambang.

”Makasih sekali lagi Mas, ya. Assalamu’alaikum”

”Wa’alaikumussalam” Jawabnya menutup pembicaran.
Aku langsung bergerak cepat. Kuputar laptop kearahku.
Kubaca dengan seksama konsep soal-soal fisika yang ada
dihadapanku. Setelah cukup, aku mulai mengetiknya dengan
melanjutkan soal yang ada. Dengan teliti aku membacanya
dan mengetiknya. Agak sulit juga rupanya karena banyak
istilah-istilah fisika yang masih sangat asing bagiku. Namun
karena niatku ingin membantu suamiku, maka aku harus
benar-benar berusaha untuk menyelesaikan soal-soal ini.

Waktu terus bergulir hingga jam dinding sudah
menunjukkan pukul satu malam lewat lima belas detik.
Alhamdulillah semuanya sudah selesai. Setelah kuteliti ulang
dan kurasa benar, soal-soal itu kumasukkan kedalam flash
disk, lalu kuprint semuanya di komputerku yang ada di di
dalam kamar. Alhamdulillah wa syukurillah, lima lembar soal
dengan kertas ukuran folio, huruf times new roman dengan
ukuran 12 font, telah selesai aku ketik. Lega rasanya hati ini
karena akhirnya soal-soal ini sudah selesai. Aku tersenyum
bangga.

Kuletakkan lima lembar soal itu di atas meja. Kubereskan
semua kertas-kertas yang ada disana dan kumatikan
laptopnya. Setelah semua beres, aku berniat melaksanakan
shalat tahajud. Sebelum kuberanjak ke kamar mandi,
kusempatkan mataku menatap wajah Mas Yusuf. Begitu
bersih dan bersahaja. Tapi sayang, tak pernah kutemukan
pancaran cinta yang dia berikan untukku. Oh, ingin sekali
rasanya aku menyentuh wajahnya, membelai rambutnya,
dan...mencium pipinya. Ya, menciumnya. Aku ingin sekali
menciumnya. Sampai sekarang belum pernah aku merasakan
ciuman hangat darinya. Tapi, ah, kuurungkan saja niatku
untuk menciumnya diam-diam. Aku tak ingin menciumnya
karena terpaksa. Biarlah. Jika memang seumur hidup aku
tidak akan pernah mendapatkan ciuman itu, aku akan
berusaha untuk ikhlas. Hanya dengan keikhlasan dan
kesabaran, aku akan menjalani hidup ini.

Ku langkahkan kakiku ke kamar mandi untuk mengambil
air wudhu.

* * *
”Dinda, apa semua ini kamu yang mengerjakan?” Tanya
Mas Yusuf ketika dia baru saja terbangun dari tidurnya. Aku
melongok keruang tamu dari balik dinding dapur dan balik
bertanya padanya seolah-olah tidak mengerti apa yang
ditanyakannya.

”Mengerjakan apa?”

”Soal-soal UTS ini?” Jawabnya dengan raut wajah yang
tampak bingung sambil membaca dengan seksama kertaskertas
soal yang dimaksud.

”Oh! Iya, itu aku yang mengerjakan. Kenapa, ada yang
salah?”

Mas Yusuf terdiam sejenak. Dia mengerutkan keningnya.
Kedua alisnya hampir saja bertemu ketika membaca soal-soal
itu.

”Ehm....Tidak, tidak ada yang salah fatal. Hanya saja ada
beberapa kata yang salah penulisannya” Jawabnya sambil
memandang kearahku kemudian menunduk lagi memeriksa
soal-soal itu.

”Syukurlah kalau begitu” Sahutku sambil meneruskan
aktivitasku memasak nasi goreng dan telur dadar. Aku
kembali berkata pada Mas Yusuf.

”Hari semakin siang, Mas. Kau belum shalat Subuh”
Ucapku lagi pada Mas Yusuf. Sekedar mengingatkan kalau
dia memang belum shalat Subuh.

”Astaghfirullahal’adzim” Ucapnya terdengar di telingaku.
Tak lama kemudian dia bergegas masuk ke kamar mandi
tanpa membawa handuk. Dia melewatiku dengan terburuburu.
Nasi goreng yang kubuat sudah matang. Kuangkat dan
kusajikan menjadi dua piring. Telur dadarnya pun senantiasa
menghiasinya. Kusajikan semuanya di atas meja makan. Dari
kamar mandi terdengar Mas Yusuf sedang mandi. Sepertinya
dia lupa kalau dia tidak membawa handuk. Mungkin awalnya
dia hanya berniat untuk mengambil air wudhu. Tapi karena
sudah terlanjur di kamar mandi, ya sekalian saja dia mandi.
Tanpa ingat kalau dia lupa membawa handuk.

Setelah meletakkan dua piring nasi goreng di meja
makan, aku bergegas mengambil handuk dan
menyerahkannya pada MasYusuf.

”Mas, ini handuknya!” Ucapku dari luar kamar mandi
sambil mengetuk pintunya.

Tak lama dia membuka sedikit pintu kamar mandi dan
mengulurkan tangannya seraya mengambil handuk yang aku
berikan padanya.

”Terima kasih” Ucapnya pelan sambil menutup pintu
kamar mandi.

Aku kembali lagi ke meja makan dan menatanya dengan
rapi. Setelah kurasa beres semua, aku beranjak ke kamar
untuk menyiapkan pakaian Mas Yusuf yang akan dia
kenakan untuk berangkat mengajar. Kemudian aku
merapikan diriku untuk segera bersiap-siap pergi ke kantor.
Setelah keluar dari kamar mandi, Mas Yusuf langsung
masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Aku sudah
menunggunya di meja makan untuk sarapan. Tak lama
kemudian dia keluar kamar dengan mengenakan pakaian
yang tadi sudah aku siapkan.

”Sudah shalat Mas?” Tanyaku ketika dia baru saja keluar
dari kamar.

Dia hanya mengangguk kemudian duduk di salah satu
kursi yang ada di sebelahku. Di hadapannya sudah ada
sepiring nasi goreng lengkap dengan telur dadar dan ketimun
serta tomatnya yang kuiris tipis-tipis. Di sebelah nasi
gorengnya sudah aku siapkan segelas teh manis hangat untuk
menghangatkan perutnya.

Dia melahapnya dengan terlebih dahulu membaca
Bismillah. Akupun menemaninya makan. Tak ada
perbincangan yang berarti ketika kami sedang makan.
Entahlah. Mungkin sampai detik ini, perasaannya terhadapku
belum berubah. Masih dingin dan acuh. Padahal sebenarnya,
aku ingin sekali mendengarkan dia berucap sepatah kata saja
padaku. Kata apa saja itu. Yang penting aku mendengar dia
memanggil namaku seperti semalam. Rasanya indah sekali.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul enam lewat dua
puluh lima menit. Mas Yusuf menyudahi makannya dengan
menenggak teh manis hangat buatanku. Setelah itu dia
beranjak mengambil sepatunya dan memakainya di ruang
tamu. Semua kertas soal yang aku ketik semalam sudah dia
masukkan ke dalam tasnya. Setelah semuanya dirasa cukup
dan dirasa tidak ada yang tertinggal, dia bangkit sambil
membawa tasnya.

Aku mengiringi langkahnya dari belakang. Setelah di
depan pintu dia berbalik kearahku. Aku mencium tangannya
dengan penuh ketulusan. Dia menatap wajahku dengan biasa-biasa
saja. Aku menatapnya.

”Hati-hati di jalan ya? Jangan ngebut” Pesanku sebelum
dia berangkat.

Lagi-lagi dia hanya mengangguk pelan tanpa menyahut
sedikitpun. Dia melangkah kearah motornya sambil
mengucapkan salam. Aku pun menjawabnya. Namun tibatiba
dia menghentikan langkahnya dan berbalik
menghampiriku.

”Ada apa lagi? Ada yang tertinggal?” Tanyaku dengan
penuh kebingungan.

Dia menggeleng kemudian bersuara,

”Tidak ada yang tertinggal namun ada yang terlupa...”
Jawabnya membuat aku tambah bingung.

”Apa yang terlupa? Biar aku ambilkan” Ucapku.

”Tidak usah kau ambilkan. Aku hanya lupa mengucapkan
terima kasih padamu atas bantuanmu menyelesaikan soalsoal
UTS ini. Sungguh, kalau tak ada dirimu, mungkin pagi
ini aku akan kuwalahan menyelesaikan soal-soal ini sendirian
sambil di kejar-kejar waktu. Terima kasih ya karena sudah
meluangkan waktu malammu untuk menyelesaikan
pekerjaanku. Suatu saat, pasti akan kubalas” Ucapnya
panjang lebar membuat aku terhenyak.

”Tidak perlu seperti itu. Memang sudah menjadi
tanggung jawabku sebagai seorang istri untuk membantu
suaminya” Sahutku menimpalinya.

Dia mengangguk pelan dan kembali berkata,

”Ya. Kalau begitu aku berangkat. Assalamu’alaikum”

”Wa’alaikumussalam”

Dia pun menaiki motornya dan sejurus kemudian dia
menyusuri jalanan dan menghilang dari pandanganku. Tibatiba
saja ada sesuatu yang merasuki jiwaku. Sesuatu yang
menetes di kedalaman hatiku yang kemudian membuatnya
menjadi segar kembali. Entah apa itu. Aku yakin, itulah cinta.
Cintaku yang kian hari kian mendalam pada sosok suamiku.
Cinta yang bisa menguatkanku dalam keberadaanku
bersamanya.

Aku pun masuk kedalam dan bersiap-siap untuk
berangkat kerja.


* * *

PART 10
Ketika Cinta Harus Bersabar

By NURLAILA ZAHRA


Ponselku berdering ketika aku tengah sibuk dengan
pekerjaanku di kantor. Awalnya aku kurang
menghiraukannya karena memang pekerjaanku benar-benar
menumpuk. Tapi ponsel itu terus berdering mengeluarkan
ringtone ’Merah Saga’nya Shoutul Harokah, nasyid
kegemaranku. Kuangkat. Ternyata dari Mas Yusuf. Pikiranku
tiba-tiba teralih sejenak pada Mas Yusuf yang kini tengah
menanti jawaban telepon dariku.

”Assalamu’alaikum. Ada apa Mas?” Tanyaku segera
tanpa basa-basi.

”Wa’alaikumussalam. Nanti sore ada acara di
Bumiwiyata Depok. Kita ketemu disana jam 5 ya? Malamnya
kita menginap di rumah Ibu” Jawabnya singkat dengan cepat.
Ibu yang dimaksud adalah ibunya. Aku baru menyadari, dia
tak sedikitpun menyebut namaku.

”Acara apa memangnya Mas?”

”Acara bedah buku bersama Penerbit Al Kautsar. Bintang
tamunya ada Shoutul Harokah dan Izzatul Islam. Sekalian
aku mau cari-cari buku disana” Sahutnya datar.

”Oh. Ya sudah kalau begitu, kita ketemu disana jam 5
ya?”

”Ya. Assalamu’alaikum” Ucapnya mengakhiri
pembicaraan. Diapun langsung menutup teleponnya tanpa
mendengar dulu jawaban salamku.

”Wa’alaikumussalam”

Aku terdiam sejenak sesaat sambil memikirkan apa yang
baru saja aku alami tadi. Mas Yusuf meneleponku. Dia
mengajakku pergi bersama ke sebuah acara. Inilah untuk
yang pertama kalinya selama lima bulan aku menikah dengan
Mas Yusuf, dia mengajakku pergi bersama. Suatu hal yang
sebenarnya sudah lama sekali aku impi-impikan. Pergi ke
sebuah acara bersama seorang suami yang Bisa
menggandengku dan menuntunku. Seperti apa yang sering
aku lihat. Tapi apakah nanti dia mau menggandeng dan
menuntunku seperti apa yang aku impi-impikan selama ini?
Entahlah. Aku tidak mau terlalu berharap banyak padanya.
Kuselesaikan kembali pekerjaanku. Tak lama kemudian
ponselku berdering lagi. Kali ini satu pesan diterima.

Kubuka. Ternyata dari Mas Yusuf lagi. Bibirku tersenyum
kecil sambil membaca isi pesannya.

Tunggu saja di dpn pintu masuk dan jgn kmn2 smp aku dtg.
Aku membalasnya.

Baiklah. Aku janji tak akan kmn2 smp kau dtg.

Aku bahagia sekali. Mudah-mudahan saja ini langkah
awal untuk memperbaiki hubungnku dengan Mas Yusuf.
Waktu berlalu begitu cepat. Pekerjaanku sudah selesai.
Selepas shalat Ashar aku langsung bergegas pergi menuju
Bumiwiyata Depok. Jarak antara kantorku ke Depok lumayan
jauh, jadi aku putuskan untuk berangkat selepas shalat Ashar
agar Mas Yusuf tak terlalu lama menungguku. Dari arah
Rawamangun aku naik mobil angkot jurusan Pasar Minggu.

Setelah sampai di Pasar Minggu, aku turun dan menyambung
lagi dengan Bus jurusan Depok. Alhamdulillah aku mendapat
satu kursi pertama di dekat pintu. Di daerah Poltangan,
banyak penumpang yang turun, namun tak sedikit pula orang
yang berebut untuk naik.

Disaat yang bersamaan aku melihat ada seorang ibu tua
yang naik dengan membawa beberapa kantong plastik yang
aku perkirakan isinya sangat banyak karena cara ibu tua itu
membawanya sangat berat. Dia memutarkan pandangannya
kesemua tempat duduk yang ada. Penuh. Semua kursi terisi.
Ada satu yang kosong di dekat supir. Ibu itu hendak
menghampirinya sebelum akhirnya seorang pemuda naik ke
dalam Bus dan mendudukkan dirinya disana terlebih dahulu.
Ibu itu sudah di dera keletihan yang teramat sangat. Peluh
di wajahnya menggambarkan sekali kalau dia benar-benar
letih dan memerlukan tempat duduk untuk mengistirahatkan
tubuhnya yang sudah tua. Aku mengalihkan pandanganku ke
semua penjuru Bus. Tak ada yang mau peduli pada ibu itu.
Ada seorang perempuan muda yang asik menelepon sambil
tertawa-tawa, ada juga kulihat seorang lelaki yang usianya
aku perkirakan baru 30 tahunan sedang membolak balikan
koran yang tengah dibacanya sambil sesekali melirikkan
kedua matanya ke arah ibu tadi lalu pura-pura kembali
membaca.

Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung bangkit dari
dudukku dan kupersilahkan ibu itu untuk duduk di kursi yang
tadi aku tempati. Aku menemukan kebahagiaan yang tiada
terkira terpancar di wajahnya.

”Terima kasih ya Nak?” Ucapnya pelan sambil menata
barang bawaannya di pangkuannya. Aku mengangguk pelan
dan tersenyum padanya. Bus melaju kencang di jalan raya.
Terus berjalan menyisiri belahan kota Jakarta. Sejenak aku
berpikir tentang semua orang yang ada didalam bus. Kenapa
mereka begitu tega melihat seorang ibu yang sudah tua ini
berdiri sambil menahan letih dan peluhnya sambil menunggu
ada yang mau bangkit dan memberikan tempat duduknya
untuknya, sementara banyak dari mereka yang masih sangat
muda dan masih gagah, duduk dengan nyamannya sambil
memperhatikan ibu itu dengan tatapan biasa-biasa saja. Tak
ada sedikitpun dari mereka yang merasa kasihan melihat ibu
itu dan tersentuh hatinya lalu bangkit dan memberikan tempat
duduknya untuknya. Apa mereka tak menyadari berapa
banyak pahala yang tengah Allah siapkan bagi mereka kalau
saja mereka mau sedikit saja berbagi pada orang lain yang
membutuhkan.

Tiba-tiba aku teringat akan sebuah hadits Rasulullah yang
pernah murabbiku sampaikan, tentang ’amal kebaikan’ di
halaqah pekan kemarin.

