Habiburrahman El-Shirazy
Part Satu
Mata
pemuda itu memandang ke luar jendela. Lautanterhampar di depan mata.
Ombak seolah menari-naririang. Sinar matahari emantul-mantul keperakan.
Dari karcis yang ia pegang, ia tahu bahwa feri yang ia tumpangi bernama
Lintas Samudera. Tujuan feri yang bertolak dari pelabuhan Batam itu
adalah pelabuhan Johor Bahru.
Ia memejamkan mata seraya meneguhkan hatinya.
Ia
meyakinkan dirinya harus kuat. Ya, sebagai lelaki ia harus kuat.
Meskipun ia merasa kini tidak memiliki siapa- siapa lagi. Bagi seorang
lelaki cukuplah keteguhan hati menjadi teman dan penenteram jiwa.
la kembali menegaskan niat, bahwa ia sedang melakukan pengembaraan untuk mengubah takdir.
Mengubah
nasib. Seperti saran Pak Hasan, ia harus berani berhijrah dari satu
takdir Allah ke takdir Allah lain yang lebih baik. Feri Lintas Samudera
terus melaju ke depan.
Singapura semakin dekat di depan, dan Batam
semakin jauh di belakang. Namun, Lintas Samudera tidak hendak menuju
Singapura, tapi menuju pelabuhan Johor Bahru, Malaysia.
"Baru pertama
ke Malaysia ya Dik?" tanya perempuan muda yang duduk di sampingnya.
Perempuan itu memakai celana jin putih dan jaket ketat biru muda.
Rambutnya diikat kucir kuda. Ia menaksir usia perempuan itu sekitar tiga puluhan lebih.
"Iya Mbak. Mbak juga yang pertama?" jawabnya balik bertanya.
"Tidak. Saya sudah empat tahun di Malaysia."
"Berarti sejak tahun 2000 ya Mbak."
"Tidak. Sejak awal 2001."
"Kerja ya Mbak?"
"Iya Dik. Kalau adik, mau kerja? Atau mau sekolah?"
Ia
berpikir sejenak. Ia tidak tahu pasti. Ke Malaysia mau bekerja atau mau
sekolah. Sesungguhnya selama ini ia merantau dari satu daerah ke daerah
lain, selain untuk bertahan hidup juga demi mencari takdir yang lebih
baik.
"Kok malah bengong Dik."
"E... tidak, saya ke Malaysia mungkin untuk duaduanya. Ya untuk cari kerja dan untuk sekolah lagi."
"Baguslah. Sudah ada pandangan mau kerja di mana? Atau sudah ada agen yang mengurus semuanya."
"Belum sih Mbak. Nanti saya cari di sana saja. Mbak kerja di mana?"
"Saya
kerja di sebuah kilang di kawasan Subang Jaya. Kalau adik mau, saya
bisa bantu. Saya punya banyak teman yang bisa membantu. O ya kenalkan,
nama saya Siti Martini. Biasa dipanggil Mar atau Mari."
Perempuan muda itu mengulurkan tangan kanannya.
Pemuda itu juga mengulurkan tangannya dan menjabat tangan perempuan muda itu.
"Terima kasih. Nama saya Ahmad Zul. Oleh temanteman saya selama ini saya biasa dipanggil Zul Einstein."
"Wah keren sekali. Memang namanya Zul Einstein?"
"Ya
tidak Mbak. Saya diberi nama tambahan Einstein oleh teman-teman saya
karena mereka melihat saya banyak melamun. Ya saya terima saja. Kalau
tidak terima ya tetap akan dipanggil begitu. Jadi, panggil saja saya Zul
Mbak."
"Ya baik. Saya panggil Dik Zul. Gitu ya," kata perempuan muda itu sambil melepaskan jabatan tangannya.
"Jadi Mbak kerja di kilang minyak ya Mbak?"
Perempuan muda itu malah tertawa kecil.
"Kamu
memang masih asli Indonesia. Kilang itu artinya pabrik. Di Indonesia
disebut pabrik. Sedangkan di Malaysia disebut kilang. Jadi bukan
bermakna kilang minyak. Saya kerja di kilang kertas di kawasan Subang
Jaya. Itu maknanya saya kerja di pabrik kertas."
"O, begituya."
"Rencananya nanti mau ke mana? Di Malaysia sudah ada tempat yang dituju?"
"Tempat
yang dituju secara pasti tidak ada. Saya hanya membawa sebuah nama dan
sebuah nomor telpon. Saya ingin sampai ke Kuala Lumpur dulu, baru
setelah itu saya akan telpon orang itu."
"Ya syukurlah. Saya pun nanti lewat Kuala Lumpur.
Kalau mau kita bisa jalan bersama."
la diam saja. Tidak menjawab apa-apa.
Lintas Samudera terus melaju. Tidak terlalu cepat. Dan juga tidak terlalu lambat.
Setelah menempuh perjalanan selama dua jam, Lintas Samudera merapat di pelabuhan Johor Bahru.
Begitu
pintu feri dibuka, para penumpang berebutan keluar. Zul keluar dengan
membawa tas cangklong hitam dan tas jinjing besar biru tua. la
mengiringi Mari yang berjalan di depannya. Perempuan itu menenteng tas
cangklong putih dan koper kecil beroda warna hijau.
Mereka berjalan menuju gedung pelabuhan.
Petugas
security pelabuhan sibuk memeriksa barang bawaan para penumpang. Tas
dan koper Mari diperiksa. Setelah beberapa saat lamanya,
Maridipersilakan langsung menuju imigrasi. Tas jinjing Zul juga
diperiksa. Isinya hanyalah pakaian, beberapa makanan ringan, dan sebuah
mushaf Al-Quran kecil pemberian Pak Hasan kala ia berpamitan, sebelum
berangkat. Petugas security itu memerintahkannya
untuk terus jalan. Zul bergegas menuju imigrasi. Mari sedang serius mengisi formulir kedatangan untuk imigrasi.
"Harus diisi semua ya Mbak?" tanya Zul.
"Ya.
Kecuali kolom yang khusus diisi petugas imigrasi," jawab Mari sambil
tetap menulis. Sesekali ia mencocokkan apa yang ia tulis dengan
paspornya.
"Ini kolom alamat selama di Malaysia juga harus diisi Mbak."
"Sebaiknya iya."
"Wah saya belum punya alamat Mbak."
"Pakai alamat saya juga tidak apa-apa."
"Di mana Mbak?"
"No. 8A, Jalan USJ 1/18, Taman Subang Permai,
Subang
Jaya. Nanti kalau pihak imigrasi tanya untuk apa datang ke Malaysia,
bilang saja untuk melancong dan mengunjungi saudara."
"Iya Mbak."
Keduanya
lalu masuk konter imigrasi. Tak ada masalah berarti. Petugas imigrasi
sama sekali tidak bertanya apapun kepada Mari. Sebab ia masih punya visa
multientry. Sedangkan Zul hanya ditanya untuk apa datang ke Malaysia.
Zul menjawab seperti yang disarankan oleh Mari. Begitu keluar dari
gedung, puluhan sopir taksi menawarkan jasanya. Mari menjawab tegas
bahwa ia sudah ada yang menjemput. Zul agak bingung
menentukan langkah. Beberapa sopir taksi menghampirinya.
Ia
masih ragu harus ke mana. Ia menatap ke arah Mari yang melangkah dengan
mantap. Mari menoleh ke arahnya dan melambaikan tangan agar ikut
dengannya. Zul merasa tidak ada salahnya pergi ke Kuala Lumpur bersama
Mari. Apalagi ia benar-benar asing di negeri Jiran ini.
"Kita tunggu bus di sini. Kita akan menuju ke Stesyen Larkin. Dari Larkin kita naik bus ke Purduraya KL." Jelas Mari.
Sepuluh
menit kemudian bus datang. Mari, Zul dan puluhan penumpang berebutan
naik. Bus itu mengantar mereka ke Stesyen Larkin. Dari Larkin Mari
mengajak Zul ke loketbus Trans Nasional.
"Biar saya yang bayar Dik."
"Jangan begitu Mbak, saya jadi tidak enak."
"Anggap saja kita bersaudara. Jadi santai saja."
"Satu orangnya berapa Mbak?"
"Dua
puluh empat ringgit. Kita pakai bus yang ada toiletnya. Biar nyaman di
perjalanan. Yuk kita segera naik. Sepuluh menit lagi bus akan
berangkat."
Mereka berdua naik bus Trans Nasional. Zul dan Mari duduk
di kursi yang berdekatan. Selain wajah Indonesia, tampaklah wajah-wajah
China, India dan Melayu menjadi penumpang bus cepat itu. Sopirnya
berwajah Indonesia, dan tampaknya ia seorang Muslim, sebab sebelum
menjalankan bus ia membaca basmalah. Bus berjalan keluar stesyen. Lalu
melaju membelah kota Johor Bahru dengan kecepatan sedang. Setengah jam
kemudian bus itu sudah meninggalkan Johor Bahru, dan mulai melaju dengan
kecepatan tinggi. Bus itu membelah perkebunan kelapa sawit. Zul
memandang ke kanan dan ke kiri yang tampak hanyalah rimbunan pohon
kelapa sawit yang bagai berlarian ke belakang.
"Dari logat adik bicara, sepertinya adik orang Jawa."
Mari
membuka pembicaraan sambil menaikkan resleting jaketnya sehingga
benar-benar rapat sampai ke leher. Ia tampaknya agak kedinginan.
"Iya Mbak benar. Saya asli Demak Mbak. Kalau Mbak?"
"Saya juga Jawa Dik. Saya asli Sragen."