”Dari Abu Hurairah ra. berkata, Nabi saw. Bersabda,
Barang siapa yang melepaskan seorang mukmin dari
kesusahan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari
kesusahan di hari kiamat. Barang siapa yang memudahkan
orang yang sedang mengalami kesulitan, maka Allah akan
memudahkan kepadanya di dunia dan akhirat. Barang siapa
menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi
aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa
menolong hambaNya selama hamba tersebut menolong
saudaranya. Barang siapa yang menempuh suatu jalan untuk
memperoleh ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya
jalan menuju surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di suatu
rumah Allah (masjid); membaca kitab Allah, dan
mempelajarinya bersam-sama, melainkan akan turun kepada
mereka ketentraman, rahmat Allah akan menyelimuti
mereka, para malaikat berkerumun di sekelilingnya, dan
Allah akan memuji mereka di depan (para malaikat) yang
berada di sisiNya. Barangsiapa amalnya lambat (kurang),
maka nasabnya tidak akan dapat menyempurnakannya”

Aku ingin sekali mencium bau surga itu. Aku ingin sekali
melihat indahnya surga yang Allah janjikan itu. Aku ingin
sekali. Apakah mereka-mereka yang tengah terduduk itu
tidak menginginkan surga itu? Aku yakin mereka pasti
menginginkannya. Tapi aku lebih yakin lagi, meskipun
mereka mengetahui berapa besar balasan yang akan Allah
berikan, mereka akan memilih untuk tetap duduk daripada
harus berpanas-panasan sambil berdiri sementara mereka
sudah mendapatkan tempat duduk yang enak.

Menurutku, mereka itu sombong. Mereka menganggap
pahala mereka sudah banyak jadi tak perlu lagi memberikan
tempat duduk pada ibu tua tadi demi mendapatkan sebuah
pahala. Dan lebih celakanya lagi, pemikiran seperti itulah
yang kini sudah tersetting di pikiran mereka masing-masing.
Dan mereka juga beranggapan bahwa ibu tua tadi pasti juga
akan mengerti kalau mereka tidak berkenan bangkit, itu
karena mereka juga sama-sama lelah. Tapi menurutku, kadar
kelelahan mereka berbeda. Mereka bisa menahan rasa lelah
mereka, tapi kalau ibu tua tadi? Bisa-bisa dia pingsan kalau
terlalu lelah berdiri. Hah, aku hanya bisa berdo’a agar mereka
semua bisa lebih mengerti pada jalan dan tujuan hidup
mereka masing-masing.

Jalanan tidak terlalu macet untuk di lalui kendaraan. Ya
memang kadang-kadang mobil yang aku tumpangi berhenti
sejenak tapi itu tidak lama. Meskipun misalnya mobil yang
aku tumpangi terjebak macet, aku berusaha untuk tetap sabar.
Aku tak ingin menyalahkan siapapun atas kemacetan yang
terjadi. Macet ya macet. Hanya kadang banyak orang yang
mempunyai persepsi yang berbeda-beda mengenai macet itu
sendiri.

Ada yang menyalahi pemerintah karena kurang bijak
dalam mengatasi masalah kemacetan, atau malah justru
menyalahi pengguna jalan dan kendaraan yang kurang Bisa
bertanggung jawab dalam menggunakan jalan. Entahlah.
Semua itu hanya pendapat dari masing-masing orang. Yang
pasti untukku, macet ya macet. Biar bagaimana pun kita
berkeluh kesah tentang kemacetan, semua itu tidak akan
menyelesaikan masalah. Malah justru Bisa membuat masalah
baru pada diri kita yang menggerutu tanpa tujuan yang jelas
kepada siapa keluhan itu ditujukan. Lebih baik bersabar dan
bertawakal karena hal itu Bisa membawa kita pada dua
keuntungan. Keuntungan yang pertama, kita Bisa
memperoleh pahala atas kesabaran kita, dan keuntungan yang
kedua, kita akan awet muda jika kita selalu berpikiran positif
pada segala hal, termasuk kemacetan.

Yang pasti, sebagai manusia dan rakyat biasa, kita hanya
Bisa berdo’a kelak kota Jakarta ini bisa mendapatkan seorang
pemimpin yang benar-benar bisa memikirkan kepentingan
rakyatnya dan dapat menyelesaikan permasalahan dengan
adil dan bijak.

Bumiwiyata sudah di depan mata. Aku turun dari bus
dengan perasaan senang. Aku menyeberang jalan dan sampai
di depan Bumiwiyata. Disana sudah banyak akhwat yang
berjilbab lebar dan ikhwan dengan celananya yang semata
kaki dan dagunya yang berjenggot tipis. Aku teringat pesan
dari Mas Yusuf agar aku menunggunya di depan pintu masuk
sampai dia datang. Aku pun menunggunya.

Banyak yang datang namun tak sedikit pula yang keluar.
Aku memandangi mereka dengan biasa saja. Kulihat jam
tanganku sudah menunjukkan pukul 17 lewat 15 menit. Aku
sudah mulai gelisah. Kuputuskan untuk menelepon Mas
Yusuf di menit ke 25. Tak ada jawaban.

”Telepon yang anda tuju, untuk sementara tidak dapat di
hubungi. Cobalah beberapa saat lagi, atau tinggalkan pesan
setelah nada berikut”

Itulah jawaban yang aku dengar berkali-kali dari operator
telepon. Ada apa dengan Mas Yusuf? Aku benar-benar
gelisah. Tiba-tiba ada seorang akhwat yang sangat aku kenal
sekali wajahnya, bahkan tak pernah bisa aku lupa,
menghampiriku sambil tersenyum.

”Assalamu’alaikum” Ucapnya dengan lembut.

”Wa’alaikumussalam” Jawabku sambil melemparkan
senyum padanya.

”Afwan kamu Dinda kan, istrinya Yusuf?”

”Iya. Kamu pasti Alifa” Jawabku menimpalinya.

”Iya aku Alifa. Kamu masih ingat aku? Bukankah kita
belum pernah berkenalan?”

”Bagaimana mungkin aku lupa. Suamiku kan pernah
menyebut namamu ketika kamu datang ke pernikahanku”.

”Oh, syukurlah kalau kamu masih ingat. Aku pikir kau
tak akan mengenaliku”

”Tenang saja. Aku selalu berusaha untuk mengingat
orang-orang yang pernah aku kenal. Oh iya, kamu ikut acara
ini?”

”Iya. Kamu sendirian? Yusufnya mana?”

”Mungkin sebentar lagi akan sampai. Tadi kami janjian
untuk bertemu disini”

”Oh begitu” Sahut Alifa datar. Aku mengangguk sambil
tersenyum.

”Oh iya hampir lupa” Tukasnya padaku. Dia mengambil
sesuatu dari tasnya.

”Ini” Ucapnya sambil memberikan sebuah undangan
pernikahan berwarna biru tua padaku. Aku menerimanya.
”Ini undangan pernikahanku. Datang ya?” Sambungnya.
Aku menatapnya sesaat lalu kubuka undangan itu. Disitu
tertera nama Alifa Oktaviana menikah dengan Guntur
Maulana.

”Selamat ya?” Ucapku padanya. Dia mengangguk.

”Kalau begitu aku ke dalam dulu ya? Jangan lupa datang
bersama suamimu di hari pernikahanku nanti” Ucapnya
sebelum pergi meninggalkanku.

”Insya Allah nanti aku sampaikan” Sahutku. Alifa
tersenyum dan pergi dari hadapanku. Kulihat lagi jam
tanganku. Sudah pukul 17 lewat 30 menit tapi Mas Yusuf
belum juga datang. Kemana dia?

Tak lama berselang aku mendapati seorang ikhwan yang
dulu pernah aku lihat di book fair. Dia temannya Mas Yusuf
yang pernah berbincang dengannya. Aku melihatnya tepat
ketika dia melihat kearahku. Dia mengangguk dan
menghampiriku.

”Assalamu’alaikum. Yusufnya kemana ukh?” Tanyanya
padaku.

Aku menggeleng, ”Wa’alaikumusslam. Belum datang”.
”Oh...Bukannya bareng?”

Aku menggeleng lagi sambil mengarahkan pandanganku
kearah jalan. Siapa tahu Mas Yusuf sudah datang.

”Tadi sih ana ketemu dia di sekolah terus dia bilang mau
pergi jenguk Mas Bambang yang lagi sakit. Tapi dia nggak
bilang mau datang kesini” Jelasnya.

”Memang Mas Bambang sakit apa? Antum tahu kapan
dia pergi jenguk Mas Bambang?” Tanyaku.

”Tadi pagi kakinya Mas Bambang tersiram air panas, jadi
tadi dia tidak mengajar. Kayaknya abis Ashar tadi deh Yusuf
jalan. Soalnya dia bilang, pulang dari rumah Mas Bambang
dia mau langsung kerumah ibunya. Mau nginep katanya. Tapi
nggak tahu juga sih”

Aku terdiam sejenak.

”Randi!! Ayo!” Teriak salah seorang memanggil ikhwan
yang kini ada di hadapanku yang kutahu bernama Randi.

”Afwan. Ana duluan. Asslamu’alaikum” Ucapnya lalu
melangkah menghampiri seseorang yang tadi memanggilnya.

”Wa’alaikumussalam” Sahutku.

Pikiranku semakin kacau. Apa Mas Yusuf lupa dengan
janjinya? Apa Mas Yusuf lupa kalau aku sekarang tengah
menantinya disini? Oh Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi?

Mengapa Engkau mendatangkan Randi kesini untuk
memberikan kabar yang membuatku bimbang?

Sesaat lamanya aku terdiam sampai akhirnya aku
menyadari kalau rintik-rintik hujan telah membasahi
pakaianku. Segera saja aku ambil payung dari dalam tas dan
kubuka untuk melindungi tubuhku dari hujan. Kalau saja Mas
Yusuf tidak menyuruhku menunggunya disini, pasti aku
sudah masuk kedalam lebih dulu. Dan kalau saja aku tidak
berjanji untuk menunggunya sampai ia datang, pasti saat ini
aku sudah berada di dalam tanpa harus berdiri disini ditemani
hujan yang turun semakin deras.

Langit sudah semakin mendung dan azan Maghrib pun
berkumandang. Dengan berucap bismillah aku melangkahkan
kakiku kedalam diiringi niat kalau aku hendak menunaikan
shalat Maghrib dan bukan bermaksud untuk mengingkari
janjiku pada Mas Yusuf.

Setelah shalat Maghrib, aku kembali lagi kedepan.
Dengan harapan Mas Yusuf pasti datang. Hujan sudah mulai
reda, namun masih ada sisa-sisa gerimisnya yang membasahi
jilbabku. Aku sudah mulai letih. Aku berniat menghubungi
Mas Yusuf kembali. Tapi kuurungkan. Akhirnya aku
putuskan untuk mengiriminya pesan yang isinya,
Mas, bkn mksudku ingin mengingkari janjiku u/ menunggumu disini smp
kau dtg. Tp sungguh, aku sdh tk kuat lagi berdiri disini u/ menunggumu. Jd aku
hrp, kau mau mengizinkanku u/ plg skrg.

Kukirim segera. Alhamdulillah pengiriman berhasil. Allah
selalu ada bagi hamba-hambaNya yang bersabar. Tak lama
kemudian satu pesan aku terima. Dari Mas Yusuf. ternyata.
Isinya,

Aku segera kesana. Kau jgn kmn2. Kali ini aku janji. Afwan

Tiba-tiba air mataku jatuh membasahi ponsel yang
kupegang. Aku berusaha untuk meluruskan pikiranku. Aku
berusaha untuk tetap memikirkan hal-hal baik tentang Mas
Yusuf, tapi kenapa air mata ini masih saja membasahi
wajahku? Sekuat tenaga aku yakinkan diriku kalau Mas
Yusuf hanya terlupa. Dan bukan karena dia tidak mencintaiku
makanya dia lupa pada janjinya.

Seperempat jam aku menunggunya akhirnya dia datang
juga. Entah bagaimana lagi raut wajahku saat ini. Yang pasti
aku berusaha untuk tetap tersenyum melihat kedatangannya.

”Maaf ya, maaf banget. Tadi aku lupa kasih tahu kamu
kalau Mas Bambang itu sakit. Tadi pagi kakinya tersiram air
panas waktu mau menyeduh kopi, jadi tadi dia tidak
mengajar. Lalu guru-guru yang lain mengjak aku untuk
menjenguknya. Kamu tidak marah kan?” Cerocosnya begitu
dia sampai di hadapanku.

Aku memandanginya lekat-lekat tanpa bisa menjawab
sedikitpun. Aku bingung harus menjawab apa. Aku memang
marah dan kesal padanya, tapi aku juga tidak mau dia tahu
kalau aku marah padanya. Aku putuskan untuk menggeleng
sambil berucap, ”Iya”

”Maksudnya?” Tanyanya tidak mengerti.

”Coba kamu pikirkan kembali apa jawabanku barusan.
Kalau kau mengerti, pasti kau tahu apa maksud dari
jawabanku” Sahutku dengan nada datar. Aku sudah lelah. Dia
terdiam. Acara di Bumiwiyata sudah selesai. Orang-orang
sudah berhamburan keluar. Aku teringat Alifa yang
memberikan undangan pernikahnnya padaku. Aku segera
mengambilnya dari dalam tas dan memberikannya pada Mas
Yusuf.

”Nih” Ucapku sambil menyodorkan undangannya.

”Apa ini?” Tanyanya sambil meraih undangannya dariku.

”Undangan pernikahan Alifa” Jawabku. Dia
membukanya dan membacanya. Tak lama dia berucap datar.

”Mungkin inilah yang terbaik”

Aku hanya diam. Dia mengembalikan undangannya
padaku dan menyuruhku naik ke motornya. Sambil naik aku
berkata,

”Sebaiknya kita tidak usah kerumah ibu. Tidak enak
rasanya datang kesana dengan pakaianku yang basah. Lebih
baik besok saja kita kesananya”

”Baiklah” Sahutnya.

Motor yang kami tumpangi segera berbaur dengan
kendaraan lainnya di jalan raya. Sepanjang jalan kami hanya
diam sambil mengintrospeksi diri masing-masing. Adakah
surga yang tadi aku impi-impikan bisa aku cium baunya?
Adakah surga yang telah Allah janjikan itu, bisa juga kami
rasakan? Entahlah. Hanya waktu yang dapat menentukan.
Hanya kesabaran dan kekuatan yang dapat menunjukkan
segalanya dengan jelas. Aku hanya bisa berdo’a dalam
diamku.

* * *
Hari pernikahan Alifa tiba. Aku dan Mas Yusuf pergi
kesana bersama-sama. Setelah kemarin aku menyerahkan
revisi novelku yang ketiga pada pihak penerbit, aku langsung
membeli kado pernikahan untuk Alifa.

Mas Yusuf terlihat murung. Entah apa yang
dipikirkannya saat ini. Apa mungkin dia masih menyimpan
nama Alifa dalam hatinya? Entahlah. Aku tak bisa berbuat
apa-apa. Di depan sebuah rumah berbentuk seerhana, Mas
Yusuf menaruh motornya dengan beberapa motor lainnya
yang sudah terparkir lebih dulu disana. Setelah menulis nama
kami di buku tamu dan memberikan bingkisanku pada dua
orang wanita berjilbab ayu yang duduk disana, kami masuk
kedalam menemui Alifa dan suaminya.

Senyuman penuh kehangatan terpancar di wajah cantik
nan menawan Alifa. Dia benar-benar tidak bisa memungkiri
kalau hari ini dia begitu bahagia. Bahagia karena hari ini dia
sudah resmi menjadi seorang istri, bahagia karena hari ini
adalah hari pernikahannya, dan bahagia karena dia dan
suaminya, saling mencintai.

Tapi Alifa tidak sadar dan tidak menyadari, kalau ada
seseorang yang hatinya begitu hancur melihat dia bersanding
dengan orang lain. Dia adalah suamiku sendiri. Sebagai
seseorang yang sudah hidup bersamanya selama lima bulan
lebih, aku sudah bisa melihat ada kemurungan lain yang aku
tangkap di wajahnya yang sendu. Mungkin dia berpikir,
’seharusnya aku yang ada di pelaminan itu dan bukan lelaki
yang bernama Guntur itu’. Astaghfirullah!! Aku tak mau
su’udzan pada suamiku. Kembali kuluruskan niatku. Aku
memasuki halaman rumahnya yang sudah di penuhi oleh para
tamu. Undangan laki-laki dan undangan wanita di pisah oleh
hijab.

Aku bersalaman dengan Alifa dan memeluknya dengan
erat seraya mengucapkan kalimat yang sama seperti yang
pernah ia ucapkan padaku saat menikah.

”Barakallah ya Alifa? Semoga menjadi keluarga sakinah,
mawaddah, wa rahmah”

”Syukran ya?” Ucapnya.

Aku mengangguk dan tersenyum. Mas Yusuf hanya
bersalaman pada Guntur tanpa berucap sepatah katapun
padanya. Aku mengerti perasaannya. Sebelum kami beranjak
pergi, Alifa meminta kami untuk berfoto bersama. Aku
berdiri disamping Alifa dan Mas Yusuf berdiri di samping
Guntur. Tinggi badanku hampir sama dengan Alifa dan
sepertinya tinggi badan Mas Yusuf pun tak jauh beda dengan
Guntur.

Setelah berfoto, aku dan Mas Yusuf meminta diri. Aku
mengambil hidangan di tempat akhwat dan Mas Yusuf
mengambil hidangan di tempat ikhwan. Setelah
menghabiskan makanan kami, Mas Yusuf memberikan
isyarat matanya padaku sambil mengangguk pelan.
Menandakan bahwa dia ingin segera pulang. Aku pun
menurutinya.

Sebelum pulang, sekali lagi kami berpamitan pada Alifa
dan Guntur. Dia menyayangkan kami yang terkesan buruburu
sekali. Tapi apa boleh buat, Mas Yusuf sudah
mengajakku pulang. Setelah berpamitan, kami pulang dengan
perasaan kami masing-masing. Menatap kembali senyum
Alifa yang terlihat begitu bahagia.


* * *

 PART 11
 Ketika Cinta Harus Bersabar

By NURLAILA ZAHRA


Tiga bulan telah berlalu dari hari itu. Dan malam ini, aku
kembali meneteskan air mataku. Suami yang aku banggabanggakan
selama ini ternyata berbohong padaku. Kenapa
seseoang yang taat beragama,rajin beribadah dan membaca
Al-Qur’an, serta seorang yang terbiyah seperti dia bisa
membohongiku?

Aku tak pernah habis pikir. Tadi pagi dia
mengatakan padaku bahwa dia tidak bisa ikut hadir dalam
acara munasoroh Palestine di Monas. Tapi ternyata, diantara
ribuan, bahkan puluhan ribu ikhwan yang datang pada acara
itu, kedua mataku menangkap sosok seorang ikhwan yang
sudah lebih dari 8 bulan ini hidup bersamaku.

Aku melihat suamiku tengah mengibarkan bendera Palestina, lengkap
dengan topi dan ikat kepalanya yang bertuliskan ’Save
Palestine’. Dia mengibarkan bendera itu dengan penuh
semangat dan ghirah yang selalu membakar jiwa. Entah
mengapa Allah swt menampakkannya di penglihatanku di
tengah kerumunan orang-orang itu.

Remuk redam rasanya jiwa ini ketika aku sadar dia
membohongiku. Berkali-kali aku yakinkan diriku bahwa
orang yang aku lihat itu bukan suamiku. Tetapi ketika kutatap
sekali lagi wajahnya yang samar-samar kulihat dari kejauhan
dan dari kerumunan orang, aku mantapkan hati bahwa dia
memang suamiku. Ikhwan itu memang benar-benar Mas
Yusufku.

Melihat hal itu, langsung saja aku palingkan
wajahku dan mengajak Nadia, sahabatku untuk beranjak
pergi dari awal tempatku berdiri. Aku tidak mau Nadia
sampai tahu kalau ternyata Mas Yusuf menjadi salah satu
pengibar bendera Palestina disana. Sebab dari awal aku sudah
terlanjur bilang padanya bahwa Mas Yusuf tidak bisa hadir
karena ada urusan di sekolahnya. Nadia pun percaya. Dan
aku tidak ingin kepercayaan Nadia itu berubah menjadi
ketidakpercayaan padaku atau pun suami, karena dia telah
melihat Mas Yusuf disana.

Dengan gontai kulangkahkan kakiku keluar dari
kerumunan orang-orang yang sedang bersemangat itu.
Kuajak serta Nadia dari sana dengan alasan aku lelah dan
ingin mencari minum pelepas dahaga. Dan kebetulan saja,
waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 WIB, menandakan
bahwa sebentar lagi azan zuhur akan berkumandang. Segera
saja kuajak Nadia untuk pergi dari Monas menuju masjid
terdekat, Masjid Istiqlal. Disana sudah banyak ikhwan /
akhwat yang berpeluh dan berkeringat tengah membanjiri
Masjid Istiqlal untuk melaksanakan shalat Zuhur. Aku dan
Nadia mencari tempat wudhu wanita dan mengambil wudhu
disana. Cukup mengantri memang, tapi akhirnya aku dan
Nadia bisa mengambil air wudhu sebelum azan Zuhur
berkumandang.

Kuselonjorkan kakiku dan kusandarkan punggungku
kesalah satu tiang masjid ketika aku dan Nadia sudah
mendapatkan posisi yang cukup nyaman untuk shalat. Sambil
menunggu azan berkumandang, kunikmati sebotol air mineral
yang tadi aku beli sambari angin sepoi-sepoi dan semriwing
membelai-belai wajahku. Diwaktu yang sama, kulihat Nadia
juga melakukan hal yang sama sepertiku. Kulemparkan
senyum padanya lalu kuarahkan kembali pandanganku lurus
kedepan. Angin sepoi-sepoi terus saja membelai lembut
wajahku ketika tiba-tiba saja kedua mataku basah dengan air
mata. Aku teringat kembali dengan Mas Yusuf. Kenapa dia
berbohong padaku? Apa dia tidak mau pergi keacara itu
bersamaku sehingga dia harus berdusta? Atau apa? Sekuat
tenaga kuluruskan pikiranku dan sebenarnya aku tak ingin
bersu’udzan padanya. Tapi.....

Seketika air mataku jatuh membasahi wajahku. Aku
tersadar. Ternyata azan Zuhur tengah berkumandang. Aku
segera mempersiapkan diri untuk melaksanakan shalat Zuhur
bersama Nadia dengan terlebih dahulu melaksanakan sunnah
rawatib 2 rakaat. Nadia menjadi imam dan aku menjadi
makmum. Setelah shalat Zuhur kami melaksanakan shalat
sunnah rawatib lagi 2 rakaat lalu kembali istirahat sebentar.

Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 13.00, kami
memutuskan untuk pulang. Diperjalanan Nadia banyak sekali
bercerita tentang hal-hal yang lucu. Aku ingin sekali tertawa
tapi tidak bisa. Bayang-bayangku tentang Mas Yusuf kembali
mengusik pikiranku. Hal itu mengalahkan semua rasa dan
pemikiranku yang kala itu tengah mendengarkan cerita
Nadia. Aku hanya bisa tersenyum kecil tanpa bisa
berkomentar apa-apa. Dan ketika Nadia bertanya padaku
tentang sikapku, aku hanya menggeleng dan menjawab,

”Nggak. Aku enggak kenapa-kenapa. Terus bagaimana
kelanjutannya?”

Lalu Nadia pun melanjutkan ceritanya. Aku hanya
mendengarkannya dengan pikiran yang entah kemana
perginya. Nadia mengajakku mampir sebentar ke warung
somay yang ada di Stasiun Gondangdia. Aku menurutinya.
Aku memesan satu porsi tapi tidak habis. Nadia
membayarnya dan aku pun memberikan uang sepuluh ribuan
padanya. Awalnya dia menolak tapi kupaksa dan akhirnya dia
menerimanya.

Kami naik keatas dan membeli tiket. Nadia yang
membelinya. Jurusan Lenteng Agung dan Pasar Minggu. Di
Stasiun Gondangdia sudah banyak sekali orang yang
beratribut Palestina. Entah bajunya, kerudungnya, atau topi
dan pin yang mereka kenakan. Memang, semangat saudarasaudara
kita di Palestina tidak pernah surut untuk melawan
penjajah Israel, sampai mereka takluk dan menyatakan
menyerah pada rakyat Palestina. Ya...memang masa-masa itu
belum tahu kapan tapi yang pasti saat-saat itu akan ada
masanya. Dan aku yakin Allah pasti akan menepati janjiNya.
Sebagaimana dijelaskan dalam wahyuNya, surat Al-Baqarah
ayat 85-86.

”Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu
(saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan dari kamu
kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap
mereka dengan perbuatan dosa dan permusuhan, tetapi jika
mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus
mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang
bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebagian alkitab
(Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah
balasan bagi orang yang berbuat demikian darimu,
melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari
kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat.
Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. Itulah
orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan
(kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa
mereka dan mereka tidak akan ditolong”

Dari jarak beberapa meter aku melihat seorang akhwat
yang sepertinya aku kenal. Dia sedang berbincang dengan
beberapa teman akhwatnya sesama aktivis. Aku berusaha
mengingatnya sekuat tenaga. Tapi siapa dia? Alhamdulillah
setelah berpikir keras, aku mengingatnya. Dia adalah
sahabatnya Alifa. Dia pernah datang bersama Alifa ke pesta
pernikahanku. Ingin sekali rasanya aku mendekatinya dan
menanyakan kabar Alifa padanya. Dengan langkah yang
pasti, aku mengajak Nadia untuk menghampirinya.

”Assalamu’alaikum” Ucapku padanya.

”Wa’alaikummussalam” Sahutnya bersama dengan
beberapa temannya.

”Afwan, ana mau tanya, apa anti temannya Alifa?”

Tanyaku sambil mengarahkan pandanganku pada orang yang
kumaksud.

”Oh, iya ana temannya Alifa. Ana Ririn. Afwan, anti
istrinya akh Yusuf kan?”

”Iya. Ehm, ana mau tanya, bagaimana kabar Alifa
sekarang? Apa dia tidak ikut munasoroh? Atau mungkin dia
pergi dengan suaminya ya?”

Wajah ukhti yang ada dihadapanku terlihat muram.

”Ada apa ya Rin?” Tanyaku langsung padanya.

”Ehm...keadaan Alifa sekarang tidak begitu baik”

Jawabnya dengan nada sedih.

”Memang dia kenapa?”

Ririn mulai menjelaskan.

”Seminggu setelah pernikahannya, suaminya meninggal
akibat kecelakaan kereta api. Mobil yang dikendarainya
mogok dan terjebak di rel kereta api. Dan pada saat yang
bersamaan, kereta datang melintas dan Guntur....” Ririn
memutus perkataannya. Aku hanya bisa diam sambil
meringis mendengarnya. Dalam hati aku terus beristighfar.

”Lalu keadaan Alifa sekarang bagaimana?” Tanyaku
setelah tadi aku sempat terkejut mendengarnya.

”Keadaan terakhir yang aku tahu, dia kini terbaring di
rumah sakit karena stres. Awalnya dia bisa menerima
kenyataan ini, tapi makin kesini, kondisinya semakin parah.

Dia tidak mau makan dan minum, sampai akhirnya sakit. Dia
terus memikirkan kematian suaminya yang sangat tragis. Dan
pada akhirnya dia harus dilarikan ke rumah sakit karena
kondisi tubuhnya semakin lemah dan parah” Jelas Ririn.

Aku diam sejenak lalu bertanya di rumah sakit mana
Alifa dirawat. Setelah Ririn memberitahukan dimana Alifa
dirawat, aku segera meminta diri untuk beranjak dari
tempatku berdiri kini. Nadia bertanya padaku siapa Alifa.
Aku menjelaskan padanya tentang Alifa. Sekedarnya tanpa
menceritakan padanya kalau Alifa itulah yang sebenarnya
menjadi impian Mas Yusuf.

* * *

Tanpa terasa kereta yang kami tunggu-tunggu sudah
datang. Segera saja aku dan Nadia menjejalkan diri masuk
kedalamnya. Alhamdulillah bisa masuk dengan selamat. Di
sekeliling kami hampir semua berjilbab putih. Sangat bisa
ditebak bahwa kami habis melakukan aksi munaoroh
Palestine di Monas. Aku tak peduli dengan tatapan orangorang
lain pada kami. Aku hanya ingin cepat-cepat sampai
dirumah dan merebahkan tubuh ini diatas tempat tidur.

Biasanya sepulang aksi-aksi seperti ini, ada semangat
baru yang terpatri dalam diriku untuk kembali bangkit
merencanakan hari esok. Tapi sekarang, entah mengapa tibatiba
semangat itu seakan pudar. Terhapus oleh bayangbayang
Mas Yusuf yang tadi aku lihat dan juga bayangbayang
Alifa yang kini mungkin tengah terbaring tak berdaya
dirumah sakit. Tapi aku berharap Alifa pun sudah sembuh
dan bisa bangkit merajut hari-hari barunya.

Menuju stasiun Tebet, alhamdulillah ada dua orang
perempuan yang bangkit dari duduknya dan segera saja aku
gantikan tempat duduknya bersama Nadia. Kulihat
kesekeliling tidak ada orang yang mungkin lebih pantas
mendapatkan tempat duduk itu. Aku mengucap syukur
karena akhirnya bisa duduk. Beberapa menit kemudian
datang kehadapanku seorang perempuan tua yang mengais
rezeki dengan cara menyapu lantai kereta dengan sapu
kecilnya. Pakaiannya compang camping namun tetap
berkerudung, menandakan bahwa dia seorang muslim. Di
pinggangnya terdapat sebuah tas untuk menaruh uang hasil
menyapu yang dengan ikhlas diberikan oleh penumpang
kereta.

Dia menadahkan tangan kanannya padaku. Hatiku
tersentuh dan langsung ku keluarkan uang lima ribu rupiah
dan kuberikan padanya. Nadia pun ikut mengeluarkan uang
seribu rupiahnya untuk diberikan pada ibu itu. Wajahnya
begitu berseri-seri saat menerima uang dariku dan Nadia. Dia
pun mengucapkan terima kasih dan kembali menyapu bagian
yang lain dari lantai kereta. Nadia mungkin heran melihatku
memberikan ibu tadi uang lima ribu rupiah. Dia lantas
menanyakan perihal tersebut padaku.

”Kamu memberikannya uang lima ribu Nda?” Tanyanya
dengan memanggilku dengan sebutan ’Nda’. Ya, memang
hanya Nadia yang memanggilku dengan kosakata terakhir
dari namaku, ’Nda’.

”Apa menurutmu, uang lima ribu rupiah itu besar?”
Tanyaku balik padanya.

Nadia mengangguk.

”Menurutku itu terlalu besar Nda. Apa tidak ada uang
kecil?”

”Ada. Tapi bagiku, uang lima ribu itu tidak ada artinya
bila dibandingkan dengan semua nikmat yang telah Allah
berikan padaku. Uang lima ribu itu hanya sebagai ungkapan
rasa syukurku saja pada Allah swt karena paling tidak, Dia
masih berkenan mengizinkan aku untuk dapat hidup enak dan
nikmat tanpa harus bekerja keras seperti yang ibu tadi
lakukan. Aku hanya ingin membagi rasa syukurku ini pada
orang-orang yang memang pantas untuk menerimanya. Lagi
pula dia bukan hanya mengemis, tapi juga secara tidak
langsung dia sudah membantu kita dengan membersihkan
lantai kereta ini. Benar kan Nad?” Jelasku pada Nadia.
Nadia mengangguk lagi.

Sesaat lamanya kami diliputi kebisuan. Hanya angin yang
berhembus dari jendela kereta yang berbisik-bisik membelai
wajah kami. Tepat di Stasiun Tebet banyak penumpang yang
turun, namun hanya sedikit orang yang naik. Alhasil kereta
menjadi agak sedikit lengang. Banyak penumpang yang
tadinya berdiri kini mendapat tempat duduk. Mataku
menangkap jelas dua orang laki-laki berpakaian rapi yang
sepertinya tidak ada kerutan sedikitpun di baju dan jas
mereka. Dengan masing-masing membawa tas agak besar
mereka berdiri tak jauh dari pintu masuk kereta. Mereka terus
berbincang-bincang sampai kereta mulai berjalan kembali.
Namun kemudian mereka masuk agak kedalam sehingga tak
terlihat lagi oleh pandanganku.

Beberapa menit setelah kereta melaju di rel-nya, tiba-tiba
terdengar suara bentakan hebat yang dilayangkan oleh
seorang laki-laki.

”Hei! Perempuan tua jalang! Berani-beraninya kau
mengotori sepatuku dengan sampah busukmu itu. Pantaslah
tanganmu itu kuinjak karena kau telah mengganggu kami
dengan sapu bututmu itu. Enyahlah kau dari hadapanku,
dasar perempuan tak tahu diri!” Bentak salah seorang dari
penumpang yang aku tidak tahu siapa dia. Aku bangkit dari
dudukku sesaat untuk mengetahui siapa yang berani berbuat
kurang ajar pada seorang perempuan yang dibilang jalang
olehnya.

Ternyata yang berbuat hal yang memalukan itu adalah
salah seorang dari dua orang penumpang laki-laki yang
berpakaian rapi dengan membawa tas agak besar yang tadi
sempat aku perhatikan. Dan perempuan tua yang dihina
olehnya adalah ibu tua yang tadi menadahkan tangannya
padaku dan Nadia. Ibu tua itu duduk menangis sambil
mengusap-usap tangannya yang katanya terinjak oleh orang
yang menghinanya tadi. Aku sungguh tak tega melihatnya.
Orang yang berpakaian rapi yang satunya lagi mengusapusap
bahu temannya itu. Aku harap dia bisa menyadarkan
temannya itu yang sudah berbuat kurang ajar pada ibu tua itu.
Tapi ternyata dugaanku salah. Dengan setali tiga uang,
orang yang satunya lagi malah ikut-ikutan mencaci ibu tua
itu.