"Maaf, e... Mbak sudah berumah tangga?"
"Sudah."
"Sudah punya anak dong Mbak?"
"Belum. Bagaimana mau punya anak lha wong rumah tangga saya hanya berumur dua minggu."
"Cuma dua minggu?"
"Iya bisa dikatakan demikian."
"Suami Mbak meninggal?"
"Tidak. Saya minta cerai. Sejak itu saya trauma dan rasanya susah sekali untuk membina rumah tangga lagi."
"Maafkan saya Mbak, jadi mengingatkan pada halhal yang tidak Mbak sukai."
"Ah tidak apa-apa. Walau bagaimanapun kejadian itu telah menjadi bagian dalam sejarah hidup saya.
Memang menyakitkan jika diingat." Kata Mari sambil mengambil nafas dalam-dalam. Seperti ada yang menyesak dalam dadanya.
Zul diam saja. la merasa tidak saatnya ia bicara. la kuatir jika salah bicara justru akan memperburuk suasana.
"Mungkin
ada baiknya juga ya saya cerita. Ya untuk sekadar melepas beban yang
menyesak di dada. Dan daripada selama perjalan diam saja/' Mari kembali
membuka percakapan. "Tidak apa-apa kan? Kau mau mendengarkan kan Dik?"
lanjutnya sambil memandangi Zul. Zul jadi menoleh. Pandangan mereka
bertemu.
Zul mengangguk pelan, lalu kembali memandang lurus ke depan. Mari mulai bercerita,
"Saat
itu saya masih kuliah di UNS Solo. Saya berkenalan dengan orang yang
kemudian jadi suami saya itu, ya saat kuliah itu. Sebut saja namanya W.
Saya tidak mau mengingat nama lengkapnya. Saya sudah mengharamkan diri
saya untuk menyebut namanya. Saya sangat membencinya hingga tujuh
turunan.
"Baik saya lanjutkan ceritanya. Saat itu saya adalah gadis
yang masih lugu. Sekaligus gadis desa yang mudah terpikat dengan
gemerlap duniawi. Agaknya W mengerti benar karakter diri saya. Sehingga
dia bisa begitu mudah masuk dalam kehidupan saya. Ia begitu lihai
memikat dan menawan hati saya. Jika ke kampus dia selalu memakai mobil
mengkilat. Orangtua W adalah saudagar kaya di Klewer dan Tanah Abang
Jakarta. Dia sering datang ke kost saya. Dan sering menyenangkan hati
saya dengan limpahan hadiahnya.
"Sampai akhirnya W mengatakan bahwa
dia sangat mencintai saya. Dia ingin sekali menikahi saya. Saya seperti
terbang di angkasa saat itu, karena sangat gembira. Saya benar-benar
sudah tergila-gila padanya.
Ibu saya sebenarnya tidak setuju saya
kawin dengan W, karena ibu saya ingin saya menikah dengan putra Pak
Modin yang sedang kuliah di IAIN Walisongo Semarang.
Saya sama sekali
tidak mempedulikan keberatan ibu saya itu. Itulah mungkin dosa besar
saya pada ibu yang membuat saya menderita dan menanggung nestapa.
"Ringkas
cerita, kami pun menikah. Kami menikah tahun 1998. Ia langsung
memboyong saya ke Solo Baru. Ternyata ia sudah punya rumah cukup mewah
di sana. Itu adalah hari yang sangat indah bagi saya. Seminggu setelah
menikah, W pamit untuk pergi ke Jakarta. Dia bilang untuk urusan bisnis
dengan temannya. Beberapa hari setelah itu kiamat seolah datang. Langit
seperti runtuh menimpaku. W tertangkap polisi dalam keadaan over dosis
dengan seorang pelacur Jakarta. Ia masuk bui.
Keluarganya tidak peduli.
"Kakak
perempuannya bahkan terang-terangan mengatakan sangat membenci W. Dari
kakak perempuannya itulah saya tahu bahwa W sesungguhnya lelaki yang
sangat bejat. Bahkan lebih bejat daripada makhluk paling bejat sedunia
sekalipun. Saya nyaris muntah ketika kakak perempuannya itu bercerita
bahwa dirinya pernah diperkosa oleh W saat W sedang sakau.
Ia tidak berdaya karena W mengancam akan membunuhnya.
W
itu tega memperkosa kakak kandungnya sendiri, apa tidak menjijikkan?
Apa tidak melampaui batas? Seketika itu, tanpa bisa ditawar lagi saya
langsung mengajukan gugatan cerai. Dan sejak itu saya benarbenar jijik
dengan kaum lelaki dan saya bersumpah tidak akan menikah lagi!"
Ada
nada amarah dalam kata-kata Mari. Ada kebencian yang luar biasa di sana.
Zul merasa ngeri mendengarnya. Ia merasa bingung harus bersikap
bagaimana. Bus terus melaju dengan kecepatan di atas seratus kilometer
per jam. Mari diam tidak melanjutkan ceritanya. Pandangannya lurus ke
depart. Jika diamati lebih seksama kedua mata itu sesungguhnya
berkacakaca.
Sesaat lamanya keduanya dijaga oleh diam.
Akhirnya Zul memberanikan untuk membuka suara,
'Apa Mbak sampai sekarang masih jijik dengan kaum lelaki. Termasuk saya?"
Mari mengambil nafas dalam-dalam,
"Saat
ini tidak lagi. Saya berusaha bersikap adil. Saya tidak boleh
menimpakan dosa seorang W pada semua kaum lelaki. Tapi jujur saya perlu
proses yang sangat panjang untuk bisa bersikap adil dan tidak jijik pada
kaum lelaki. Dan disebabkan rasa jijik dan trauma pada lelaki saya
pernah punya keinginan untuk hidup berumah tangga dengan kaum perempuan
saja."
"Sampai seperti itu Mbak."
"Iya. Gila bukan? Tapi jangan
takut. Saya katakan, saya pernah punya keinginan. Hanya pada taraf
keinginan. Dan itu pun dulu. Sekarang sudah tidak lagi."
"Sejak kapan
Mbak bisa kembali normal memandang dunia. Maaf, untuk mudahnya saya
katakan kembali normal memandang dunia, termasuk kaum lelakinya. Sebab
menurut saya sikap jijik dan trauma pada lelaki itu sikap tidak normal."
"Prosesnya
sangat panjang. Sampai saya bertemu dengan seorang Ustadzah. Dia
lulusan pesantren. Dia ikut suaminya yang sedang mengambil program
doktor.
Ustadzah itu begitu sabar menyempatkan waktu untuk memberikan
pencerahan kepada kami, para tenaga kerja wanita. Dan ia begitu sabar
mendengarkan semua keluhan saya. Saya pernah diajak oleh Ustadzah itu
tidur di rumahnya. Untuk melihat bagaimana keadaan rumah tangganya. Dan
saya melihat sendiri betapa besar kasih sayang suami Ustadzah itu kepada
keempat anaknya yang semuanya perempuan. Sejak itulah saya tahu bahwa
ada juga lelaki baik di dunia ini."
"Bukankah Mbak memiliki seorang ayah?"
"Ya
tentu saja punya. Namun ayah saya sudah tidak ada sejak saya berusia
dua tahun. Jadi saya tidak ingat apa-apa tentang ayah. Dan ibu tidak
menikah lagi. Kakak tertua saya lelaki. Tapi ia tidak begitu peduli pada
saya."
Bus terus melaju. Sejauh mata memandang adalah rerimbunan kebun kelapa sawit yang tampak hijau tua.
"Bagaimana ceritanya Mbak bisa sampai ke Malaysia. Dan apa sebenarnya yang Mbak cari?"
"Kalau
diceritakan semuanya panjang. Singkat saja ya. Setelah suami dipenjara
dan saya tahu siapa dia sebenarnya, saya mengajukan gugatan cerai. Rumah
di Solo Baru disita polisi karena ternyata suami punya piutang di
beberapa bank yang cukup besar jumlahnya.
Saya tidak punya apa-apa.
Ibu sudah renta. Saya anak ragil. Saudara-saudara saya sudah
berkeluarga. Mereka juga hidup susah. Saya tidak berani meminta bantuan
mereka.
"Saya nekat merantau ke Jakarta untuk mencari kerja.
Kebetulan ada teman yang mengajak. Alhamdulillah sebelum menikah saya
sudah selasai D.3 Akuntansi. Dan dengan berbekal ijazah D.3, saya
diterima bekerja di sebuah supermarket di Jakarta Selatan.
Saya sudah
cukup nyaman saat itu. Saya hidup damai kurang lebih dua tahun. Saya
bahkan sempat nyambung kuliah, dan menyelesaikan S.l di sebuah Sekolah
Tinggi Ilmu Ekonomi di Jakarta.
Tapi tiba-tiba entah bagaimana,
mantan suami saya itu bisa tahu nomor telpon saya dan menelpon saya. Dia
sudah keluar dari penjara dan meminta saya agar kembali kepadanya. Saya
takut. Saya langsung pergi meninggalkan Jakarta hari itu juga. Saya
bersembunyi ke Bandung. Di Bandung ada agen pengiriman tenaga kerja ke
Malaysia. Saya ikut agen. Akhirnya saya mengadu nasib dan terbang ke
malaysia. Sampai sekarang saudara-saudara saya tidak saya beritahu kalau
saya di Malaysia. Terakhir saya nelpon mereka saat saya
masih di Bandung. Saya kuatir mantan suami saya itu akan mengejar saya."
"Kenapa mesti takut Mbak. Bukankah Mbak adalah perempuan yang merdeka. Dan Mbak akan dilindungi oleh hukum?"