”Hei! Pergi kau dari sini. Seperak pun tak akan aku
berikan uangku untukmu. Pergi kau! Dasar perempuan tua
tak tahu diuntung. Mengganggu saja! Pergi kau!!” Ucapnya
dengan nada yang lebih tinggi dari orang yang sebelumnya.
Semua penumpang yang ada di dalam kereta
mengarahkan pandangannya pada dua orang laki-laki dan ibu
tua itu. Sungguh, aku jadi naik pitam. Aku sungguh tak tega
melihat dua orang itu menghina ibu tua itu. Aku harus
bertindak. Tapi apa? Semua orang yang ada dalam kereta
tidak berani bertindak. Ini sudah keterlaluan. Ini sudah
termasuk perbuatan zalim. Dan kezaliman harus segera di
musnahkan.

Setelah kurasa tak ada yang cukup berani meluruskan
kesalahan dua orang itu, akhirnya aku putuskan untuk
membela ibu tua itu yang aku rasa dia tidak bersalah.

”Cukup-cukup!!” Teriakku sambil berjalan kearah ibu tua
itu. Aku rasa semua yang ada disana sedang
memperhatikanku. Sebenarnya aku sangat takut dan gemetar,
tapi aku yakin aku bertindak yang memang seharusnya
dilakukan oleh setiap muslim yang melihat kemungkaran dan
kezaliman. Dua laki-laki itu mengarahkan tatapan sinis
padaku. Jujur, pada saat itu aku hanya bisa pasrah pada Allah
swt.

”Tidak sepantasnya kalian sebagai seorang yang
berpendidikan, berperilaku seperti itu. Saya yakin kalian ini
pasti seorang yang berpendidikan bukan? Apakah pantas
kalian berdua menghina ibu ini dengan hinaan yang
sebenarnya sangat tidak patut keluar dari mulut kalian
sebagai seorang yang berpendidikan? Apakah hanya karena
sepatu bagus kalian yang mengkilap, kalian merasa pantas
menghina ibu ini? Apakah hanya karena kemeja dan celana
kalian yang licin, lalu kalian merasa benar untuk mencaci
makinya? Kalau hanya karena itu semua kalian merasa benar
melakukan hal itu, maka sebenarnya yang hina bukan ibu ini,
melainkan kalian” Ucapku dengan tegas sambil membantu
ibu tua itu untuk berdiri.

”Apa maksud perkataanmu hei?” Tanya salah seorang
dari dua laki-laki itu yang mengenakan kemeja berwarna biru
tua.

”Apa kurang jelas apa yang saya ucapkan tadi? Kalau
kalian merasa benar melakukan hal itu, maka kalian pun tak
lebih tinggi dari seorang pecundang. Kalian menghina
seorang ibu yang sudah tua renta ini tanpa sebuah rasa tak
tega sedikitpun. Hanya karena dia tak sengaja mengotori
sepatu kalian, lantas kalian menghinanya. Apakah harga diri
kalian hanya sebatas sepatu kalian yang mengkilap itu?”

”Hei! Tutup mulutmu perempuan berjilbab. Tahu apa kau
tentang harga diri. Hah?” Kali ini laki-laki yang mengenakan
kemeja merah marun yang bertanya padaku.

”Apakah kalian tidak pernah berpikir sedikitpun tentang
kehidupannya ketika mata kalian melihat dia mencari sesuap
nasi dengan membersihkan gerbong kereta ini? Kemana hati
nurani kalian tatkala tangan tua rentanya menyingkirkan
sampah-sampah yang kita buang sembarangan disini? Saya
tanya, apakah pekerjaannya itu mengganggu kalian? Apakah
pekerjaannya itu menyusahkan kalian sehingga kalian harus
marah padanya? Apakah kalian bisa menjawabnya? Hah?!”
Dua lelaki itu diam seribu bahasa sambil saling bertataptatapan.
Aku masih terus saja merangkul ibu tua itu tanpa
sedikitpun rasa geli dalam diriku karena pakaian yang
dikenakannya sangat kotor.

”Apa yang dilakukannya itu adalah sebuah perbuatan
yang terpuji. Kita yang membuang sampah sembarangan lalu
dia yang membersihkannya, apa kita tidak malu? Sebagai
seorang yang berpendidikan dan beragama, apakah pantas
kalian menghina seseorang yang justru telah mengajarkan
kita akan pentingnya kebersihan? Coba kalian pikir, kata-kata
yang kalian lontarkan tadi bisa jadi sangat menyakitkan
hatinya. Coba kalian perhatikan air mata yang mengalir di
wajahnya. Itu menandakan bahwa hatinya sangat perih. Demi
mendapatkan sesuap nasi untuk mengganjal perutnya hari ini,
dia sampai rela menahan rasa sakit di hatinya karena ucapan
kalian. Belum lagi tangannya yang terinjak oleh salah satu
diantara kalian. Dia telah berjasa membersihkan tempat ini
agar kita nyaman berada di dalamnya, tapi apa yang kalian
berikan padanya? Sebuah cacian dan hinaan. Bahkan untuk
mengeluarkan uang seribu dua ribu saja kalian tidak bersedia,
kalian malah menghujaninya dengan cacian”

Itulah ucapan yang aku lontarkan pada dua lelaki yang
kini hanya bisa diam mematung sambil menatap wajahku dan
ibu tua yang kini ada di sampingku. Aku yakin semua orang
tengah memandangi kami berempat. Aku kembali berkata
pada dua lelaki itu.

”Saya yakin kalian seorang muslim. Terlihat dari
gantungan tas kalian yang berlambangkan Allah. Apakah
kalian tidak menyadari bahwa iman kalian belum sempurna?”

”Hei, jangan bicara sembarangan. Kami orang yang
beriman dan hanya Allah Tuhan kami” Sahut lelaki
berkemeja merah marun.

”Kalau kalian merasa benar-benar beriman, seharusnya
kalian bisa lebih mencintai saudara kalian sesama muslim.
Rasulullah bersabda, Belum sempurna iman seseorang dari
kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri14. Kalau memang kalian mencintai
diri kalian, seharusnya kalian juga bisa mencintai saudara
kalian sesama muslim sehingga kalian benar-benar bisa
merasakan manisnya kesempurnaan iman itu. Saya yakin
kalian pasti tidak mau memikul kebohongan dan dosa yang
nyata bukan?”

”Apa maksudmu dengan kebohongan dan dosa yang
nyata?” Kali ini laki-laki berkemeja biru tua yang bertanya.

”Allah berfirman dalam Qur’anNya, Dan orang-orang
yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa
kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka
telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata15. Saya
harap, kalian bisa memahami ayat itu. Dalam ayat yang lain,
Allah juga mengingatkan kita agar jangan mengolok-olok
kaum yang lain, karena boleh jadi, mereka yang diolok-olok
itu lebih baik dari pada mereka yang mengolok-olok. Mohon
diingat akan hal itu.

”Saya hanya ingin mengingatkan kalian agar tidak
sombong. Apa yang kalian lakukan itu adalah perbuatan yang
sombong dan tidak mensyukuri nikmat yang Allah berikan.
Coba sedikit saja tundukkan hati kalian dan sedikit berpikir,
bagaimana kalau semuanya berbalik dan kalian atau keluarga
kalian yang sekarang ada di posisi ibu ini. Apa perasaan
kalian saat ini? Saya yakin kalian tidak bisa menjawabnya
karena jawaban itu sudah kalian telan mentah-mentah
bersama hinaan-hinaan kaliantadi. Harusnya kalian bersyukur
karena Allah masih memberikan kesempatan pada kalian
untuk hidup enak sehingga kalian tidak perlu susah-susah
mencari uang seperti yang ibu ini lakukan. Tolong kalian
buang kesombongan kalian itu. Allah bisa marah karena
pakaianNya kalian pakai. Kesombongan adalah dosa besar
yang menyebabkan iblis di usir dari surga. Rasulullah
bersabda, Orang-orang yang sombong akan dikumpulkan
pada hari kiamat bagaikan semut kecil dalam wujud manusia.
Mereka dikepung oleh kehinaan dari seluruh arah. Mereka
digiring ke sebuah penjara dalam neraka Jahanam16. Mereka
ditutupi oleh api paling panas dan diberi minuman dari nanah
penduduk neraka

”Jadi sekali lagi saya mohon, buanglah rasa angkuh
kalian. Jangan sampai jabatan dan kedudukan kalian saat ini
membuat kalian gelap mata dan akhirnya terjebak dalam
bayang-bayang neraka jahannam yang tengah menanti orang-
orang yang sombong. Saya melakukan hal ini, karena saya
tidak tega melihat ibu ini dicaci dan dihina. Sepatutnyalah
kalian menghormatinya karena biar bagaimanapun, dialah
yang lebih dulu menempati dunia ini dibanding kita. Ibu ini
telah mengajarkan kita akan banyak hal. Tentang kebersihan,
kesabaran dalam menghadapi hidup, dan sebuah usaha dan
kerja keras yang juga di iringi dengan ikhtiar, tawakal, dan
rasa syukur. Betapa hidup ini harus dijalani tanpa mengenal
kata putus asa. Itulah muslim sejati”

Dua lelaki berkemeja licin itu tampak berkaca-kaca. Raut
wajahnya terlihat sekali kalau mereka sangat menyesal.
Mereka saling bertatap-tatapan kemudian mereka mengaku
sangat menyesal dengan tindakannya terhadap ibu tua itu.
Setelah mengucapkan terima kasih padaku, mereka
menyalami ibu tua yang kini ada disampingku sambil
meminta maaf padanya dan memberinya dua lembar uang
seratus ribuan.

Ibu tua itu menghapus air matanya. Dia tersenyum
padaku dan mengucapkan terima kasih. Aku balik tersenyum
padanya dan terdengar tepukan tangan yang diiringi dengan
pekikan takbir dari penumpang kereta yang hampir
seluruhnya adalah mereka yang mengikuti aksi munashoroh
Palestine di Monas.

* * *
Tepat di stasiun Pasar Minggu baru ibu tua itu turun. Aku
kembali lagi pada Nadia. Ada beberapa orang mengucapkan
selamat padaku. Nadia menyampaikan rasa salut dan
kagumnya padaku. Aku sampaikan padanya bahwa sungguh
saat aku mengucapkan kata-kata itu, yang terbersit dalam
pikiranku adalah bagaimana caranya agar dua lelaki itu bisa
mengerti arti kehidupan ini. Dan sejujurnya aku katakan
bahwa sampai saat ini hatiku masih berdegup kencang.
Di stasiun Pasar Minggu Nadia turun. Aku hanya
mengucapkan terima kasih dan tersenyum padanya. Kereta
terus melaju dan terus membawaku beserta orang-orang yang
ada dalam kereta menuju stasiun yang satu ke stasiun yang
lain. Banyak yang turun namun tak sedikit pula yang terus
memadati sesaknya kereta. Stasiun Lenteng Agung sebentar
lagi. Aku bersiap-siap untuk turun. Setelah sampai aku pun
turun. Aku keluar satsiun dan menghentikan angkot berwarna
coklat. Tepat di sebuah sekolah rumah makan padang aku
turun dan membayar angkotnya.

Dirumah kontrakanku yang mungil, aku mencurahkan
segalanya. Teringat kembali semua kejadian yang aku alami
hari ini. Aku yang melihat Mas Yusuf di Monas,
pertemuanku dengan sahabatnya Alifa dan mengabarkan aku
kalau Alifa saat ini tengah dirawat di rumah sakit karena
suaminya meninggal, juga kejadian di kereta tadi yang
membuatku semakin mengerti arti hidup ini.

Setelah istirahat sejenak, aku mandi dan shalat Ashar.
Mas Yusuf belum juga pulang. Aku menyempatkan diri
memasak sayur sawi dan menggoreng telur untuk makan
malam Mas Yusuf. Tapi sampai Maghrib tiba, dia belum
pulang-pulang juga. Masakanku sudah dingin. Sebenarnya
aku ingin menghubunginya tapi aku khawatir dia akan
menjawab pertanyaanku dengan jawaban yang tidak
semestinya. Akhirnya kuurungkan niatku.

Kulihat jam dan azan Isya berkumandang. Aku putuskan
untuk segera shalat dan mengadu PadaNya. Aku ingin sekali
menangis. Menangis dengan sungguh-sungguh di hadapan
Rabbku. Menangis dengan air mata yang sejak tadi siang
kutahan. Aku tak pernah sesedih ini. Rasanya sakit seperti
teriris-iris pisau sembilu. Aku kecewa padanya.

Kucurahkan semua perasaanku dalam buku harianku.
Diatas buku itu kugoreskan tinta hitamku. Berharap agar
perasaanku yang kini gundah dapat berubah menjadi lebih
tenang. Hanya buku harianku yang selama ini selalu
menemaniku melewati hari-hari yang baru aku jalani bersama
Mas Yusuf. Suamiku yang aku tahu tidak pernah
mencintaiku. Suamiku yang aku tahu berbohong padaku tadi
siang. Remuk rasanya jiwa ini. Sejadi-jadinya aku menangis
sambil terus mencurahkan perasaanku di dalam buku
harianku.

Kurasa mataku bengkak. Aku sudah mulai mengantuk
tapi Mas Yusuf belum juga pulang. Tidak menelepon ataupun
mengirimkan sms sekedar memberitahukan dimana dia
sekarang. Kuseka air mataku dan aku beranjak mengunci
pintu depan. Mas Yusuf membawa kunci rumah yang satu
lagi. Aku melihat kembali makanan yang tadi aku masak.
Sudah sangat dingin. Aku masukkan sayur kedalam
penghangat nasi dan telurnya kubiarkan diatas meja makan
yang kututup dengan tudung saji.

Aku kembali lagi kekamar dan bersiap untuk tidur.
Namun baru sekitar 15 menit aku memejamkan mata, tiba-tiba
terdengar suara pintu rumah dibuka. Aku yakin itu Mas
Yusuf. Kudengar dia melangkah masuk kedalam kamar. Aku
masih memejamkan mata sambil memiringkan tubuhku
membelakanginya. Aku putuskan untuk tidak bangun dan
menyambut kedatangannya. Aku kahawatir dia melihat
mataku yang bengkak lalu dia menanyakan alasannya.
Kumantapkan hati untuk tidur malam ini. Dan Mas
Yusuf? Biarlah dia makan sendiri malam ini. Toh, nasi,
sayur, dan telurnya sudah aku siapkan di meja makan. Biar
bagaimana pun, aku hanya ingin menjadi istri yang baik dan
berbakti pada suami. Meskipun hatiku sakit. Tapi untuk
malam ini, maafkan aku Mas jika kamu makan sendiri. Aku
tak sanggup melihat wajahmu.

Di luar, hujan turun secara perlahan mengantarkan deras
yang tiada terkira. Dalam pejam malamku aku berdo’a,

”Ya Allah, ampuni segala dosa-dosaku dan dosa-dosa
suamiku. Berikanlah kami kekuatan untuk bisa tetap bertahan
di jalan IstiqomahMu. Amin”

* * *
Sisa-sisa hujan masih terus saja mengguyur kota Jakarta.
Dan pagi ini pun hujan masih terus turun dengan derasnya.
Sebagian kota Jakarta sudah ada yang tergenang banjir. Aku
lihat di berita pagi yang menyebutkan bahwa sebagian
kawasan di Jakarta sudah terendam oleh banjir setinggi 1-2
meter. Kebetulan hari ini adalah hari ahad, jadi tidak ada
kegiatan yang mengharuskan aku keluar rumah. Dan aku
putuskan untuk tetap dirumah dan kembali duduk di depan
komputer untuk meneruskan tulisanku.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB.
Kulihat Mas Yusuf sedang menonton televisi. Aku sedang
memasak nasi goreng untuk sarapan paginya. Setelah itu
kami sarapan bersama tanpa perbincangan yang berarti.
Hanya suara penyiar berita di televisi yang mengisi kebisuan
kami. Selesai sarapan aku memasak tumis kangkung dan
menggoreng tempe. Tak lupa sambal goreng yang menjadi
pelengkap menu masakan hari ini. Selesai masak pukul
08.45. Aku bergegas membersihkan tubuhku dari sisa asap
masakan. Aku berencana meneruskan tulisanku setelah shalat
dhuha nanti.

Hujan belum juga reda sementara petir terus saja
bersahut-sahutan di langit sana. Aku masuk ke kamar dengan
sebelumnya menatap Mas Yusuf yang tengah membaca koran
di ruang tamu. Televisinya dimatikan, mungkin karena takut
tersambar petir. Aku shalat dhuha di kamar, bermunajat
sebentar, kemudian langsung menghidupkan komputerku.
Aku mulai terhanyut dalam lautan kata-kata sebelum Mas
Yusuf memanggilku karena ada telepon dari pihak penerbit.

Aku keluar dan menerima telepon itu. Tak berapa lama,
aku menyudahinya. Dari pihak penerbit memintaku untuk
membuat ucapan terima kasih karena novel ketigaku akan
segera diterbitkan. Hatiku senang tiada terkira. Berkali-kali
kuucap rasa syukur yang teramat dalam pada Allah swt. Di
tengah derasnya hujan yang belum juga berhenti, aku
mendapatkan berita yang menyejukkan hatiku.

Aku kembali ke kamar untuk meneruskan tulisanku.
Kulihat kini Mas Yusuf tengah meringkuk di atas tempat
tidur membelakangi diriku. Kuposisikan diriku di depan layar
komputer. Baru beberapa baris aku mengetik, Mas Yusuf
membalikkan tubuhnya dan bertanya padaku.

”Ada apa dari pihak penerbit menelepon?”

”Memberi tahu kalau novelku yang ketiga akan segera di
proses” Jawabku singkat tanpa memalingkan wajahku dari
layar komputer. Tiba-tiba aku berinisiatif membuatkan susu
hangat untuk Mas Yusuf. Aku menoleh sesaat ke arahnya
yang tengah bersandar di kepala tempat tidur sambil
membaca buku. Aku beranjak keluar kamar untuk membuat
susu hangat kemudian ku berikan padanya.

”Nih Mas. Susu hangat untuk menghangatkan tubuh”
Kataku sambil menyodorkan segelas susu padanya. Dia
menerimanya dan meminumnya sedikit demi sedikit. Aku
masih duduk di pinggir tempat tidur sambil menatapnya. Aku
begitu mencintainya. Apakah dia juga merasakan hal yang
sama sepertiku? Kutepis segera pemikiranku. Aku kembali
tertuju pada komputerku sebelum Mas Yusuf menggamit
tanganku dan menyuruhku untuk tetap duduk.

Aku tak tahu apa yang hendak dia lakukan. Dia beranjak
dari tempat tidur lalu mematikan lampu yang ada di kamar
dan menutup semua gorden di jendela kamar. Tiba-tiba
jantungku berdetak kencang. Apa yang hendak ia lakukan?
Dia berjalan ke arahku dan pada saat yang sama, dia
mengajakku bercinta. Yang aku ingat, terakhir kami memadu
kasih.....3 minggu yang lalu. Hatiku kembali berdebar.
Mataku menatap penuh tajam ke arah matanya.
Di tengah derasnya hujan, Mas Yusuf membawaku ke
taman surga. Di pojok kamar sana, komputer belum sempat
aku matikan. Jujur, ini adalah kado terindah untuk novelku
yang ketiga. Atau mungkin, ini adalah penebus rasa
bersalahnya karena kemarin dia telah berbohong padaku.
Entahlah.


* * *

 PART 12
 Ketika Cinta Harus Bersabar

By NURLAILA ZAHRA


Dua hari setelah hari itu, sepulang dari kantor aku
memutuskan untuk menjenguk Alifa di Rumah Sakit Pasar
Rebo. Keadaan Alifa belum sempat aku beri tahukan pada
Mas Yusuf. Setelah turun dari angkot berwarna merah, aku
langsung masuk kedalam rumah sakit. Menaiki lift dan
menuju lantai lima ruang melati.

Di kamar 603 aku dapati seorang ibu paruh baya tengah
duduk di sebelah seorang perempuan berwajah manis yang
sangat ku kenal, Alifa. Mungkin ibu itu adalah ibundanya.
Sambil tertunduk dia membaca surat Yasin dengan suara
pelan. Aku memasuki kamar itu sambil mengucapkan salam
dengan pelan. Ibu paruh baya itu mengangkat kepalanya
kemudian berdiri menghampiriku.

Kucium tangannya sambil berkata.

”Ibu, saya Dinda, sahabatnya Alifa”

”Oh..iya, iya. Terima kasih sudah mau datang menjenguk
Alifa” Sahut ibu paruh baya itu dengan suara agak sedikit
serak. Di matanya terdapat butiran-butiran kecil air mata.
Mungkin dia habis menangis. Entahlah.

Sejurus kemudian aku mengalihkan pandanganku pada
Alifa. Gadis cantik nan ayu itu kini terbaring lemah tak
berdaya di kasur rumah sakit. Wajah terlihat pucat dan
tubuhnya tampak begitu kurus yang di tutupi dengan selimut
tebal. Jilbabnya kini agak sedikit pendek dari biasanya.
Namun dia tetap terlihat cantik bagi siapa saja yang
memandangnya.

Setelah menatap Alifa yang hanya bisa memejamkan
matanya, aku mulai bertanya pada ibu paruh baya yang tak
lain adalah ibunda Alifa. Dia bernama Bu Ratih.

”Sejak kapan Alifa masuk rumah sakit Bu?” Tanyaku
sambil terus berdiri di samping Alifa.

”Sejak keadaannya semakin parah Nak. Ya...sekitar dua
minggu yang lalu. Awal masuk kesini sih masih bisa makan,
minum, shalat, bicara juga masih bisa sedikit-sedikit. Tapi
makin kesini, kondisinya semakin....” Bu Ratih memutuskan
kata-katanya. Air mata yang berusaha ditahannya kini tak
dapat lagi terbendung. Aku langsung mengeluarkan tisu dan
kuberikan padanya sambil mengelus-elus bahunya.

”Sabar ya Bu?” Ucapku padanya.

Bu Ratih hanya mengangguk sambil menghapus air
matanya. Tanpa terasa kedua mataku basah. Sejurus
kemudian timbul perasaan yang tiba-tiba saja menyusup ke
dalam sukmaku. Aku begitu sedih melihat Alifa terbaring
koma.

Sesaat lamanya aku berada disana, tiba-tiba ada seorang
dokter cantik yang datang untuk memeriksakan keadaan
Alifa. Dia bernama dokter Melisa. Dokter itu bersama dua
orang perawatnya. Yang satu mengenakan kerudung dan
yang satu lagi tidak. Suster yang mengenakan kerudung
memeriksa denyut nadi Alifa lalu menuliskan sesuatu pada
kertas yang dibawanya. Sedangkan suster yang satu lagi
hanya berdiri sambil membawa beberapa obat-obatan di meja
dorongnya.

Dokter Melisa memeriksa mata Alifa dengan senter kecil.
Dan sesekali dia mengecek selang infus yang yang
menghubungkan cairan infus ke tubuh Alifa. Cairannya
sudah hampir habis dan dia menyuruh suster yang tidak
mengenakan kerudung untuk mengganti cairan infus yang
sudah habis dengan cairan infus yang baru.

Setelah memeriksa keadaan Alifa, dokter Melisa
berbincang sedikit dengan Bu Ratih.

”Bagaimana dok keadaanya? Apa ada kemajuan?” Tanya
Bu Ratih penuh harap.

Dokter cantik itu menggeleng.

”Belum ada perubahan apa-apa. Bahkan keadaannya
semakin menurun kalau tidak secepatnya dilakukan tindakan”
Jawab dokter itu tenang.

”Tindakan apa dok?” Tanyaku menimpali.

”Tindakan untuk mencarikan seseorang yang mau
berpura-pura menjadi suaminya. Saat ini dia memerlukan
belaian lembut dan kasih sayang dari seorang suami.

Maklumlah, Ibu Alifa ini baru seminggu menikah bukan?
Masa-masa itu adalah masa-masa dimana pasangan pengantin
baru sedang mesra-mesranya. Makanya wajar jika dia stres
kemudian sakit seperti ini. Selain kondisi fisiknya yang
lemah, batinnya juga sangat terguncang tatkala dia harus
menerima kenyataan pahit bahwa suaminya yang baru
seminggu dinikahinya harus pergi dengan kondisi yang
sangat kritis” Jelas dokter Melisa sangat detail. Aku
mendengarkannya dengan seksama.

”Lalu bagaimana dengan kandungannya dok?” Tanya Bu
Ratih yang tiba-tiba saja mengejutkanku.

”Kandungan? Jadi...saat ini Alifa sedang hamil?”

”Iya” Sahut dokter melisa.

”Usia kandungannya baru dua bulan. Alhamdulillah janin
yang ada dalam kandungannya tidak mengalami penurunan.
Tapi kalau dibiarkan terus seperti ini, saya tidak bisa
menjamin kalau usia kandungannya bisa bertahan lama.
Maka dari itu, harus ada yang mau berpura-pura atau
mungkin ada seorang laki-laki yang berkenan menikahinya
dan bersedia menjadi suami keduanya menggantikan suami
pertamanya yang meninggal. Sehingga Ibu Alifa bisa
merasakan kembali kasih sayang dari seorang suami yang
memang seharusnya ia dapatkan sejak pertama
pernikahannya” Jelas Dokter Melisa kembali.

Aku hanya terdiam tak berbicara apa-apa. Aku dan Bu
Ratih mengucapkan terima kasih tatkala dokter Melisa dan
dua perawatnya pergi meninggalkan kami. Aku teringat
ucapan dokter Melisa barusan,

”Tapi kalau dibiarkan terus seperti ini, saya tidak bisa
menjamin kalau usia kandungannya bisa bertahan lama.
Maka dari itu, harus ada yang mau berpura-pura atau
mungkin ada seorang laki-laki yang berkenan menikahinya
dan bersedia menjadi suami keduanya menggantikan suami
pertamanya yang meninggal”

Aku juga teringat perkataan dokter Melisa yang terus
terngiang dalam ingatanku.

”Sehingga Ibu Alifa bisa merasakan kembali kasih sayang
dari seorang suami yang memang seharusnya ia dapatkan
sejak pertama pernikahannya”

Alifa memang seharusnya mendapatkan kasih sayang itu,
tapi Allah telah mengambil suaminya dari sisinya. Sedangkan
aku? Nasibku sungguh kontras sekali dengan kehidupan
Alifa. Sudah hampir setahun aku menikah namun sampai
detik ini aku belum juga mendapatkan kasih sayang itu.
Kasih sayang yang memang seharusnya aku dapatkan dari
seorang suami.

Bu Ratih mengejutkanku dengan tegurannya.

”Nak Dinda”

”Eh...Ya Bu?” Sahutku.

”Kenapa melamun?”

Aku menggeleng.

”Tidak Bu. Ehm..kalau begitu saya pamit pulang dulu ya
Bu? Saya do’akan semoga Alifa bisa secepatnya melalui
ujian ini dan semoga Alifa bisa lekas sembuh”

”Terima kasih ya Nak?’ Ucap Bu Ratih.

Aku mengangguk sambil tersenyum padanya.

Sebelum pulang aku sempatkan menyentuh tangan Alifa
yang kurus dan pucat itu. Dalam hati aku berucap padanya,

”Aku akan membantumu, Alifa. Insya Allah”

Setelah berucap sedikit pada Alifa, aku segera pulang
dengan terlebih dahulu berpamitan pada Bu Ratih.

”Yang tabah ya Bu? Saya yakin, Allah pasti akan
memberikan jalan keluar atas semua ujian ini. Dan saya pun
akan membantu Alifa sebisa saya mampu. Insya Allah.

Assalamu’alaikum”

”Wa’alaikumusslam. Terima kasih ya Nak Dinda?”

Aku tersenyum padanya kemudian keluar menuju lift.
Setelah keluar dari rumah sakit, di dalam angkot merah yang
aku tumpangi, tiba-tiba aku mempunyai sebuah rencana yang
mungkin bisa membuat Alifa tersadar dari komanya. Sebuah
rencana yang akan aku jalankan untuk membantu Alifa dan
bayi yang tengah dikandungnya.

* * *
Setelah sampai dirumah, tak kutemukan Mas Yusuf di
setiap sudut rumah. Mungkin dia masih mengajar di sekolah.
Aku beristirahat sejenak kemudian mandi dan shalat maghrib.
Selesai itu aku sedikit tilawah sebentar sebelum tiba-tiba saja
rasa cemas itu menyusup ke dalam dada. Kemana Mas Yusuf
sampai petang begini belum pulang? Tak biasanya dia pulang
mengajar sampai malam seperti ini. Tak memberi kabar atau
pun sms.

Kusudahi tilawahku yang baru beberapa lembar. Kuraih
ponselku yang tergeletak diatas tempat tidur lalu kuhubungi
Mas Yusuf. Tak ada nada sambung dari ponselnya. Kemana
dia? Sekali lagi aku hubungi dia dan yang menjawab hanya
suara operator telepon seluler.

”Maaf, nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif.
Cobalah beberapa saat lagi atau tinggalkan pesan setelah
nada berikut....”

Aku coba berkali-kali tetap tidak bisa. Kuputuskan untuk
mengiriminya sms. Semoga saja ketika ponselnya sudah
aktif, dia segera membaca pesanku dan langsung
membalasnya. Sungguh, malam ini aku tak bisa tidur dengan
tenang.

Awalnya aku ingin menanyakan keberadaan Mas Yusuf
pada mertuaku, tapi kuurungkan. Aku tak ingin mereka
cemas lalu memikirkan hal ini. Aku juga tidak mempunyai
nomor telepon teman-temannya kecuali Mas Bambang.
Ya, aku akan coba menghubungi Mas Bambang dan
kutanyakan keberadaan Mas Yusuf padanya.

”Halo...” Ucap Mas Bambang dari sebrang sana.
Aku menjawabnya dan segera saja aku bertanya padanya
perihal Mas Yusuf. Tapi lagi-lagi aku harus memendam
harapku. Mas Bambang sendiri tidak tahu dimana Mas Yusuf
sekarang. Yang dia tahu sepulang dari mengajar pukul dua
siang, dan Mas Yusuf langsung pulang dengan tergesa-gesa.
Setelah mengucapkan terima kasih pada Mas Bambang,
aku segera menutup teleponnya. Yang menjadi pikiranku,
mengapa Mas Yusuf pulang dengan tergesa-gesa? Apakah
jangan-jangan, dia sudah mengetahui kondisi Alifa sekarang
dan dia pergi menjenguknya?

Ah! Aku tak mau memikirkan hal itu. Biarlah waktu saja
yang menunjukkan segalanya. Dan saat ini, sebaiknya aku
ingin tidur dan mengistirahatkan tubuh ini yang sudah
seharian beraktivitas.

* * *

Pukul satu malam aku terbangun. Ada kehausan yang
teramat sangat ketika aku merasakan sadar dari tidurku. Aku
beranjak dari tempat tidurku menuju ke dapur. Setelah
minum untuk menghilangkan dahagaku, aku kembali ke
kamar. Duduk di tepi tempat tidur sambil termenung
sendirian. Aku masih memikirkan dimana Mas Yusuf malam
ini. Aku takut terjadi apa-apa padanya.

Sambil menatap photo pernikahanku yang dipajang di
meja kecil disamping tempat tidurku, tiba-tiba aku menangis.
Entah apa yang membuatku menangis. Aku ingin shalat
tahajud.

Setelah mengambil air wudhu aku langsung
melaksanakan shalat tahajud dan bermunajat padaNya untuk
keselamatan Mas Yusuf dimana pun dia berada. Lalu aku
lanjutkan dengan tilawah Al-Qur’an beberapa lembar. Setelah
itu aku menutupnya dengan shalat witir tiga rakaat.

Kulepas mukenaku dan ku ganti dengan jilbab hitam. Aku
berdiri di depan jendela kamarku sambil membuka sedikit
gorden yang menutupinya. Di luar gelap. Jalanan hanya di
terangi dengan beberapa lampu neon yang tersambung oleh
rumah warga.

Ku putar kembali ingatanku satu tahun yang lalu.

Ingatanku ketika keluarga Mas Yusuf datang kerumah untuk
melamarku, lalu surat dari Mas Yusuf yang kukira surat cinta
ternyata surat yang amat menyakitkanku, dan berbagai sikapsikap
Mas Yusuf yang sampai sekarang tidak bisa aku
mengerti kenapa dia belum bisa menerimaku sebagai seorang
istri. Semua ingatan-ingatan itu membuat mataku basah dan
akhirnya aku menangis.

Aku melangkah ke meja kerjaku. Sambil mendudukan
tubuhku di kursinya, kuambil kembali buku harianku. Tibatiba
aku melihat sebuah tape recorder yang sudah sejak lama
kutaruh di laci. Didalamnya terdapat sebuah kaset kosong
yang aku ingat, kaset itu pernah aku gunakan untuk
mewawancarai seorang narasumber untuk keperluan majalah
di tempatku bekerja.