'Ah
kamu ini Dik. Apa selama ini kamu hanya hidup di dalam kamar dan tidur,
sehingga membuka jendela pun tidak!? Dunia mantan suami saya adalah
dunia mafia. Dan dunia mafia tidak mengenal hukum. Lebih baik saya di
Malaysia dulu, baru kalau saya sudah mendengar si W itu telah mampus,
saya akan balik ke Indonesia. Walau bagaimanapun saya punya saudara dan
saya sangat rindu pada mereka. Saya pun ingin hidup berkeluarga dan
tenang di hari tua. Saya tidak akan menyerah. Saya akan terus berusaha
dan bertahan sampai Tuhan memutuskan takdir finalnya untuk saya.
Semenderita
dan sesengsaranya saya, saya masih percaya bahwa Tuhan itu ada. Tuhan
itu adil dan Dia juga Maha Penyayang. Saya masih percaya itu Dik."
Zul
hanya diam mendengarnya. Ternyata tidak hanya dia yang menghadapi
perjalanan hidup yang rumit dan sulit. Perempuan muda yang duduk di
sampingnya bisa jadi sebenarnya menjalani hidup yang lebih rumit yang
tidak sampai untuk dikisahkan kepada siapa pun.
"Kalau adik,
bagaimana? Bagaimana bisa sampai harus ke negeri Jiran ini? Adakah
cerita yang bisa dibagi dan didengar?" Mari balik bertanya. la merasa
selama ini dia yang banyak bercerita. la ingin gantian mendengarkan
cerita dari Zul.
"Perjalanan saya bisa sampai di dalam bus ini tak
kalah berlikunya dari apa yang Mbak ceritakan. Hanya saja saya merasa
tidak harus sekarang saya menceritakannya.
Saya janji saya akan
gantian membagi cerita saya pada Mbak. Saya yakin kita masih bisa
bertemu di negeri Jiran ini. Itu pun kalau Mbak benarbenar masih sudi
menemui saya."
"Masak tidak sudi. Memang saya ini siapa?"
"Kuatir, Mbak masih menyisakan rasa jijik itu."
"Ah,
kamu ini. Ya saya akan merasa jijik sama kamu jika kelakuan kamu
ternyata tidak berbeda dengan si W, mantan suami saya itu."
"Mbak kok
seolah yakin benar kalau kelakuan saya berbeda dengan mantan suami
Mbak. Kenapa Mbak tidak waspada? Kenapa Mbak justru malah mengajak saya
jalan bersama?"
Mari tersenyum, lalu menjawab, "Dengar ya Dik. Orang yang sudah pernah terluka seperti saya ini bisa membaca bahasa tubuh orang
brengsek seperti mantan suami saya dan yang sejenisnya.
Dari
cara lelaki memandang dan menatap saja saya sudah tahu dia itu
sebenarnya serigala atau tidak. Saya tahu mana mata yang jelalatan dan
yang tidak jelalatan. Saya bisa meraba watak seseorang dari gerak dan
binar matanya. Tidak hanya mata kaum lelaki. Bahkan mata kaum perempuan
pun saya bisa membedakan mana mata pelacur dan bukan pelacur. Mana mata
perempuan baik-baik dan perempuan tidak baik!"
"Jadi Mbak yakin saya ini orang baik?" sahutnya sambil melihat ke luar jendela.
"Sejauh ini saya yakin. Tidak tahu satu dua jam ke depan. Bisa jadi kepercayaan saya padamu berubah."
Jawab
Mari tegas. Zul merasakan ketegasan itu. Kalimat dan intonasi perempuan
itu seolah juga memberitahukan kepadanya agar ia jangan mencoba
bersikap meremehkannya.
Dari ketegasan itu, Zul mengerti bahwa
perempuan muda di sampingnya adalah perempuan yang memiliki karakter
kuat. Dan tidak mau diremehkan.
Entah kenapa ia ingin memandang
perempuan di sampingnya itu dengan lebih dalam. Keinginan itu tidak
dapat dilawannya. Ia pun memalingkan wajahnya
perlahan dan memandang
ke arah wajah Mari. Mari ternyata sedang memandang ke arahnya. Mata
keduanya bertemu sesaat. Ada getaran halus masuk ke dalam hati Zul.
Wajah Mari tampak kurus, tapi ada aura ketulusan yang memancar darinya.
Dan ada pesona yang
mampu membuat hati Zul merasakan getaran halus yang masuk begitu saja.
"Apakah ada kilatan binar serigala dalam mataku Mbak?"
Mari tersenyum, dan menjawab,
"Jujur
saja Dik ya hampir di semua mata lelaki ada binar liar serigala ketika
melihat perempuan. Untuk itulah menurut saya kenapa kaum lelaki diminta
oleh Tuhan untuk menjaga pandangan."
Mendengar jawaban Mari, Zul diam
dan tidak berkata apa-apa. Ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela.
Ia memandang rerimbunan pohon kelapa sawit yang seperti berlomba-lomba
lari ke belakang. Dalam hati Zul membenarkan perkataan Mari. Sebab saat
ia memandang wajah dan mata Mari dengan seksama, ia menemukan sihir yang
mampu mengubah dirinya menjadi serigala. Tiba-tiba ia merasa menemukan
kalimat untuk menjawab perkataan Mari,
"Dan hampir semua wajah dan mata perempuan itu memiliki sihir yang mampu mengubah lelaki jadi serigala.
Maka sebaiknya memang keduanya saling menjaga.
Agar tetap menjadi manusia yang mulia dan tidak berubah menjadi manusia serigala."
Mari tersenyum mendengarnya.
* * *
Menjelang
Maghrib bus Trans Nasional memasuki kota Kuala Lumpur. Zul menikmati
pemandangan senja di Kuala Lumpur dengan seksama. Jalan tol yang lebar
dan melingkar. Gedung-gedung tinggi. Hutan kota yang masih terjaga. la
harus mengakui, Kuala Lumpur jauh lebih rapi dari Jakarta. la
mencari-cari gedung yang menjadi simbol Kuala Lumpur. la
melongok-longok, mencari-cari Menara Kembar. la tidak melihatnya.
"Menara Kembarnya mana ya Mbak, kok tidak kelihatan?" tanyanya pada Mari.
Part Dua
"Kamu
jangan memandang ke arah situ. Pandanglah ke arah sana. Di sela gedung
menjulang itu. Itulah Menara Kembar," jawab Mari sambil menunjuk ke arah
Menara Kembar.
"Wah iya. Saya penasaran ingin lihat dari dekat."
"Jangan
tergesa-gesa. Nanti kau akan punya waktu yang cukup untuk melihatnya.
Kau bahkan bisa makan di sana. Kau juga bisa refreshing di sana. Di
bawah menara itu ada tamannya yang rapi dan indah. Namanya taman KLCC.
Taman itu terbuka untuk umum dan
gratis."
Zul langsung
membayangkan nyamannya berjalanjalan di bawah Menara Kembar dan nyantai
di taman KLCC. Tiba-tiba ia teringat Najibah. Gadis satu desa dengannya
yang pernah menjadi tambatan hatinya.
Najibah pernah minta padanya
untuk rekreasi ke Taman Kiai Langgeng. Dan ia berjanji pada gadis itu
akan mengajaknya ke Taman Kiai Langgeng suatu kali.
Namun sampai saat ini ia tidak bisa memenuhi janji itu.
Dan tidak mungkin rasanya memenuhi janjinya itu.
Sebab,
gadis yang punya lesung pipi indah itu, kini telah menikah dengan orang
lain. Ah, seandainya ia kaya, tentulah ia bisa menikahi gadis itu dan
mengajaknya jalan-jalan ke Taman Kiai Langgeng. Bahkan mengajaknya ke
Kuala Lumpur dan berjalan-jalan di taman KLCC itu.
Karena kemiskinannyalah, akhirnya Najibah memutuskan menikah dengan orang lain setelah tiga kali.
Itu
pun setelah Najibah memintanya untuk segera menikahinya dan ia merasa
tidak mampu. Ia minta ditangguhkan beberapa tahun lagi. Ia tidak bisa
memberi jawaban pasti. Dan Najibah merasa tidak bisa bergantung pada
ketidakpastian.
"Maaf, Mas Zul, bukan saya tidak cinta sama Mas.
Orang tua saya minta saya segera menikah. Tahun ini. Jika Mas mau ya
tahun ini. Jika tidak ya anggap saja kita tidak berjodoh. Ini demi
kebaikan saya dan Mas."
Itulah kata-kata Najibah yang masih ia ingat
terus. Katakata yang tidak mungkin ia lupakan, karena saat itu ia tidak
berdaya apa-apa sebagai seorang lelaki. Ia sama sekali tidak bisa
memenuhi harapan orang yang dicintainya. Jangankan biaya untuk menikah,
biaya untuk makan sehari-hari saja ia sering tidak punya. Ia benar-benar
merasakan betapa susah jadi orang tidak punya. Sampai untuk menikahi
orang yang dicintai saja tidak bisa. Ia benar-benar sedih dan menderita
jika mengingatnya.
Sesungguhnya Najibah itu bukanlah gadis yang
materialistis, ia tidak minta apa-apa, selain akad nikah. Namun akad
nikah itu ada biayanya. Dan itu yang ia tidak punya saat itu. Ia
benar-benar tidak punya. Ia merasa dirinya adalah orang paling miskin
papa sedunia.
Ah, ia berusaha melupakan peristiwa itu. Namun belum
juga bisa. Bahkan sampai ia sudah di Kuala Lumpur pun peristiwa itu
masih saja teringat olehnya. Ia yang mengalami peristiwa yang tak
setragis Mari saja masih dibayangi oleh peristiwa itu, apalagi Mari.
Wajar jika perempuan muda itu sampai mengalami trauma. "Heh, melamun
apa! Kita sudah sampai di Purduraya! Ayo siap-siap turun!" Zul kaget dan
tersadar dari lamunannya.
"Kita sudah sampai Mbak?"
"Iya. Ayo turun. Itu orang-orang sudah pada turun."
Mereka
berdua lalu turun dari bus. Lalu naik ke lantai dua. Tempat dimana para
penumpang berkumpul menunggu bus. Tempat dimana penumpang datang dan
pergi. Di lantai dualah puluhan waning penjual oleh-oleh dan makanan
dibuka. Juga di lantai dualah puluhan agen
bus membuka konter.
"Mbak ini sudah Maghrib ya?" tanya Zul.
"Iya sudah. Gini saja. Kita shalat dulu gantian. Tempat shalat dan tandas ada di lantai tiga. Kita naik ke sana."
"Tandas itu apa Mbak."
"Toilet. Kalau bahasa orang Demak kakus."
"Wah kok nadanya agak menghina orang Demak thoMbak."
"Kamu ini lelaki kok sentimentil begitu. Ayo kita naik!"
Mereka berdua lalu naik ke lantai tiga. Mereka ke tandas dahulu, baru ke surau. Mereka shalat bergantian.
Selesai shalat Zul bingung. la baru sadar kalau ia tidak memiliki tujuan yang jelas. Mari hanyalah teman bertemu di perjalanan.
"Inilah
Kuala Lumpur Dik Zul. Ya selamat datang di Kuala Lumpur. Semoga nasibmu
berubah di sini. Berubah jadi baik. Tidak sebaliknya. O ya, jadi kau
mau menginap di mana?"
"Wah jujur saja Mbak. Saya tidak tahu harus menginap di mana."
"Katanya kau mengantongi sebuah nama dan nomor telpon itu bagaimana?"
"Ya, saya coba telpon dulu Mbak."
"Pakai hp saya saja Dik, tak usah pakai telpon umum. Tuh telpon umum antrenya kayak gitu," Mari mengulurkan hand phone-nya..
Zul menerima hand phone itu dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya merogoh saku celananya.
Ia
mengeluarkan sobekan kertas. Lalu memanggil nomor yang tertulis di
kertas itu. Beberapa saat ia menunggu tidak ada jawaban. Lalu ia ulangi
lagi. Empat kali ia memanggil dan tidak ada yang mengangkat.
"Bagaimana Dik?"
"Tidak ada yang mengangkat Mbak."
"Mungkin sedang shalat. Kalau gitu ayo kita cari makan dulu. Saya lapar. Setelah makan ditelpon lagi."
"Boleh."
Mari
berjalan di depan. Ia sangat hafal seluk beluk Terminal Purduraya. Dan
bisa dipastikan bahwa pekerja Indonesia yang bekerja di sekitar Kuala
Lumpur sangat akrab dengan terminal bus paling padat di Kuala Lumpur
ini. Mari memilih makan di Kak Long Cafe. Sebuah cafe milik seorang
Muslimah keturunan China.
"Bisa jadi kita nanti akan sulit bertemu.
Bahkan mungkin akan tidak bertemu. Namun siapa tahu adik perlu bertemu
dengan saya suatu hari nanti. Atau perlu bantuan saya. Saya akan kasih
nomor telpon saya. Bisa ditulis?" kata Mari selesai makan.
"Bisa Mbak. Terima kasih ya atas segalanya. Berapa Mbak nomornya?" jawab Zul.
"0176767676. Bacanya mudah 01 terus tujuh enam empatkali."
"Wah mudah diingat Mbak."
"Coba orang yang kautuju itu dikontak lagi."
Zul langsung menelpon nomor yang ia telpon sebelumnya. Beberapa kali ia telpon tapi tidak juga berhasil.
"Tetap tidak ada yang mengangkat Mbak."
"Mmm...." gumam Mari sambil mengerutkan keningnya.
"Saya coba lagi Mbak."
Zul kembali melakukan panggilan. Tidak juga berhasil.
"Bagaimana, tidak berhasil juga?" tanyaMari.
"Iya."
"Kau di sini asing. Kalau tidak ada teman kasihan. Kalau kau mau kau bisa ikut saya menginap di tempat saya."
"Menginap di tempat Mbak?"
"Iya.
Jangan berpikir yang tidak-tidak. Di tempat saya ada tiga kamar. Kau
bisa menginap di salah satu kamarnya. Paling tidak untuk sekadar melepas
lelah. Besok kau bisa mencari orang yang kautuju itu. Itu kalau kau
mau."
Zul terdiam sesaat. Ia memang tidak kenal siapasiapa di Kuala
Lumpur ini. Nama yang ada dalam sobekan kertasnya pun sebenarnya tidak
kenal. Nama itu adalah nama kenalan Pak Hasan. Katanya ia adik kelas Pak
Hasan sewaktu kuliah di Jogja yang sekarang bekerja di Kuala Lumpur.
Dan jujur ia memang perlu istirahat. Perjalanan dari Batam sampai Kuala
Lumpur cukup membuatnya lelah. Apalagi dua hari sebelum berangkat ia
kerja lembur di sebuah bengkel.
"Bagaimana Dik? Kalau kau mau ayo
kita berangkat. Mumpung belum terlalu malam. Atau kau mau tidur di
bangku itu, ya tidak apa-apa. Tapi jangan kaget kalau nanti ada operasi
polisi dan kau dianggap gelandangan. O ya bisa juga kau menginap di
hotel Purduraya ini. Tinggal kau jalan ke atas. Tapi ongkosnya ya
lumayan."
Mari menjelaskan beberapa pilihan untuk Zul.
Zul masih
belum mantap menentukan salah satu pilihan. Hati kecilnya ingin menginap
di hotel. Tapi uang yang ia miliki benar-benar pas-pasan. Ia sebisa
mungkin harus menghemat.
"Sudahlah Dik ayo ikut saya saja. Besok kau
bisa pergi ke mana kau suka. Ayo!" Kata Mari dengan tegas seraya
bergegas ke luar terminal. Ketegasan kata-kata Mari membuat Zul seolah
menemukan pilihan terbaik.
Ia pun mengikuti langkah Mari. Mereka
keluar menyeberangi jalan raya. Mari berjalan dengan cepat meskipun ia
harus menyeret tas kopornya. Zul berusaha mengimbangi di sampingnya.
"Kita mampir di supermarket sebentar. Lalu kita ke Terminal Pasar Seni cari bus Rapid KL yang ke Subang."
"Iya Mbak. O iya Mbak ini hand phone-nya nanti lupa."
"Ayo cepat.dikit."
Mereka
berjalan menyusuri trotoar. Mari masuk sebuah supermarket dan belanja
makanan, sikat gigi, odol, dan sabun mandi cair. Zul menunggu di depan
supermarket. Tak lama kemudian mereka kembali berjalan. Sepuluh menit
kemudian mereka sudah sampai di Pasar Seni. Mari langsung naik Rapid KL
jurusan Subang. Zul ikut di belakangnya. Setelah membayar karcis mereka
duduk. Bus berjalan perlahan.
"Jangan kaget, nanti kau akan tinggal
di tengahtengah tenaga kerja wanita. Artinya penghuni rumah itu semuanya
wanita. Saya salah satu di antaranya. Rumah saya dihuni enam orang. Ada
tiga kamar. Satu kamar berdua. Kebetulan ada dua orang yang sedang
pulang
ke Indonesia. Jadi saat ini dihuni empat orang. Kau nanti bisa
tidur di kamar saya saja. Kebetulan di kamar saya ada kamar mandinya.
Jadi kau tidak akan mengganggu teman-teman saya yang lain."
Mari
menjelaskan kondisi rumahnya. Zul mendengarkan dengan seksama. la merasa
sudah terlalu banyak berhutang budi pada perempuan muda yang baru
dikenalnya itu.
"Mbak baik sekali. Entah bagaimana saya harus membalas budi Mbak. Saya malu pada Mbak."
"Jangan
berpikir begitu. Kita ini sebagai manusia sudah semestinya saling
tolong menolong. Iya tho. Manusia tidak bisa hidup sendirian. Iya tho
Dik. Apalagi kita sama-sama orang Jawa, dan sama-sama orang Indonesia
dan sama-sama orang Islam. Sudah jadi kewajibanku
membantu adik. Ya anggap saja aku ini kakakmu."
"Iya Mbak. Terima kasih Mbak."
Rapid
KL membelah kota Kuala Lumpur. Karena kelelahan Zul tertidur. Cukup
pulas. Mari mengamati dengan seksama, anak muda yang duduk di sampingnya
itu. Wajah polos khas Jawa. Wajah yang tampak begitu muda. Ada guratan
derita di sana. Namun ada juga gurat
keberanian dan kenekatan. Mari
memperkirakan umur pemuda ini lima tahun lebih muda darinya. la telah
masuk dua puluh tujuh. la perkirakan Zul tak lebih dari dua puluh dua.
Setelah satu jam berjalan akhirnya mereka sampai di Subang. Mari membangunkan Zul. Zul bangun dengan tergagap,
"Sudah sampai tho Mbak?"
"Sudah Dik."
Mari turun diikuti Zul.
"Kita perlu jalan kira-kira dua ratus meter baru tiba di rumah. Tak apa ya?"
"Tidak apa Mbak."
Mereka berjalan memasuki kawasan Taman Subang Permai. Selama dalam perjalanan Mari bercerita tentang teman-temannya.