Kuurungkan niatku untuk menulis di buku harian dan aku
putuskan untuk merekam suaraku di tape recorder itu. Akan
kukeluarkan seluruh perasaanku selama ini tentang hatiku,
tentang Mas Yusuf, dan tentang Alifa.

Tape recorder aku nyalakan dan aku mulai bercerita.
“Tuhanku,

Hanya Engkau sajalah yang mengetahui isi hatiku. Hanya
Engkau sajalah yang menjaga hati dan perasaanku sehingga
aku bisa kuat dan tegar sampai saat ini.

Tuhanku,

Aku sudah tak tahu lagi bagaimana rasanya mencintai dan
dicintai. Hatiku telah membeku. Satu tahun sudah aku hidup
sebagai seorang istri. Hidup tanpa kasih sayang dan perhatian
dari seorang suami yang aku kasihi. Hidup penuh
kegamangan dan kepasrahan dalam menanti cintanya
untukku.

Rabbi,

Sungguh aku sangat mencintainya. Sungguh aku sangat
menyayanginya. Tapi kenapa sampai saat ini tak sedikit pun
rasa cinta itu ia berikan padaku? Apakah ada yang kurang
dalam pengabdianku padanya selama ini? Apakah ada yang
tak diinginkannya dariku sebagai seorang istri?

Sudah cukup sabar rasanya aku menahan semua ini.
Menahan rasa cinta yang tak kunjung terbalas olehnya.
Katakan padaku Ya Allah, kapan sekiranya dia mau
membukakan pintu hatinya untukku?

Malam ini aku sendiri. Dan lagi-lagi aku harus
mengeluarkan air mataku untuknya yang sekarang entah
berada dimana. Aku lelah Ya Allah. Bahkan untuk tetap
mencintainya saja, kurasa aku sudah tak sanggup lagi. Tapi
tak sedikit pun aku berniat menghilangkan dia dari ingatanku.
Biarlah aku menanggung derita ini diatas rasa cinta yang
kuusahakan untuk tetap bertahan.

Ya Allah,

Aku sudah memaafkan segala sikapnya selama ini
padaku. Tapi aku mohon, janganlah Engkau mencatat segala
perbuatannya itu sebagai sebuah kezhaliman. Sungguh, aku
sudah memaafkannya dan aku ikhlas dengan semua keadaan
ini. Aku hanya ingin Kau menempatkan dia di tempat yang
layak di sisiMu. Aku mohon.

Ya Allah,

Selama aku menjadi istrinya, mungkin banyak
kekurangan yang hadir pada diriku yang tidak ia sukai. Aku
mohon, bantulah aku memperbaiki semuanya. Bantulah aku
membahagiakan dirinya, meskipun hal itu amat sangat
menyakitkan untukku.

Sekiranya Engkau mengizinkan, biarkanlah aku berbagi
cinta pada yang lain. Biarkanlah aku berbagi hidup pada
hambaMu yang lain, yang namanya sudah sejak lama
bertahta di kedalaman relung hatinya. Tegarkanlah hatiku
ketika aku harus menyaksikan waktu membawa suamiku
pergi pada bunga yang lain. Kuatkanlah imanku ketika aku
harus berbagi suami pada yang lain, pada Alifa.

Aku hanya berharap satu pahala dariMu. Karena aku
tahu, Alifa membutuhkan seorang suami dan bayi yang ada
dalam kandungannya butuh seorang ayah. Jika sosok itu
adalah suamiku, maka dengan segenap hati dan jiwa, aku
bersedia.”

Seusai merekam suaraku dalam tape recorder sambil
terisak, kusimpan kaset rekaman dan tape recordernya di
dalam laci mejaku. Kuseka air mataku dan aku kembali tidur
dengan perasaan yang masih gundah memikirkan Mas Yusuf.

* * *
Pagi hari ketika jam sudah menunjukkan pukul 06.00,
pintu rumah ada yang membuka. Aku yang baru saja keluar
dari kamar mandi langsung melangkah ke ruang tamu.

”Dari mana Mas?” Tanyaku pada seseorang yang ternyata
adalah Mas Yusuf.

Dia hanya diam sambil membuka kaos kakinya di kursi.
Tanpa menjawab pertanyaanku dia malah berjalan ke kamar.
Aku mengikutinya.


”Mas, kamu dari mana aku tanya?”

”Sudahlah!” Bentak Mas Yusuf mengejutkanku.

”Kamu selalu mau tahu saja urusanku”

Aku benar-benar kaget mendengar bentakan Mas Yusuf
yang bagai anak panah menikam jantungku. Aku masih
terdiam sementara Mas Yusuf kembali bersuara.

”Yang pasti aku tidak berselingkuh karena hal itu tidak
mungkin aku lakukan”

”Ya aku tahu hal itu” Sahutku berusaha untuk tenang.

”Lagipula tak pernah sedikit pun aku berpikir kalau kamu
selingkuh. Kita sama-sama orang yang beriman.Aku hanya
ingin tahu dari mana saja kamu semalam sampai tidak
pulang? Tidak kasih kabar atau pun sms. Aku telepon hand
phone mu tidak aktif. Akhirnya aku kirim sms. Apa telah kau
baca?”

Lagi-lagi dia hanya diam sambil menganggukkan
kepalanya.

”Lalu kenapa tidak kau balas untuk memberitahukan
dimana kamu berada? Sungguh aku khawatir dengan
keadaanmu. Ingat Mas, walau pun kamu tidak mencintaiku,
tapi biar gimana pun aku ini istri kamu. Jadi wajar jika kamu
tidak pulang semalaman tanpa kabar, akan ada seorang
wanita yang membasahi bantalnya dengan air mata dan itu
adalah aku. Katakan Mas, dari mana kamu semalam dan
kenapa tidak membalas sms ku?”

Mas Yusuf terdiam sesaat lalu menjawab dengan raguragu.
”Aku...aku habis dari rumah Bule Rinta...”

”Bule Rinta?!” Putusku dengan penuh tanya.

”Ada apa dengan Bule Rinta?”

”Kemarin, dirumahnya ada acara....selametan anaknya
yang mau di khitan..” Jawab Mas Yusuf tenang.

”Selametan? Dirumah Bule Rinta ada selametan?”
Mas Yusuf mengangguk pelan sambil mengganti
pakaiannya.

”Kenapa kamu tidak memberi tahu aku kalau dirumah
Bule Rinta ada selametan? Kalau aku tahu kan aku bisa
datang. Kenapa kamu tidak memberi tahu aku Mas? Kenapa
kamu pergi sendiri?”

”Ya...ya, karena acara kemarin baru hanya selametan.
Nanti kalau acara khitanannya akan dilaksanakan baru aku
kasih tahu” Jawab Mas Yusuf seolah tak bersalah.

”Kamu terlalu Mas” Ucapku sambil menahan tangisku di
tenggorokan.

”Kamu anggap apa aku? Apa kata keluarga kamu ketika
mereka melihat kamu datang sendiri? Apa kamu juga ingin
membuat mereka jadi membenci aku? Ingat Mas, mereka
tahunya kita saling mencintai. Dan kamu juga harus ingat,
aku ini istri kamu. Wanita yang sudah sah kamu nikahi
setahun yang lalu. Aku harap kamu tidak melupakan hal itu.
”Tolonglah Mas. Untuk urusan keluargamu janganlah
tertutup padaku. Setahun Mas, sudah setahun kita menikah.
Tapi sejujurnya, aku tidak pernah merasakan bahagianya
menjadi seorang istri. Katakan padaku Mas, apakah ini
kesalahanku jika kau tidak mencintaiku? Apakah ini
kesalahanku jika kau menikahiku? Dimana letak kesalahanku
sehingga kau tega menghukumku seberat ini? Dimana Mas?”
Tak terasa air mataku jatuh menetes. Aku tak kuat lagi
menahan air mata ini. Aku menunduk sementara Mas Yusuf
hanya diam di tempatnya berdiri kini.

”Mungkin sudah saatnya aku mengatakan hal ini” Ucapku
dengan penuh ketegasan. Ku seka air mataku. Mas Yusuf
terlihat penasaran.

”Di dalam biduk rumah tangga kita memang tidak pernah
ada cinta yang menghiasi. Tapi aku berharap tidak pernah ada
pula kata perceraian di antara kita. Karena Allah sangat
membenci hal itu. Tapi kalau hal ini dibiarkan, aku tahu
hatimu akan sakit selamanya. Jadi aku mempunyai saran
untukmu agar kau bisa hidup bahagia tanpa harus
menceraikan aku karena aku tidak ingin kau
menceraikanku.....”

”Apa maksudmu?” Tanya Mas Yusuf penasaran.

Aku terdiam sejenak sambil menghela nafasku. Kutatap
kedua matanya.

”Nikahi Alifa......”

”Apa?! Apa maksud perkataanmu?” Tanya Mas Yusuf
menghampiriku.

”Nikahi Alifa karena kini dia sudah menjadi seorang
janda...” Ucapku menegaskan.

”Janda?! Alifa sudah menjadi janda?”

”Ya. Sudah tiga bulan Alifa menjadi seorang janda.
Seminggu setelah pernikahannya suaminya meninggal akibat
kecelakaan kereta api. Sekarang kondisi Alifa menurun dan
kini dia dirawat dirumah sakit”

”Menurun?”

”Ya. Kondisi itu disebabkan karena dia tidak bisa
menahan stres dan tekanan batin atas kepergian suaminya.
Dan satu-satunya jalan agar dapat menolong Alifa dari koma,
adalah mencarikan seorang suami untuknya yang dapat
menggantikan kasih sayang suaminya yang seharusnya ia
dapatkan sejak pertama ia menikah”

”A, aku tidak mengerti apa yang kamu katakan...”

”Alifa butuh kamu untuk dapat mengembalikan semangat
hidupnya. Dan bayi yang ada dalam kandungannya butuh
seorang ayah. Waktunya tidak banyak lagi. Kalau terlambat,
maka dokter pun tidak bisa menjamin kalau Alifa bisa
selamat dan bayi dalam kandungannya juga akan bertahan
lama”

Mas Yusuf terlihat cemas sekali. Mungkin dia tidak
mengira kalau Alifa akan bernasib seperti ini. Dia tak bisa
berkata apa-apa.

”Aku mohon Mas. Terimalah tawaranku ini. Jika kau
melakukan hal ini, maka akan banyak jiwa yang kamu tolong.
Kau menolong Alifa dari status jandanya, kau menolong bayi
yang ada dalam kandungannya dari status yatim, kau
menolong hatimu dari kekosongan cinta akan seorang istri,
dan kau pun menolongku untuk membahagiakan suamiku,
kamu. Aku mohon” Ucapku dengan penuh harap padanya.
Mas Yusuf melangkahkan kakinya keluar kamar. Entah
apa yang dipikirkannya saat ini. Dia duduk di ruang tamu
sambil termenung. Raut wajahnya tampak cemas dan
bingung. Tiba-tiba dia bangkit dari duduknya.

”Tapi tidak semudah itu untuk berpoligami. Lagi pula
tidak pernah terpikir sedikit pun dalam benakku kalau aku
ingin menikah lagi. Hanya kamu istriku dan satu-satunya
istriku...”

”Istri yang tidak pernah diperlakukan seperti seorang
istri? Istri yang tidak pernah merasa bahwa dirinya itu
seorang istri?”

Mas Yusuf terdiam menatapku. Kulangkahkan kakiku
menghampirinya.

”Aku hanya ingin kamu bahagia. Kamu memang tidak
bisa menemukan kebahagiaan itu denganku, tapi kamu masih
punya kesempatan untuk bisa hidup bahagia dengan Alifa.
Selain itu kamu juga bisa memberikan kebahagiaan pada
Alifa dan bayi yang dikandungnya. Kamu mengerti kan
Mas?”

Aku rasakan mataku basah. Setetes bening tiba-tiba saja
mengaliri pipiku.

”Aku harap kamu bisa mempertimbangkan saranku. Ini
demi kebaikan kita semua. Aku yakin jika orang tua kita
mengetahui hal ini, mereka pasti akan mengerti. Sepulang
kerja nanti, aku tunggu jawabanmu”

Setelah itu aku masuk ke dalam kamar sambil mengunci
pintunya. Aku tak kuat menahan sesak ini. Di balik pintu aku
menangis. Aku begitu sedih. Semua perasaan bercampur
menjadi satu.

”Rabbi....kuatkan aku.......”


* * *

PART 13
Ketika Cinta Harus Bersabar

By NURLAILA ZAHRA



Waktu berjalan begitu cepat rasanya. Aku masih ingat
betul seperti apa raut wajah Mas Yusuf ketika dia mengetahui
keadaan Alifa saat ini.

Dari kantor aku langsung pergi kerumah sakit untuk
menjenguk Alifa. Kondisinya tidak begitu baik dari waktu
aku menjenguknya pertama kali. Tak lama aku disana.
Namun kali ini aku bertemu dengan mertua Alifa dan
beberapa anggota keluarganya. Satu informasi lagi, sampai
sekarang belum ada seorang laki-laki pun yang mau menikahi
Alifa. Aku hanya bisa mengelus dada dan berucap dalam hati,
kalau saja mereka tahu siapa yang nantinya hendak menikahi
Alifa.

Setelah dari rumah sakit aku langsung pulang kerumah.
Jujur, aku sudah tidak sabar mendengar jawaban Mas Yusuf.
Tapi sampai maghrib menjelang, Mas Yusuf belum juga
pulang. Aku coba menghubunginya lewat hand phone tapi
tidak aktif. Mungkin dia pergi lagi kerumah Bule Rinta, atau
mungkin, dia pergi menjenguk Alifa di rumah sakit?

Entahlah, aku sudah mulai cemas.

Tiba-tiba hand phone-ku berdering. Kulihat satu nomor
yang tidak kukenal. Kuangkat.

”Assalamu’alaikum”

”Wa’alaikumussalam. Apa benar ini Ibu Dinda?” Suara
seorang laki-laki tak kukenal menjawab salamku.

”Iya benar, saya Dinda. Maaf ini siapa ya?”

”Saya Pak Azril, petugas kepolisian”

”Petugas kepolisian?”

”Iya. Saya ingin memberitahukan bahwa suami ibu yang
bernama Yusuf saat ini ada di rumah sakit...”

”Di rumah sakit? A, ada apa dengannya Pak?” Tanyaku
dengan panik.

”Tadi siang suami ibu kecelakaan. Motor yang
dikendarainya menabrak pembatas jalan dan akhirnya dia
terpental sejauh lima belas meter dari lokasi kejadian.

Kondisinya saat ini sangat kritis dan dia belum sadarkan diri”
Suara petugas kepolisian itu bagaikan sebuah petir yang
menyambar tubuhku. Aku bingung harus berbuat apa. Setelah
polisi itu memberitahukan dimana Mas Yusuf dirawat
sekarang, aku langsung bergegas pergi kesana. Tiba-tiba aku
teringat. Mas Yusuf dirawat di rumah sakit yang sama
dengan rumah sakit dimana Alifa dirawat. Apa mungkin Mas
Yusuf berniat menjenguk Alifa disana dan akhirnya dia
kecelakaan di tempat yang tak jauh dari rumah sakit?

Belum sempat aku menemukan jawaban itu, aku langsung
pergi ke Pasar Rebo untuk mengetahui kondisi Mas Yusuf
sekarang. Di dalam taxi aku tak bisa berhenti menangis.
Mungkin supir taxi yang membawaku ke rumah sakit
melihatku dengan heraan, kenapa dari tadi aku menangis?
Diapun tak berani menanyakan perihal itu padaku.

Setelah aku membayar ongkos taxinya aku langsung
berlari ke ruang UGD18 untuk mencari suamiku, Mas Yusuf.
Kupandangi semua pasien yang ada di ruang itu, dan...ada. Di
pojok ruangan aku melihat Mas Yusuf tengah terbaring tak
berdaya bersama dua orang polisi yang kini menemaninya.
Segera saja aku menghampirinya.

”Permisi Pak. Saya Dinda, istrinya Yusuf” Ucapku pada
dua orang polisi itu.

”Oh, anda yang bernama Dinda. Silahkan, ini suamimu”
Sahut seorang polisi yang mengenakan jaket tebal dan
berkumis. Aku mengangguk pelan dan segera mengalihkan
pandanganku pada Mas Yusuf.

Di keningnya terdapat perban yang membalut lukanya. Di
tangan kanannya pun terdapat sebuah jarum yang ditusukkan
untuk mengaliri cairan infus kedalam tubuhnya. Wajahnya
penuh luka memar. Mungkin saat kecelakaan, wajahnya
terhantam benda keras.

”Bagaimana keadannya Pak?” Tanyaku pada salah satu
polisi itu.