"Rumah
saya rumah teras. Rumah teras artinya ya rumah biasa seperti
rumah-rumah di Indonesia yang ada terasnya. Bukan rumah apartemen. Saya
menyewa bersama teman-teman dari orang China. Rumah itu ada tiga kamar.
Kamar paling depan ditempati oleh Linda dan Sumiyati. Linda asli
Sukabumi, ia lahir di Amsterdam. Linda ini belum bersuami dan cantik.
Kau hati-hati jangan sampai ada apa-apa dengan dia ya. Jangan membuat
masalah di negeri orang. Awas ya, kau harus jaga iman kalau berhadapan
dengannya! Terus teman sekamarnya adalah Sumiyati, asli Blitar. Sumiyati
juga sudah bersuami. Kamar tengah saya yang menempati. Saya sekamar
dengan Iin. Kami memanggilnya Iin. Nama aslinya Mutmainah. la asli Pati.
Iin sudah bersuami dan punya dua anak di Pati. Kamar yang paling
belakang saat ini kosong. Yang tinggal di situ adalah Reni dan Watik.
Keduanya sedang pulang kampung. Mereka berasal dari satu kampung di
Kendal Jawa Tengah.
Sebetulnya kau bisa tidur di kamar Reni dan Watik
yang kosong. Tapi di kamar itu tidak ada kamar mandinya. Lebih baik
nanti kau tidur di kamar saya saja. Biar saya dan Iin yang tidur di
kamar Reni."
"Iya Mbak."
"O ya jangan kaget ya. Jika nanti mereka
itu banyak bicara. Mereka itu perempuan-perempuan yang paling suka
ngobrol dan banyak cerita. Jika kau tidak ingin ngobrol kau nanti
langsung saja tidur."
"Iya Mbak."
Lima belas menit berjalan
akhirnya mereka sampai di sebuah rumah, yang tak jauh berbeda dengan
perumahan di Indonesia. Hanya pintunya dirangkapi dengan pintu besi.
Mari langsung membuka pintu. Dan begitu ia masuk ia langsung disambut
histeris temantemannya.
"Oi, Mbak Mar pulang!" teriak seorang perempuan muda yang hanya mengenakan celana pendek dan kaos oblong.
"Hei kau bawa teman ya Mar?" tanya perempuan berdaster panjang.
"Iya. Ini, anggap saja adik saya. Namanya Zul. Dia mungkin numpang cuma semalam saja/' jelas Mari.
"Adik apa adik?" ledek perempuan bercelana pendek.
Mari hanya tersenyum kecut.
"Kenalkan saya Zul, dari Demak."
"Saya Sumiyati, dari Blitar." Sahut perempuan bercelana pendek.
"Aku Iin. Soko Pati Mas."1 Perempuan berdaster memperkenalkan diri denganbahasa Jawa. "Yo anggep
wae, iki ning ngomahe dewe. Anggep wae ning ngomahe keluargane dewe."2
"Inggih matur nuwun Mbak."3 Jawab Zul.
"Si Linda mana?" tanya Mari.
"Seperti biasa Mbak ke KL. Seperempat jam yang lalu ia dijemput sama si Chong Tong," jelas Sumiyati.
"Tak ada kapoknya anak itu!" sahut Mari dengan nada tidak suka.
"Yo mugo-mugo4 Gusti Allah membukakan jalan baginya untuk taubat," lirih Iin.
"Amin!"tukas Mari.
"E... Mas Zul kok berdiri di situ saja. Silakan duduk Mas. Monggo5 Mas." Sumiyati mempersilakan Zul untuk duduk di kursi.
"Ya Mbak terima kasih." Jawab Zul seraya duduk.
Sumiyati lalu bergegas ke dapur membuat minuman.
Sementara
Mari dan Iin masuk ke kamar mereka. Mari meminta Iin membantu merapikan
kamar dan tempat tidur. Dan menjelaskan sebaiknya Zul tidur di kamar
yang ada kamar mandi di dalamnya. Iin sepakat. Dengan cepat mereka
merapikan dan menyimpan pakaian dan perkakas milik kaum perempuan yang
tidak sepatutnya dilihat kaum lelaki. Setelah mereka lihat rapi dan
mereka teliti tidak ada yang tidak patut, mereka kembali ke ruang tamu
dan mempersilakan Zul membawa tasnya ke kamar.Zul menurut. Ia membawa
tasnya ke kamar. Ia masuk dan menutup pintu. Zul mencium bau wangi di
kamar itu. Kamar yang bersih dan rapi. Jauh sekali bedanya dengan
kamarnya dan teman-temannya saat bekerja di Batam. Zul mencopot
jaketnya. Beberapa menit kemudian kamarnya diketuk.
Ternyata Mari. Membawa nampan berisi teh hangat dan satu piring roti donat yang tadi dibeli di supermarket.
"Istirahat
saja. Ini minumnya. Di kamar mandi ada sikat gigi yang masih baru, juga
sabun cair, bisa kamu pakai jika mau mandi. Handuknya sudah saya
siapkan di kamar mandi." Jelas Mari sambil meletakkan nampan itu di atas
meja rias.
"Terima kasih Mbak."
"Jika perlu apa-apa bisa mengetuk kamar belakang. Saya ada di sana."
"Iya Mbak."
"Baik. Selamat istirahat." Kata Mari dengan tersenyum.
Ia keluar dari kamar dan menutup pintu kamar dengan pelan.
Zul merebahkan tubuhnya di kasur yang empuk itu.
Terasa
nyaman. Tapi ia merasa kulitnya seperti lengket dengan pakaiannya.
Sangat tidak nyaman. Ia lalu beranjak ke kamar mandi dan mandi. Air yang
mengguyur sekujur tubuhnya itu serasa meremajakan seluruh syaramya.
Barulah setelah mandi iabisa istirahat dengan nyaman. Sesaat sebelum
tidur kilatan senyum Mari yang tulus terbayang di mata. Ia tersenyum.
Tibatiba ia teringat perkataan Mari tadi siang,
"Jujur saja Dik ya,
hampir di semua mata lelaki ada binar liar serigala ketika melihat
perempuan. Untuk itulah menurut saya kenapa kaum lelaki diminta oleh
Tuhan untuk menjaga pandangan."
Ia kembali tersenyum. Lalu terlelap tidur.
***
Part Tiga
setengah menggerutu. Tidak jelas kepada siapa kata-kata itu ia tujukan. Pada Sumiyati atau pada Iin, atau pada kedua-duanya.
"Maaf
Dik, kami segan mau membangunkan. Kiblat ke arah jendela Dik." Jawab
Iin kalem sambil memandang ke arah Zul yang masih jelas bekasnya dari
tidur.
Zul kembali ke kamar dan shalat. Setelah itu ia kembali ke ruangan tamu. Ia tidak melihat Mari.
"Lha Mbak Mar ke mana? Apa masih tidur juga?"
"Ya tidak. Mbak Mar itu orang paling disiplin di rumah ini. Ia sudah bangun sejak jam empat tadi.
Biasanya
shalat Tahajjud. Terus nyuci pakaian. Tadi setelah shalat Subuh ia
langsung berangkat kerja." Jelas Sumiyati santai sambil mengambil kacang
tanah yang ada di depannya. Lalu mengeluarkan isinya dan memasukkan ke
dalam mulutnya.
"O ya sebelum berangkat tadi Mar nitip pesan. Kalau
kamu sudah bisa menghubungi orang yang kamu tuju dan mau pergi pagi ini
atau siang ini tidak apa-apa. Kalau masih betah dan mau menginap barang
satu dua hari lagi ya tidak apa-apa. Hanya saja Mar minta kalau siang
ini orang itu tidak juga bisa kauhubungi kau sebaiknya menginap semalam
lagi. Siang ini dia akan mencoba mencarikan informasi tentang tempat
yang lebih pas, sekaligus informasi tentang pekerjaan jika ada/' Iin
menyahut.
"Sebaiknya, siang ini Mas istirahat saja dulu di sini. Kan
baru datang. Sambil menunggu informasi dari Mbak Mar jika nanti ia
kembali," sambung Sumiyati memberi saran.
"Saya mau keluar sebentar
Mbak. Sekalian lihat-lihat lingkungan. Saya mau coba telpon orang yang
harus saya hubungi itu sekali lagi," kata Zul.
"Ya, hati-hati Dik. Jangan lupa bawa paspor ya,"
tukas Iin
Zul
keluar mencari telpon. Lima puluh meter dari rumah itu ia menemukan
warung kelontong, namun di situ tertulis kedai runcit. Di warung itu ada
wartelnya.
Dari wartel itu ia mencoba menelpon nomor yang ia catat
dari Pak Hasan. Berulang-ulang ia menelpon, tapi tidak juga berhasil. Ia
mencoba menelpon Pak Hasan yang ada di Batam juga tidak berhasil. Nomor
Pak Hasan sedang tidak aktif. Ia kembali ke rumah dan mendapati dua
perempuan itu telah rapi dan siap pergi.
"Dik kami harus berangkat
kerja. Ini kunci rumah, siapa tahu kamu mau keluar. Jika nanti kamu mau
pergi meninggalkan rumah, tolong rumah dikunci. Dan kuncinya letakkan
saja di bawah pot bunga itu. Oh ya sarapannya sudah kami siapkan di
dapur. Makan saja yang banyak. Maaf seadanya." Dengan lembut Iin
menjelaskan.
"O ya Mas, kalau mau lihat film-film Malaysia.
Nyalakan saja DVD player itu. DVD-nya ada di rak biru itu," sahut Sumiyati.
"Kami
pergi dulu ya. Yah demi mencari sesuap nasi Mas." Imbuhnya sambil
membuka pintu. Mereka berdua lalu bergegas meninggalkan rumah. Ketika
mereka sampai di halaman hendak membuka pintu gerbang, sebuah mobil
sedan Proton Wira berhenti tepat di hadapan mereka. Seorang perempuan
berpakaian sangat ketat keluar dari mobil itu. la melambaikan tangan
pada pengendara mobil yang bermata sipit.
"Baru pulang Lin?" sapa Iin.
"Iya Mbak. Tadi ketiduran di hotel," jawab perempuan itu santai.
Zul melihat dari pintu yang masih terbuka.
"Kamu
itu mbok ya ingat akhirat meskipun sedikitsedikitlah Lin? Ingatlah hari
akhir kelak Lin!" Iin menasihati dengan suara lembut.
"Aduh Mbak,
kalau mau ceramah di masjid saja. Saya sedang capek nih. Sory ya Mbak.
Saya harus istirahat. Lha itu kok ada cowok di rumah kita. Siapa dial?"
ketus Linda.
"Itu adik saya dari Demak," jawab Iin.
"Orangnya baik kok Lin. Namanya Zul. Jangan takut santai saja," timpal Sumiyati.
"Siapa
yang takut. Saya tak pernah takut sama lelaki. Apalagi lelaki Indonesia
kurus kaya gitu. Lelaki dari Amerika, Rusia bahkan Nigeria sekalipun
saya tidak pernah takut! Kenapa kalian masih mematung saja di sini.
Nanti kalian terlambat didamprat sama majikan baru tahu rasa!" sengit
Linda.
"Ya udah kami berangkat dulu. Jaga rumah baikbaik ya Lin."
"Ya," jawab Linda singkat sambil beranjak masuk rumah.
Ketika
masuk rumah dan melewati Zul yang berdiri di samping pintu Linda
menyapa datar, "Halo Mas, baru datang dari Indonesia ya?"
"Iya," jawab Zul singkat.
Linda langsung masuk ke dalam kamarnya.
Sementara
Zul masih berdiri di samping pintu memandang lurus ke depan, ke halaman
dan jalan. la mendengar dengan jelas percakapan tiga perempuan itu. Dan
ia bisa meraba, kira-kira apa pekerjaan perempuan muda bernama Linda
yang baru saja menyapanya itu. Dan siang itu ia bisa jadi hanya akan
berdua bersama Linda di rumah yang sepi itu. Ia berpikir apa yang akan
ia kerjakan seharian di rumah itu. Apakah ia akan hanya tidur di kamar?
Bagaimana kalau Linda mengajak berbincang-bincang? Apakah ia akan
bersikap cuek saja terhadap Linda? Ataukah ia akan berpura-pura bersikap
baik kepadanya. Sebab ia paling tidak suka dengan perempuan yang
memiliki tanda-tanda sebagai perempuan tidak benar. Dari cara Linda
berpakaian dan dari pembicaraan yang baru saja ia dengar, ia memiliki
firasat kuat bahwa Linda adalah jenis perempuan tidak benar. Zul
mengambil nafas panjang. Ia belum bisa memutuskan akan bersikap
bagaimana.
"Mas pintunya ditutup saja. Di sini tidak lazim membuka
pintu lama-lama." Seru Linda dari kamarnya yang hanya berjarak beberapa
meter dari tempat Zul berdiri.
Secara reflek Zul menengok ke arah
suara. Pintu kamar Linda terbuka lebar dan Linda merebahkan tubuhnya
begitu saja di tempat tidurnya, dengan sepatu hak tingginya masih
terpasang di kedua kakinya. Zul merasakan getaran dalam dadanya. Ia
langsung menutup pintu dan bergegas masuk ke dalam kamarnya.
Sementara
Iin dan Sumi masih berjalan ke arah hentian bus. Dalam hati Iin
memanjatkan doa agar Linda kembali ke jalan yang benar. Ada yang meleleh
dari kedua matanya yang berkaca-kaca. la sangat sayang pada gadis
cantik—yang sudah tidak gadis lagi—itu. la ingat bagaimana awal
perjumpaannya dengan Linda di pagi yang cerah di KBRI Kuala Lumpur.
Linda yang berwajah Indo itu memperkenalkan diri sebagai karyawati
sebuah kantor maskapai penerbangan di Kuala Lumpur. Pagi itu Linda ada
sedikit urusan di bagian konsuler. la tidak menanyakan detil urusan
Linda sebenarnya. la sendiri punya urusan yang membuatnya pusing,
gajinya selama lima bulan tidak dibayar oleh majikan. la hendak
melaporkan hal itu ke pihak KBRI.
Dari yang tak lebih dari dua puluh
menit itu ia tahu Linda memiliki cita-cita yang tinggi. Linda bercerita
tentang keinginannya melanjutkan kuliah sampai S.3 di negeri tempat ia
dilahirkan, yaitu Belanda.
"Saya harus cari uang dulu. Ibu saya tidak
mungkin membiayai saya kuliah. Ayah saya, saya tidak mengenalnya sejak
kecil. Ibu hanya cerita ia orang Belanda dan sudah menikah lagi di sana.
Sudah jadi orang penting di Belanda. Ibu saya tidak meridhai jika saya
minta uang sepeser pun pada ayah saya. Kata ibu saya, saya boleh ke
Belanda, tapi tidak boleh mengemis pada ayah saya, atau keluarga ayah
saya. Ibu saya sangat dendam pada ayah saya, dan dendamnya itu telah
diwariskan pada saya. Saya tidak akan menceritakan perihal dendam itu.
Pokoknya
dendam yang sangat menyakitkan. Intinya ayah saya pernah memperlakukan
ibu saya dengan sangat tidak manusiawi di Belanda. Dan itu saat
mengandung saya.
"Ya alhamdulillah, berkat peluh dan keringat ibu
saya, akhirnya saya bisa selesai kuliah di Jakarta dan langsung mendapat
pekerjaan. Sekarang saya bisa kerja di Kuala Lumpur ini dengan gaji
yang lumayan. Saya akan menabung. Kalau bisa saya akan lanjut kuliah S.2
di sini baru nanti S.3 di Belanda. Jika saya sudah sukses, kaya dan
bermartabat, saya akan ajak ibu saya menemui ayah saya dengan kepala
tegak. Bahkan saya bercitacita harus kaya hingga saya nanti bisa punya
perusahaan besar di Belanda. Harus lebih kaya dari Mr. Van Braskamp.
"Van
Braskamp itulah nama ayah saya. Dia seorang Belanda. Tapi saya sama
sekali tidak kenal budaya Belanda. Saya sejak umur dua tahun sudah di
Sunda. Hidup bersama kakek dan nenek saya. Ayah saya tidak meninggalkan
apa-apa kepada saya kecuali warna kulitnya yang membuat saya lebih putih
dari ibu saya. Itu saja. Tapi saya akan membuktikan pada ayah saya itu,
suatu saat saya bisa lebih terhormat dari ayah saya di negeri ayah
saya. Itulah cita-cita saya Mbak Iin. Kalau Mbak Iin punya cita-cita
apa? Untuk apa kerja di Malaysia ini?"
Iin masih ingat saat itu ia hanya menggelengkan kepala lalu menjawab,
"Saya
tidak punya cita-cita yang tinggi seperti Dik Linda. Saya hanya ingin
dapat uang. Bisa membiayai suami saya yang sedang sakit dan bisa
membiayai dua anak saya yang masih kecil-kecil yang sekarang diasuh oleh
adik saya. Itu saja. Juga punya tabungan untuk buka warung di kampung.
Itu saja Dik Linda."
Saat itu Linda tersenyum dan mengangkat kedua tangannya seraya berdoa, "Semoga cita-cita Mbak Iin dikabulkan oleh Allah. Amin."
Dalam hati ia ikut mengamini.
Di pertemuan yang singkat itu, ia sempat bertukar nomor hand phone dengan Linda. Linda yang memberi nomornya dulu.
"Mbak ini nomor hope saya. Siapa tahu Mbak atau teman Mbak ada yang ingin pulang liburan. Bisa pesan tiketkesaya."
Sejak itulah ia sering berkomunikasi dengan Linda.
Beberapa
kali ia bertemu dengan Linda tanpa sengaja di Menara Kembar Petronas
KLCC. Seringkali Linda mentraktirnya makan. Selesai makan biasanya
mengajak shalat di surau yang ada di sana. Ia melihat Linda begitu
agamis. Dan dalam balutan jilbab muka Indo itu bagai bidadari surga yang
turun ke bumi. Ia sangat takjub pada keelokan dan kebaikan Linda. Dari
rasa takjub itulah rasa sayangnya pada Linda terbit.
Sejak kenal
dengan Linda, ia sering membayangkan alangkah enaknya bisa kerja seperti
Linda. Duduk tenang di kantor yang ber-AC dengan bayaran yang tinggi.
Kerjanya
cuma mengangkat telpon. Lihat layar komputer. Dan nulis nota. Tidak
seperti dirinya yang harus kerja di Warung Runcit6 dengan majikan yang
kasar dan pelit. Itulah yang ia pikirkan pada waktu itu. Dan ia merasa
alangkah beruntungnya Linda. Cantik, pintar, masih sangat muda, dan
berpenghasilan tinggi.
Tapi ia segera menyadari siapakah dirinya dan
siapakah Linda. Dirinya tak lebih hanya lulusan MTs dengan penampilan
sangat biasa, sementara Linda sudah sarjana dan cantik pula. Pekerjaan
kantor sepertinya tidak boleh dikerjakan oleh orang desa—dengan wajah
pas-pasan— yang hanya lulusan MTs seperti dirinya.