”Coba Mbak tanyakan saja keadaan suami Mbak pada
dokter atau suster yang ada disana” Jawab polisi itu sambil
menunjuk kearah seorang dokter dan dua orang perawatnya.
Aku mengangguk dan menghampiri dokter itu. Setelah
dokter itu memberitahukan kondisi Mas Yusuf sekarang, aku
langsung disuruh mengurus administrasi agar Mas Yusuf bisa
segera dipindahkan ke ruang rawat inap.

Aku menurut saja.

Karena aku tidak membawa uang banyak di tas, aku
mengambil tabunganku di ATM. Setelah urusan administrasi
selesai, Mas Yusuf segera dipindahkan ke ruang rawat inap
kelas satu. Aku hanya ingin Mas Yusuf mendapat perawatan
yang benar-benar intensif agar dia bisa cepat sembuh.

Air mataku tidak bisa berhenti sampai Mas Yusuf di
pindahkan ke ruang rawat inap. Aku teringat Alifa.

Sebelumnya aku sempat bertanya pada polisi yang tadi
menemani Mas Yusuf, dimana lokasi kecelakaan itu. Dan
polisi itu mengatakan bahwa lokasi kejadian itu tak jauh dari
Rumah Sakit Pasar Rebo. Maka dari itu Mas Yusuf dibawa
kesini.

Aku sempat mengaitkan kejadian itu dengan keadaan
Alifa saat ini. Mungkin saja Mas Yusuf telat pulang kerumah
karena hendak menjenguk Alifa. Aku pun menyempatkan diri
menjenguk Alifa yang berada satu lantai dibawah lantai Mas
Yusuf dirawat kini. Kondisinya masih belum menunjukkan
perubahan. Sampai sekarang belum ada satu orang pun yang
mau menikahinya. Kalau saja orang tua Alifa tahu siapa yang
sebenarnya hendak menikahi putrinya itu, mereka pasti akan
terkejut. Tapi sayang, kondisi Mas Yusuf pun tak jauh
berbeda dengan kondisi Alifa saat ini.

Aku kembali lagi ke kamar Mas Yusuf. Aku duduk
disampingnya sambil memandangi wajahnya yang pucat.
Tanpa terasa air mataku jatuh menetes. Di sela-sela waktu itu
aku teringat, aku belum shalat Isya. Kuputuskan untuk
mencari masjid terdekat.

Setelah shalat Isya, aku berdiam diri sejenak di masjid.
Merenungi segala kejadian yang baru saja aku alami. Tibatiba
aku teringat, aku belum memberi kabar pada orang tua
dan mertuaku.

Kupencet nomor telepon orang tuaku dan kuberitahukan
keadaan Mas Yusuf saat ini. Mereka benar-benar tidak
menyangka akan hal ini dan mereka berniat menjenguk Mas
Yusuf malam ini juga. Tapi aku bilang bahwa mereka tidak
usah menjenguk Mas Yusuf sekarang karena hari juga sudah
larut. Mereka memahami.

Setelah menghubungi orang tuaku, aku langsung
menghubungi mertuaku. Mereka tidak bisa menahan tangis
haru saat aku beri tahu bahwa Mas Yusuf kecelakaan. Sama
seperti orang tuaku, mereka ingin menjenguk Mas Yusuf
sekarang tapi aku juga melarang mereka dengan alasan hari
sudah semakin malam. Tapi ibu mertuaku bersi keras dan
ingin tetap menjenguk Mas Yusuf malam ini juga.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku pun hanya bisa
menangis saat ibu mertuaku menyuruhku untuk tabah. Malam
ini adalah malam yang sangat menyedihkan untukku.
Kuputuskan untuk kembali ke kamar dan menemani Mas
Yusuf disana. Aku ingin memberikan seluruh kasih sayangku
padanya sampai dia tahu kalau aku benar-benar
mencintainya.

* * *
Hari-hari aku lalui dengan kesabaran dan keikhlasan.
Sudah dua hari Mas Yusuf dirawat dan sampai sekarang dia
belum sadarkan diri. Dokter bilang ini disebabkan oleh reaksi
obat yang masuk kedalam tubuhnya. Mungkin beberapa jam
lagi dia akan sadar kembali. Tapi aku tidak bisa menahan rasa
cemasku padanya.

Di setiap shalatku, selalu aku menyebut namanya di akhir
do’aku agar Allah berkenan menyembuhkannya. Aku tak
kuasa menahan air mataku kala aku menatap wajahnya.
Sudah dua hari ini aku menemani Mas Yusuf. Aku sudah
meminta izin cuti pada pihak kantor. Alhamdulullah mereka
mengizinkan. Semalam dari pihak penerbit yang hendak
menerbitkan novelku juga kembali menghubungi karena aku
lupa memberikan prakata ucapan terima kasih pada mereka.
Aku sampaikan alasanku kenapa aku sampai lupa.
Alhamdulullah juga mereka mengerti dan berencana
mengundurkan proses penerbitan novelku.

Selama aku menemani Mas Yusuf, aku selalu
menyempatkan diri menjenguk Alifa juga dikamarnya. Masih
tak ada perubahan. Terakhir aku menemuinya, aku diberi
tahu oleh pihak keluarganya bahwa ada seorang laki-laki
yang datang menjenguk Alifa membawa serta kedua orang
tuanya.

Laki-laki yang datang itu hendak meminang Alifa sebagai
istrinya. Dia bersedia membantu Alifa mempertahankan
hidupnya. Tapi ketika kutanya siapa laki-laki itu, pihak
keluarga Alifa tidak bisa memberi tahu siapa dia. Semua itu
mereka lakukan atas permintaan laki-laki itu. Aku pun tidak
bisa berbuat apa-apa.

Aku kembali ke kamar. Tak terasa matahari sudah
menyembunyikan dirinya di peraduannya. Tadi siang ayah
dan ibu mertuaku datang menjenguk Mas Yusuf. Selepas
Ashar, mereka pulang. Dan tinggal aku sendiri di dalam
kamar menemani Mas Yusuf yang belum juga sadar sampai
detik ini.

Selama dia tak sadarkan diri, aku yang membasuh
tubuhnya dengan handuk kecil basah. Aku tak kuasa melihat
tubuhnya yang penuh luka akibat kecelakaan itu. Dokter
bilang memang tidak ada yang serius tapi aku sebagai istrinya
benar-benar khawatir akan keadaannya saat ini.

Dari luar, terdengar azan Maghrib berkumandang. Aku
lansung bergegas mengambil air wudhu dan langsung
menunaikan shalat Maghrib di samping tempat tidur Mas
Yusuf.

Selesai shalat, aku bermunajat pada Tuhan semesta alam.
Ku adukan semua gundah gulanaku saat ini. Sambil ditemani
air mata yang terus mengalir dari ujung mataku, aku berdo’a
untuk kesembuhan Mas Yusuf. Dan tak lupa juga kebaikan
atas pernikahanku. Aku mengharapkan yang terbaik dari
keputusan yang nantinya akan Mas Yusuf berikan padaku.
Apakah dia bersedia menikahi Alifa atau tidak. Aku juga
masih memikirkan siapa laki-laki yang datang dan hendak
meminang Alifa itu.

Aku sudah merelakan sepenuhnya hatiku pada Rabb
penggenggam hati seluruh makhluk di dunia ini, Allah Swt.
Aku benar-benar ikhlas kalau nantinya Mas Yusuf sadar dan
dia memutuskan untuk berkenan menikahi Alifa. Semuanya
aku ucapkan dengan penuh pengharapan bahwa Allah
berkenen memberikan yang terbaik untukku, Mas Yusuf, dan
Alifa.

Kusudahi doa panjangku. Kulanjutkan dengan membaca
Al Ma’tsurat dan tilawah Qur’an beberapa lembar. Selesai
itu, kulipat sajadah dan kuletakan di pinggir kursi. Dengan
masih mengenakan mukena, kuhampiri Mas Yusuf dengan
mata yang sedikit memerah akibat menangis.

Kuseret kursi yang ada dan kududukkan tubuhku disana.
Kubetulkan selimut yang menutupi tubuhnya. Sesaat kutatap
wajahnya yang begitu putih dan bersih. Perlahan kuberanikan
diri menyentuh tangannya. Kugenggam dengan erat seperti
tak ingin melepasnya.

Inilah untuk yang pertama kalinya aku menggenggam
tangan suamiku setelah setahun pernikahan. Kuciumi
tangannya sambil berucap kata-kata mesara untuknya. Sekali
lagi aku tak kuasa menahan tangisku. Tangis yang begitu
menyedihkan untukku. Sedih karena Mas Yusuf belum juga
sadar dan sedih karena sampai saat ini, Mas Yusuf belum
juga bisa menerimaku sebagai istrinya.

* * *
”Saya terima nikahnya dan kawinnya, Alifa binti
Sukirman dengan mas kawin tersebut. Tunai” Ucap Mas
Yusuf dengan lantang.

Semua yang hadir memberikan tepuk tangan yang
meriah. Diantara semua tamu yang hadir, mungkin hanya aku
saja yang merasakan kepedihan dalam dada. Aku menatap
Mas Yusuf dan Alifa dengan perasaan hancur.

Setelah akad nikah, Alifa membawa Mas Yusuf pergi
meninggalkan aku sendiri. Aku duduk terdiam tanpa
menghalangi mereka pergi. Mataku menangkap wajah Mas
Yusuf tidak memancarkan kebahagiaan. Sedangkan Alifa, dia
amat bahagia membawa Mas Ysuf pergi dari hadapanku.

Aku menangis atas ketidak berdayaanku mencegah Alifa
pergi membawa Mas Yusuf.

Tiba-tiba, aku terbangun dari tidurku. Astaghfirullah!
Ternyata semua hanya mimpi. Aku tertidur di tepi tempat
tidur. Kuingat kembali mimpiku barusan. Mimpi tentang
pernikahan Mas Yusuf dengan Alifa. Aku masih belum
memikirkan bagaimana jadinya kalau hal itu sampai terjadi.
Tapi yang aku herankan, kenapa dalam mimpi itu, Mas Yusuf
terlihat tidak bahagia?

Kembali kupandangi wajah Mas Yusuf.

Kuseka air mataku. Sekuat tenaga aku berusaha untuk
tegar. Kuletakkan tangannya di tempat tidur. Kembali kutatap
wajahnya. Sejurus kemudian, aku mendekatkan wajahku ke
wajahnya. Dan....Subhanallah. Aku menciumnya.

Aku mencium bibirnya. Dan ini juga untuk yang pertama
kalinya aku menciumnya setelah setahun pernikahan. Aku
mencium bibirnya yang hangat. Ada perasaan bahagia,
senang, cemas, dan takut. Seketika jantungku berdegup
kencang. Ingin rasanya sekali lagi aku menciumnya tapi aku
takut.

Aku takut kalau dia sampai tidak ridho dengan apa yang
barusan aku lakukan padanya, Allah pasti akan murka
terhadapku. Karena Ridho Allah adalah ridho suami. Bila
suami tidak ridho, maka Allah pun tidak ridho pula.
Tiba-tiba ada perasaan berdosa yang seketika menyusup
kedalam hatiku. Apakah aku berdosa bila menciumnya tanpa
seizinnya? Rabbi maafkan aku.

Perlahan kumundurkan kakiku sambil menggeleng.

”Maafkan aku Mas, maafkan aku” Ucapku pelan.

Aku berbalik dan duduk di sofa yang tersedia disana.
Sambil termenung, aku membuka mukenaku dan
menggantinya dengan jilbab coklat.

Dari jarak yang tidak terlalu jauh, aku melihat Mas Yusuf
menggerakkan jarinya. Oh Tuhan, apa dia sudah sadar?
Aku hampiri dirinya sambil menggenggam tangannya.

”Mas Yusuf? Mas sudah sadar?” Tanyaku dengan
perasaan senang bercampur cemas.

Perlahan kulihat kedua matanya terbuka sedikit demi
sedikit. Dan...Alhamdulillah, dia bangun. Aku berucap
syukur pada Allah Swt karena telah menyadarkan Mas Yusuf.
Air mata begitu saja mengalir dari mataku. Aku melihat Mas
Yusuf menggerakan bibirnya.

”D..Dinda. A, aku ha..us” Ucap Mas Yusuf lirih sambil
terbata-bata. Aku segera mengambilkan air putih yang ada di
samping tempat tidurnya dan membantunya minum melalui
sedotan.

Setelah minum, dia menatapku dengan tatapan hampa.
Tak ada senyuman atau pun ekspresi wajah yang lain. Aku
takut dia sadar ketika aku menciumnya tadi. Aku sungguh
takut. Tapi sejurus kemudian, aku berpikir untuk memberi
tahu dokter bahwa Mas Yusuf sudah sadar.

Aku melangkah keluar untuk memanggil dokter dan
meninggalkan Mas Yusuf di kamar. Namun baru beberapa
langkah aku keluar kamar, tiba-tiba aku melihat semua benda
yang ada dihadapanku seolah berputar. Kurasakan mual yang
teramat sangat diperutku. Seketika kepalaku pusing dan
tubuhku lemas.

Ketika kupaksakan diriku untuk terus melangkah, tiba-tiba
kurasakan tubuhku melayang dan terjatuh di lantai.

Kulihat semua gelap. Samar-samar kulihat ada beberapa
orang suster berlari mengahmpiriku. Tapi aku sudah tak kuat
lagi bangun. Kurasakan tubuhku diangkat. Makin lama aku
tak tahu apa yang terjadi kemudian.

* * *
Perlahan kubuka mataku yang tadinya sulit untuk kubuka.
Namun kupaksakan karena memang aku ingin bangun dari
tidurku. Awalnya gelap, lalu perlahan cahaya itu mulai
masuk dan menembus kornea mataku. Aku merasakan
kehangatan di keningku. Sebuah kecupan hangat tengah
mendarat disana.

Yang aku dapati, seorang laki-laki tengah mencium
keningku. Samar-samar aku melihatnya. Setelah aku
perhatikan dengan seksama, aku menyadari ternyata laki-laki
itu adalah suamiku. Ya, dia adalah Mas Yusufku. Oh Tuhan,
kekasihku tengah mencium keningku. Apakah ini nyata?
Aku hanya terdiam merasakan kecupan bibir Mas Yusuf
di keningku. Lalu kemudian dia menatap wajahku lekat-lekat.

”kamu sudah sadar?” Tanyanya lembut. Aku
mengangguk pelan.

”Ya” Suaraku terdenganr begitu lirih.

Dia tersenyum. Kulanjutkan perkataanku.

”Kau menciumku?”

Mas Yusuf mengangguk sambil tersenyum.

”Karena kau adalah istriku.” Jawabnya dengan nada yang
sangat menyenangkan hatiku. Tapi aku masih belum
mengerti apa maksudnya.

”Bukankah....”

”Sstt!” Mas Yusuf segera menempelkan jari telunjuknya
ke bibirku. Aku melihat ada yang berbeda dari kedua
matanya. Di dalamnya terpancar sebuah seuatu yang aku
tidak mengerti apa sesuatu itu. Mas Yusuf kembali berucap,

”Sudah dua hari kamu pingsan dan tidak sadarkan diri.
Kamu ingat?”

Aku berusaha mengingatnya kemudian mengangguk.

”Iya aku ingat. Waktu itu aku ingat kamu sadar dari
koma, dan aku langsung memanggil dokter untuk segera
memeriksamu. Namun kemudian, tiba-tiba saja aku
merasakan mual di perutku. Kepalaku pusing dan tubuhku
lemas. Seketika aku merasakan tubuhku melayang dan
terjatuh di lantai. Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang
terjadi. Tapi yang pasti aku ingat, aku belum shalat Isya”
Jelasku.

”Ya, kamu pingsan karena terlalu lelah menjagaku setiap
hari. Dokter dan perawatnya segera membawamu untuk
diperiksa” Ucap Mas Yusuf yang wajahnya hampir
mendekati wajahku.

”Maafkan aku Mas...” Lirihku.

”Untuk apa?”

”Kemarin saat kamu tidak sadarkan diri, aku...aku sempat
menciummu. Aku harap kau tidak marah padaku. Dan
semoga kau ridho atas perbuatanku itu”

Mas Yusuf terdiam menatap wajahku. Aku semakin takut.
Namun tiba-tiba dia tersenyum dan berkata dengan manis
padaku.

”Kenapa aku harus marah padamu?”

”Ja, jadi kamu nggak marah sama aku?” Tanyaku yang
kemudian disusul dengan gelengan kepala dan senyuman
Mas Yusuf. Aku tersenyum senang. Hatiku lega setelah
mendapat pengakuan darinya.