Tapi jika melihat
kehidupan Linda saat ini, ia yang hanya orang desa dan cuma lulusan MTs
seperti dirinya merasa lebih bahagia daripada Linda. Buat apa pandai,
sarjana dan cantik jika hanya menjadi budak nafsu dan setan. Dan hidup
dalam lembah kehinaan.
Baginya, sebagai wanita, kehormatan diri dan
kesucian diri adalah harta paling berharga setelah iman kepada Tuhan
Yang Mahakuasa. Entah sudah berapa kali ia berusaha mengingatkan Linda,
baik dengan cara yang paling halus maupun cara yang sangat
terangterangan. Baik dengan sindiran maupun ancaman siksa neraka
jahanam. Tapi ia melihat Linda sama sekali tidak ada perubahan. Bahkan
shalat pun sudah ia tinggalkan.
Ia sudah jarang melihat wajah
blesteran Sunda Belanda itu berbalut mukena putih. Ia merasa bidadari
surga yang turun ke bumi itu telah hilang.
Jika menghayati apa yang
terjadi pada Linda, hatinya sering miris dan merinding. Betapa
berbedanya Linda yang dulu dengan sekarang. Alangkah mudahnya ketakwaan
itu sirna dan iman itu hilang lenyap di akhir zaman seperti sekarang.
Tidak sedikit orang yang dulu dikenal karena ketakwaannya tiba-tiba
dalam waktu tak lama dikenal karena kedurhakaannya.
"Na'udzubillahi
min dzalik. Ya Rabbi, jauhkanlah hamba dari itu semua. Jangan Kaubiarkan
iman ini lepas dari hati hamba sedetik pun." Doanya dalam hati sambil
mengusap airmatanya.
"Kenapa menangis Mbak Iin?" tanya Sumiyati.
"Tidak apa-apa. Aku hanya kasihan sama Linda.
Jauh-jauh
merantau ke sini, siang malam hanya untuk menjual kehormatan dan
bermaksiat. Kalau tidak mau bertaubat sungguh kasihan. Rugi di dunia,
rugi di akhirat."
"Iya Mbak. Aku masih ingat awal-awal Linda hidup
bersama kita, ia masih shalat dan masih mau membaca Yasin. Tapi sekarang
sepertinya dia tidak memiliki Tuhan."
"Hus. Jangan bilang begitu
Sum!" bentak Iin, "Semoga saja semaksiat-maksiatnya Linda, dia masih
mengakui Allah sebagai Tuhannya," lanjutnya.
"Semoga saja Mbak. Hidup
di perantauan seperti kita ini memang tidak mudah. Keimanan kita
benar-benar dipertaruhkan. Mbak tolong doakan saya ya. Itu, si Karan
kawan kerja saya di restoran sering menggoda saya. Saya takut tergoda
Mbak."
"Kau harus kuat Sum. Imanmu harus terus kaupupuk. Kita harus
sating menguatkan dan mengingatkan. Kita harus sating mengingatkan bahwa
perzinahan itu termasuk dosa besar. Dan sekali orang berzina, orang itu
akan sulit lepas dari belenggu dosa itu. Sangat memungkinkan ia akan
melakukan yang kedua, ketiga dan seterusnya. Dan itulah yang dikehendaki
setan. Jangan kita biarkan diri kita terperangkap oleh kesempatan
melakukan dosa besar itu. Sebisa mungkin kesempatan itu jangan dibiarkan
ada. Aku sendiri Sum, aku mengakui diriku tidak cantik. Tetapi aku juga
mengalami apa yang kaualami. Banyak yang menggoda. Tapi aku berusaha
untuk kuat dan berusaha menjaga agar jangan sampai setan menciptakan
kesempatan melakukan perbuatan dosa besar itu. Sebab, jika kesempatan
itu tercipta, aku kuatir imanku tidak kuat untuk mencegahnya. Di antara
caraku menjaga diri adalah dengan tidak pernah meladeni segala bentuk
keisengan mereka yang menggodaku. Termasuk SMS yang hanya iseng. Aku
selalu berangkat tepat waktu dan begitu saatnya pulang aku langsung
pulang. Tidak berlama-lama ngobrol di tempat kerja."
"Gitu Mbak ya?"
"Iya."
"Wah, untung Mbak kasih tahu. Si Karan itu inginnya ngajak ngobrol terus selesai kerja. Ia bahkan sering ngajak nonton film."
"Kalau ingin selamat, jangan kautanggapi sedikit pun."
"Iya Mbak."
"Linda
pernah cerita, ia menjadi seperti sekarang ini bermula dari menanggapi
SMS iseng teman kerjanya, seorang pria muda asal Singapura."
"Cerita detilnya bagaimana Mbak?"
"Aku
juga tidak tahu Sum. Linda hanya pernah menyinggung bahwa semuanya
bermula dari SMS iseng seorang teman kerja asal Singapura. Seorang pria
muda yang menawan. Itu saja."
"Eh Mbak itu busnya datang. Ayo cepat!" teriak Sumiyati.
"Wah iya Sum, itu bus kita! Sahut Iin dengan mata berbinar.
Mereka
berdua langsung mempercepat langkah. Bus Rapid KL semakin mendekat,
merapat di halte, lalu menurunkan dan menaikkan penumpang. Kedua
perempuan itu mengejar dengan setengah berlari, takut ketinggalan.
* * *
Zul
tidur di kamarnya, yang tak lain adalah kamar Mari. Kedua matanya
memandang langit-langit kamar yang berwarna putih bersih. Sementara
pikirannya melayang ke mana-mana. Melayang ke perjalanan dari Batam
hingga ketemu Mari. Dan sampai di rumah yang sama sekali tidak pernah ia
bayangkan sebelumnya. Ia masih juga berpikir apa yang harus ia lakukan
siang itu.
Apakah tetap diam di rumah itu menunggu Mari pulang.
Sehingga
ia bisa mendapat informasi dari Mari. Ataukah ia nekat saja pergi dari
rumah itu. Kenapa ia mesti menunggu informasi dari Mari. Bukankah ia
bisa nekat, sebagaimana selama ini ia selalu nekat. Dan bukankah
sebenarnya ia pergi ke Malaysia juga berbekal nekat.
Kalau ia nekat
pergi dari rumah itu, siang itu juga, lalu ia mau pergi ke mana? Ia
tidak hafal Kuala Lumpur dan sekitarnya. Apa asal pergi saja. Yang
penting jalan.
Seperti waktu ia dulu nekat ke Jakarta. Tapi ia nyaris
mari di Jakarta karena dikeroyok berandalan jalanan. Apa ia akan
mengulangi nasib yang sama. Dan jika ia nekat, berapa lama ia akan bisa
bertahan? Uang yang ia bawa sangat pas-pasan. Tak lebih dari seratus
lima puluh ringgit. Berapa lama ia bisa bertahan dengan seratus lima
puluh ringgit?
Ia lalu berpikir realistis, apa salahnya menunggu Mari
pulang. Ia bisa dapat informasi yang lebih jelas. Mungkin informasi ada
pekerjaan yang membuatnya bisa bertahan bahkan bisa memperbaiki nasib.
Apa salahnya menunggu sampai sore hari. Ia bisa tidur seharian di kamar
itu dengan pintu terkunci. Toh di kamar
itu ada kamar mandi dan WC-nya. Ia tidak perlu keluar.
Juga,
tidak baik rasanya meninggalkan rumah itu tanpa terlebih dulu pamitan
pada Mari, yang begitu baik padanya. Ia akhirnya mantap untuk tetap di
rumah itu siang itu, sampai Mari pulang. Jika Mari pulang dan ia telah
mendapatkan informasi dan petunjuk yang mungkin sangat penting baginya,
maka ia bisa pergi.
Zul mencoba berkonsentrasi memejamkan kedua
matanya, ia ingin tidur lagi. Namun konsentrasinya buyar begitu telinga
mendengar suara orang mandi. Ia langsung yakin yang mandi itu adalah
Linda. Sejurus kemudian ia mendengar televisi dinyalakan. Ia lalu
mendengar lagu-lagu India dibunyikan dengan sedikit keras. Ia
benar-benar tidak bisa memejamkan kedua matanya.
Ia lalu bangkit dari
kasur. Ia yakin tidak bisa tidur. Ia lalu melihat-melihat isi kamar
itu, ia mencari sesuatu yang bisa dibacanya. Di samping meja rias ia
melihat setumpuk majalah dan koran. Juga ada beberapa buku.
Ia lihat
buku-buku itu. Buku-buku ekonomi berbahasa Inggris. Ia ambil satu.
Judulnya International Monetary and Financial Economics. Ia buka buku
itu. Di halaman paling depan ia menemukan nama pemilik buku itu tertulis
dengan tinta biru. Liew Su Ying. Nama China.
Di bawah buku itu ada
buku bersampul biru tua. Ia ambil. Terbitan Oxford University Press.
Judulnya Game Theory with Applications to Economics. Ia
menggelenggelengkan kepala. Orang yang bisa memahami buku seperti itu
pastilah bahasa Inggrisnya mantap. Ia buka halaman depan. Nama pemilik
buku dan tanda tangannya tertulis di situ. Laila Binti Abdul Majid,
TTDI, Kuala Lumpur. Ia yakin itu nama perempuan Melayu.
Ia jadi
bertanya-tanya, kenapa buku ekonomi seperti itu bisa ada di dalam kamar
Mari dan Iin? Siapakah yang selama ini membaca buku itu? Mari kah? Atau
Iin kah?