”Aku adalah suamimu dan kau adalah istriku. Tidak perlu
merasa takut atas perbuatanmu. Insya Allah, Allah akan
meridhoinya. Justru aku yang harusnya minta maaf padamu”

”Untuk apa?” Tanyaku pura-pura tidak mengerti.

”Maaf jika selama ini aku tidak sepenuhnya menjadi
suami yang bertanggung jawab, jika aku sering menyakiti
hatimu sehingga sering membuatmu menangis di tengah
malam”

Hah!! Aku terkejut. Dari mana Mas Yusuf tahu kalau aku
sering menangis di tengah malam? Aku masih bingung
dengan pernyataan Mas Yusuf sementara dia terus
melanjutkan kata-katanya.

”Maafkan jika selama ini aku selalu membuat kamu
terbangub sebelum fajar untuk makan sahur, karena aku tidak
bisa memenuhi kewajibanku sebagai seorang suami untuk
memuaskanmu”

Aku semakin terkejut. Mengapa Mas Yusuf tahu hal itu?
Aku tidak pernah menceritakan hal itu pada siapapun. Tapi,
kenapa Mas Yusuf tahu?

”Sekali lagi maaf, karena aku pernah berbohong
padamu...”

”Berbohong apa Mas?” Tanyaku tidak mengerti. Mas
Yusuf coba menjelaskan.

”Tempo hari, sewaktu ada munashoroh Palestine di
Monas, aku bilang padamu kalau aku ada urusan di sekolah
sehingga tidak bisa pergi kesana bersamamu. Aku memang
ada urusan, namun setelah itu aku pergi kesana bersama
teman-temanku. Dan aku tahu, kau melihatku disana kan?
Tapi karena kau tidak mau aku melihatmu yang memergoki
aku, makanya kamu segera mengajak temanmu untuk pergi
dari sana. Iya kan? Aku benar-benar minta maaf atas hal itu.
Aku sungguh menyesal” Jelas mas Yusuf dengan nada penuh
penyesalan.

Aku masih terbaring di atas tempat tidur rumah sakit dan
air mataku mengalir begitu saja bagaikan anak sungai. Aku
lihat Mas Yusuf menunduk sambil menangis. Aku
menghapus air matanya dengan tanganku. Dia meraihnya dan
menciumnya. Aku jadi terharu. Lantas, segera saja aku
menanyakan dari mana dia bisa tahu semua hal itu, dan dia
menjawab.

”Buku harianmu. Aku sudah membca semua tulisanmu
yang ada disana. Juga kaset rekaman itu. Aku sudah
mendengarnya. Aku mohon segala maafmu atas kesalahanku
selama ini” Pintanya sambil terisak dan terus menciumi
tanganku. Aku pun semakin sedih dan ikut terisak juga.
Sesaat lamanya kami terdiam dalam lautan kesedihan.
Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya padanya.

”Mas, apa...apa semua itu berarti, kau sudah bisa
menerimaku sebagai istrimu?”

Perlahan kutatap kedua mata Mas Yusuf. Butir-butir cinta
itu masih tersisa disana. Aku perhatikan dan dia
mengangguk. Ya Rabbi, kekasihku mencintaiku. Dan itu
berarti, cintaku terbalas. Ini untuk yang pertama kalinya aku
merasakan cinta yang sesungguhnya. Cinta seorang suami
kepada istrinya. Aku merasa menjadi wanita yang paling
berbahagia. Aku tersenyum dan Mas Yusuf pun tersenyum.
Bahkan lebih manis dari biasanya.

Kupandang lekat-lekat wajah itu.

”Apa yang akhirnya membuatmu bisa mencintaiku?”

”Karena kau adalah anugrah terindah yang pernah Allah
berikan untukku. Kau jiwaku, kau nafasku, kau nadiku, dan
kau adalah hidupku. Betapa bodohnya aku yang telah
membiarkan kau menderita selama ini. Aku baru menyadari,
kalau aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu. Tidak akan
ada yang bisa menggantikan kamu dalam hatiku. Tidak akan
ada”

”Termasuk Alifa?” Tanyaku dengan tiba-tiba.

”Ya. Termasuk Alifa.” Jawab Mas Yusuf tenang.

”Lalu apa keputusanmu mengenai Alifa? Saat ini dia
membutuhkanmu Mas...”

Mas Yusuf terdiam sejenak.

”Sebelum aku menjawabnya, izinkan aku berterima kasih
padamu. Terima kasih atas kesabaranmu selam ini padaku.
Terima kasih karena kau telah mencurahkan seluruh cintamu
padaku. Teriam kasih karena kau tak henti-hentinya
menemaniku dan mendo’akanku selama aku tak sadarkan
diri. Dan terima kasih...”

”Sstt!” Sahutku menyela perkataannya. Kucoba
menempelkan jariku di bibirnya.

”Kau sudah terlalu banyak mengucapkan terima kasih
padaku. Hanya dengan rasa cintamu padaku pun, itu sudah
lebih dari cukup. Tidak ada rasa tidak enak dalam hal
percintaan. Aku benar-benar mencintaimu Mas...” Ucapku
pelan.

”Terima kasih sekali lagi, karena sebentar lagi aku akan
menjadi seorang ayah...” Ucapnya senang.

Aku terdiam mendengar ucapan Mas Yusuf barusan. Aku
tak sanggup berucap satu katapun. Yang ada malah lelehan
air mata yang mengalir di wajahku lalu menyerap ke jilbab
yang aku kenakan sekarang.

Aku benar-benar terkejut mendengarnya.

”Kamu hamil, sayang....” Ucap Mas Yusuf lagi dengan
penuh kemesraan.

Air mataku kembali mengalir membasahi jilbabku dan
kini semakin deras.

”Kau tidak membohongiku?” Tanyaku seolah ingin
penegasan.

Mas Yusuf menggeleng.

”Aku tidak bohong. Kau sungguh-sungguh hamil. Saat ini
kau tengah mengandung anakku. Anak kita. Buah cinta kita”
Kuberikan senyumanku pada Mas yusuf. Aku hamil. Aku
benar-benar hamil. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang
ibu. Oh Tuhan, terima kasih. Kau telah memberikan
kebahagiaan ini padaku.

”Kemarin kamu pingsan karena terlalu letih. Dan setelah
diperiksa oleh dokter, ternyata kamu tengah mengandung.
Usia kandunganmu baru dua bulan. Kamu harus jaga
kesehatan ya?’ Pinta Mas Yusuf padaku.

Aku mengangguk dengan air mata yang terus meleleh.
Mas Yusuf menghapusnya dengan sentuhan hangatnya.
Namun tiba-tiba aku tersadar. Kebahagiaanku belum
sepenuhnya menjadi milikku. Masih ada satu yang
mengganjal. Tentang Alifa. Kejadian yang baru saja aku
alami memang suatu kebahagiaan yang sangat aku impikan.
Kebahagiaan karena akhirnya Mas Yusuf bisa mnerimaku
dan mencintaiku, dan kebahagiaan karena aku hamil.
Tapi biar bagamanapun, aku harus bertanggung jawab
atas permohonanku pada Mas Yusuf yang memintanya untuk
menikahi Alifa. Aku harus siap dengan segala
konsekwensinya. Aku benar-benar ikhlas kalau saat ini Mas
Yusuf menyatakan kesediaannya untuk menikahi Alifa.
Aku terdiam dari tangisku dan mulai bertanya,

”Mas...”

”Hm?...”

Kuhela nafasku sesaat.

”Mencintaimu adalah suatu hal yang sangat
membahagiaakan untukku. Apalagi ketika kau sudah bisa
menerimaku sebagai istrimu. Jelas kebahagiaanku semakin
lengkap, apalagi sebentar lagi kita akan menjadi orang tua
bagi anak kita. Tapi aku tidak mau egois. Saat ini, aku ingin
mendengar keputusanmu tentang penawaranku untuk kau
menikahi Alifa. Biar bagaimanapun, dia membutuhkanmu.
Dan bayi yang tengah dikandungnya, juga butuh seorang
ayah. Aku harap kau bisa memberikan keputusan yang
terbaik. Aku hanya ingin membagi kebahagiaanku pada
Alifa”.

Kulihat Mas Yusuf menundukkan kepalanya. Perlahan
dia berdiri dari duduknya.

”Kau tunggulah disini sebentar. Aku akan keluar untuk
memberikan jawaban dan keputusanku terhadap
penawaranmu” Ucap Mas Yusuf pelan lalu pergi keluar
kamar sambil menyisakan rasa penasaran untukku. Apa yang
hendak suamiku lakukan?

Sambil menatap langit-langit kamar rumah sakit, aku
menunggu Mas Yusuf datang dengan membawa jawaban dan
keputusannya. Sungguh, saat ini aku begitu resah.

Tiba-tiba Mas Yusuf datang. Aku menoleh kearahnya.

Tak ada yang berubah darinya. Juga tak ada yang dibawanya.
Kuperhatikan wajahnya.

”Apa keputusanmu Mas?” Tanyaku dengan serak
menahan tangis.

Dia menghampiriku tanpa menjawab. Dia memandang
keluar kamar dengan wajah berseri-seri. Aku tambah tak
mengerti. Akupun ikut memandang keluar kamar.
Masih dalam kondisi berbaring di tempat tidur, perlahan
aku melihat sebuah bayangan datang menghampiri kamarku.
Bayangan siapa itu?


* * *

PART 14
Ketika Cinta Harus Bersabar

By NURLAILA ZAHRA



Tiba-tiba, aku melihat sosok yang sangat aku kenal
muncul dihadapanku dengan menggunakan kursi roda. Dan
orang yang mendorong kursi rodanya juga adalah orang yang
sangat aku kenal.

Dia Alifa dan Randi. Alifa duduk di kursi roda berbalut
ghamis coklat dan jilbab hitam, dan yang mendorongnya
adalah Randi. Orang yang kukenal sebagai sahabat Mas
Yusuf. Orang yang dulu kutahu menyuruh Mas Yusuf untuk
segera menikahi Alifa. Orang yang dulu sempat menegurku
pada saat acara di Bumiwiyata, Depok. Kenapa mereka
datang bersamaan?

”Alifa?! Randi?! Kalian....” Ucapku tergagap.

”Ya. Alifa InsyaAllah akan menikah dengan Randi setelah melahirkan nanti dan masa idahnya selesai” Sahut Mas
Yusuf mengejutkanku.

”Apa?”

”Ya Dinda. Dia memberiku semangat hidup. Dia sudah membuatku menjadi seperti ini. Alhamdulillah, Randi berkenan menjadi suamiku” Ucap Alifa sambil Randi mendorong kursi rodanya mendekatiku.

Mas Yusuf dan Randi pergi keluar kamar meninggalkan
aku dan Alifa berdua.

Sambil menggenggam tanganku, Alifa berkata,

”Aku tahu kamu wanita yang sangat mulia hatinya. Aku
sudah dengar semua dari Yusuf. Kamu menyuruhnya untuk
menikahiku bukan? Niat baikmu untuk menjadikanku sebagai
istri kedua Yusuf sangat aku hargai. Jujur, sebenarnya kalau
aku tahu yang hendak menikahiku adalah Yusuf, aku tidak
akan menerimanya...”

”Kenapa?”

”Karena aku tidak mau melihat kamu bersedih. Aku yakin
hatimu pasti hancur ketika Yusuf sampai menikahiku.
Untung saja sebelum Yusuf memberikan keputusannya
karena dia mengalami kecelakaan dan koma, Randi datang
dengan sebongkah rasa kasihan dan ibanya untukku. Aku
juga tidak mengerti kenapa aku bisa seperti ini. Kepergian
Mas Guntur memang menyisakan luka yang mendalam
untukku. Sampai aku harus dirawat di rumah sakit dan
mengalami koma.

Dokter bilang, penyakitku ini disebabkan karena aku
mengalami tekanan batin yang begitu mendalam sehingga
harus ada yang mau menikahiku dan bersedia menjadi suami
keduaku. Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa seperti itu.
Tapi memang, setelah Randi membisikkan janji bahwa dia akan menikahiku kelak dan berjanji untuk menjagaku sepeninggal suamiku, seolah ada setetes
embun pagi yang mengaliri tubuhku. Aku mulai bereaksi.

Memang aku sempat terkejut ketika kubuka mata, yang
kulihat bukanlah Mas Guntur, tapi Randi. Sahabatku sendiri.
Awalnya aku sempat drop
lagi tapi dokter segera memberikan obat untukku. Dan
akhirnya aku sudah bisa menerima semua kenyataan ini,
kalau Mas Guntur sudah tiada dan yang akan menggantikannya
adalah Randi.

Terima kasih ya? Karena biar bagaimanapun, kau sudah
berniat baik padaku dengan menyuruh Yusuf agar mau
menikahiku dan berkenan menjadi ayah bagi anak yang
tengah kukandung ini. Dan selamat ya? Akhirnya kau juga
akan menjadi seorang ibu”

Alifa menjelaskan semuanya dengan tenang. Aku
tersenyum padanya. Aku baru ingat, ternyata laki-laki yang
dimaksudkan keluarga Alifa yang hendak menikahi Alifa
adalah Randi. Seseorang yang tanpa sengaja telah
menyelamatkan hati dan cintaku ternyata adalah Randi.
Karena dia, akhirnya aku tidak jadi menjadi istri tua. Terima
kasih Randi.


Diam-diam ada perasaan syukur yang menyusup kedalam
diriku.

Tak berapa lama, Mas Yusuf dan Randi masuk lagi ke
kamar.

Setelah dokter mengatakan kondisiku sudah cukup pulih,
akhirnya dia mengizinkanku untuk segera pulang. Begitu
juga Mas Yusuf. Beberapa luka di bagian kepala dan
lengannya juga sudah mulai mengering.




Kami melewati hari-hari baru kami sebagai suami istri.
Lebih tepatnya lagi suami istri yang baru menemukan
mahligai cintanya. Aku sangat bersyukur sekali karena
kesabaranku dalam mencintai Mas Yusuf akhirnya
menemukan buahnya. Kini aku sudah memetik buah itu.
Cinta itu, kini sudah menemukan peraduannya. Tak hentihentinya
aku berucap syukur pada Sang Maha Pencipta.




Kini, tak ada lagi sorot kebencian pada mata Mas Yusuf.
Kini tak ada lagi sosok seorang suami pengecut dalam
kehidupanku. Yang ada hanyalah seorang pahlawan sejati
yang siap menemaniku kemanapun kakiku melangkah.
Terima kasih, Ya Allah.




Malam ini, aku dan Mas Yusuf sudah berada di sebuah
beranda di salah satu kamar hotel yang dulu pernah kami
jadikan sebagai tempat malam pertama kami satu tahun yang
lalu. Dengan ditemani sinaran bintang-bintang, kami
memulai kembali kisah cinta kami yang sempat tertunda
karena sebuah keegoisan.




Malam ini, kami serasa seperti kembali menjadi sepasang
pengantin baru. Saat Mas Yusuf menatapku penuh mesra,
rasa berdebar-debar itu tiba-tiba muncul dalam diriku. Tapi
inilah cinta. Aku sangat menikmati debar-debar itu.




Tatapannya, belaiannya, dan kecupannya, ini adalah untuk
yang pertama kalinya dia melakukannya dengan penuh
keikhlasan hati dan kerelaan jiwa.




Malam semakin larut dan dia mulai mengajakku kembali
ke kamar. Entah mengapa, keringat dingin mulai membasahi
tubuhku. Aku ikuti langkahnya. Kini, dia menuntunku untuk
sampai di tempat tidur. Aku tersenyum padanya.




Dengan ditemani temaram lampu kamar dan indahnya
sinaran bulan sabit di langit luar sana, Mas Yusuf kembali
membuktikan bahwa dia bukan laki-laki pengecut. Dia bisa
menjalankan tugasnya sebagai seorang suami. Dan itu ia
lakukan tanpa menunggu subuh datang terlebih dahulu. Aku
merasakan menjadi makhluk Tuhan yang paling dikasihi.
Peluh kami kembali bersatu lagi.. Inilah kesucian cinta
yang telah tertanam sejak lama yang kurawat dengan air
kesabaran. Inilah buah yang kupetik hasilnya ketika cintaku
pada Mas Yusuf harus bersabar.


Kini, lagi-lagi aku harus bersabar untuk menanti
datangnya bidadari kecil yang beberapa bulan lagi akan hadir
ke duani ini untuk menemani kehidupan kami sebagai Abi
dan Bunda.

Bulan dan bintang memantulkan sinar gemerlapnya pada
diri dua insan yang tengah dimabuk cinta. Semoga ibadah ini
bisa memberikan keberkahan pada kehidupan rumah
tanggaku dengan Mas Yusuf nantinya.


Tamat