Apakah mungkin mereka berdua bisa memahami buku berbahasa
Inggris? Tiba-tiba ia tersenyum, mengapa ia bisa sebodoh itu. Bisa jadi
orang China yang namanya tertulis sebagai pemilik buku itu adalah orang
yang memiliki rumah ini. Bukankah ini rumah sewa? Dan bukankah Mari
mengatakan pemiliknya adalah orang China? Ia menduga pemiliknya adalah
orang China yang menikah dengan perempuan Melayu.
Sangat mungkin,
pemilik rumah itu tidak mengemasi bukunya dan membiarkan buku-bukunya
tergeletak begitu saja di kamar itu. Lalu Mari dan Iin menatanya jadi
satu dengan majalah dan koran di samping meja rias. Atau entahlah, yang
jelas ia menafikan jika yang punya dan yang membaca buku-buku ekonomi
berbahasa Inggris itu adalah Mari atau Iin. Melihat tampang dan
penampilan mereka sangat meragukan, dan sangat tidak meyakinkan.
la
lalu melihat-lihat beberapa majalah. Ada yang terbitan Indonesia,
Malaysia, Singapura dan bahkan Hongkong. la mengambil yang terbitan
Indonesia. la bawa ke kasur. la baca sambil tiduran. Tak berapa lama
kemudian ia merasa mengantuk. Entah kenapa setiap kali ia membaca rasa
kantuk itu menyerang dengan cepat. Saat ia berada di antara sadar dan
tidak sadar karena mulai masuk ridur, sayup-sayup ia mendengar pintu
kamarnya diketuk beberapa kali. Ia tidak jadi memejamkan mata.
"Mas! Mas! Halloo! Buka dong!"
Itu jelas suara Linda.
"Iya. Sebentar!" sahutnya sambil bangkit menuju pintu.
Begitu
pintu ia buka, tampaklah wajah Linda yang sangat berbeda dengan wajah
yang tadi ia lihat saat Linda baru datang. Wajah Linda yang ada di
hadapannya tampak segar, dan menawan. Linda menyungging senyum yang
membuat dadanya berdesir. Ia sepertinya belum pernah melihat pesona
sesegar wajah Indo yang ada di hadapannya.
"Hallo Mas, maaf
mengganggu. Tadi kita belum kenalan. Kenalkan namaku Linda. Lengkapnya
Linda Van Braskamp. Aku kerja di sebuah hotel berbintang di Kuala
Lumpur." Sapa Linda sambil mengacungkan tangan kanannya mengajak
berjabat tangan. Zul langsung menjabat tangan itu sambil memperkenalkan
dirinya,
"E... nama saya Ahmad Zul. Saya berasal dari Demak. Mbak Linda orang Belanda ya?"
"Ya.
Ada darah Belanda. Tepatnya blesteran Sunda- Belanda. Tapi aku tetap
merasa sebagai orang Indonesia. O ya kapan Mas Zul sampai?"
"Tadi malam."
"Berarti bareng Mbak Mar?"
"Ya."
"Tadi Mbak Iin cerita, Mas adiknya Mbak Iin, benar?"
Zul tersenyum mendengarnya, ia lalu menjawab,
"Dikatakan adiknya Mbak Iinjuga boleh."
"Lho kok gitu. Kok ada juga bolehnya. Jadi sebenarnya bukan adiknya Mbak Iin?"
"Ah itu tidak penting. Tadi baru pulang kerja ya?"
"Iya saat ini aku kena sif malam. Jadi manusia kelelawar. Malam jadwalnya kerja, siang jadwalnya istirahat."
"Jadi siang ini mau di rumah saja?"
"Lha
iya lah. Kan harus istirahat. Tapi aku lapar sekali. Mau keluar cari
makanan rasanya malas sekali. Aku tengok di dapur ada nasi goreng. Itu
pasti disedikan untuk Mas Zul. Boleh saya minta sedikit Mas. Atau kita
makan bareng. Bagaimana? Mas Zul belum sarapan kan?"
"Belum."
"Ayo kalau begitu kita makan bersama. Kita makan di ruang tamu saja. Sambil ngobrol. Oh ya Mas Zul mau minum apa? Aku bikinkan."
"Teh panas boleh."
"Baik. Mas Zul tunggu di ruang tamu saja ya, sambil nonton televisi."
"Baik."
Linda
ke dapur membuat minuman dan mengambil makanan. Zul melangkah ke ruang
tamu lalu duduk di sofa sambil membaca majalah yang tadi ia baca. Tak
lama kemudian Linda muncul dengan membawa nampan berisi dua piring nasi
goreng dan dua gelas teh manis. Zul mendongakkan muka dan melihat ke
arah Linda yang datang. Barulah ia memperhatikan pakaian yang dipakai
Linda, yang tadi tidak ia perhatikan. Linda memakai gaun yang hanya
pantas dipakai di kamar tidurnya saja. Zul seperti terpaku dan
terbelenggu di tempat duduknya. Tubuhnya terasa kaku.
Linda
meletakkan nampan di meja dan langsung duduk di samping Zul. Bau wangi
parfum Linda tercium jelas oleh hidung Zul. Zul tidak bisa konsentrasi
makan, ia masih menata pikirannya yang ia rasakan mulai kacau.
"Kok bengong saja Mas. Ayo dimakan. Tadi nasinya sudah saya hangatkan. Kalau dingin tidak enak."
"E... iya Mbak."
Zul mengambil piring berisi nasi goreng dan mulai menyantapnya pelan-pelan. Ia masih terus berjuang menata kembali pikirannya.
"Rencana
siang ini Mas Zul mau ke mana? Kalau tidak ada rencana, di rumah saja
menemani aku. Aku bawa film Hollywood terbaru. Kita nonton berdua saja
di rumah. Kalau nonton film sendirian rasanya tidak seru."
"Saya belum ada rencana. Tidak tahulah. Saya sebenarnya ingin jalan-jalan."
"Sebenarnya
aku ingin sekali nemani jalan-jalan. Tapi kurasa, aku harus istirahat
dan nyantai di rumah. Kalau Mas mau jalan-jalan sendiri tidak apa-apa.
Kebetulan aku ada kunci dobel. Sebentar ya."
Linda menghentikan makannya dan beranjak ke kamarnya. Lalu keluar dengan membawa kunci.
"Ini
bawa saja. Yang ini kunci gembok pintu besi dan yang ini kunci pintu.
Kalau Mas keluar dan saat pulang aku sedang tidur tidak perlu
membangunkan aku. Bawa saja kunci ini selama Mas di sini."
"Terima kasih."
"O ya ngomong-ngomong Mas mau kerja di mana?
Sudah ada agen yang mengatur?"
"Belum tahu. Masih mencari."
"O
jadi belum dapat kerja. Begini Mas, ini kalau Mas mau. Bagaimana kalau
kerja di hotel tempat aku kerja. Tapi kerjanya malam sih. Kalau mau,
bisa aku coba hubungkan ke pihak personalia. Aku kenal baik dengan
penanggung jawabnya. Gajinya lumayan kok. Bagaimana?"
"Nanti saya pikirkan."
"Sejak
jumpa pertama kali tadi, kulihat Mas memang banyak berpikir dan
merenung. Jangan terlalu dibuat serius hidup ini Mas, cepat tua nanti.
Itu Mbak Mar, coba nanti kalau ketemu kauamati dia baik-baik, karena ia
juga terlalu serius memikirkan hidup jadi kelihatan jauh lebih tua dari
umurnya. Padahal ia hanya selisih satu tahun saja dariku."
"Benarkah?"
"Serius.
Mbak Mar itu terlalu banyak mikir. Semuanya dia pikir. Mau makan saja
dia mikir, ini halal tidak, haram tidak. Kalau aku sih selama enak
kenapa tidak? Sekarang aku menemukan agama baru. "
"Agama baru?"
"Ya.
Aku kasih nama agama enak. Pokoknya segala yang enak-enak itu jadi
ajarannya. Itulah agamaku sekarang. Tuhannya adalah Tuhan yang maha
membebaskan manusia untuk berenak-enak."
"Astaghfirullah. Meskipun yang kelihatannya enak itu dilarang agama."
"Agama
yang mana? Kalau agamaku tadi ya jelas tidak melarang. Kalau agama
Islam seperti agamamu, aku yakin kau Islam, ya aku tidak tahu."
"Wah itu namanya agama hawa nafsu."
"Terserah, aku tidak peduli. Yang jelas aku merasa enak, merasa bebas, merasa merdeka."
"Kalau di KTP apa agamamu?"
"Ya Islam."
"Lho kok Islam?"
"Ya
untuk formalitas saja. Biar tidak membuat sedih banyak orang. Termasuk
kakek dan nenek saya yang sangat fanatik dengan agama Islamnya."
"Itu berarti kamu munafik."
"Kalau munafik itu enak kenapa tidak?"
Zul jadi pusing memikirkan makhluk di hadapannya.
la tidak mengira akan pernah menjumpai manusia seperti itu dengan cara berpikir seperti itu.
"Baiklah
Mas, saya akan cerita sedikit tentang pekerjaan saya. Daripada nanti
Mas mendengar cerita yang sinis dari orang lain. Lebih baik Mas langsung
mendengar dari saya. Lebih baik saya jujur daripada saya disebut
munafik lagi. Sudah saya katakan agama saya adalah agama enak. Pokoknya
yang enak-enak itulah inti ajarannya. Maka saya cari profesi adalah juga
profesi yang menurut saya paling enak. Dalam ajaran agama saya, profesi
saya tidaklah sebuah kejahatan. Tapi di agama lain bisa jadi profesi
saya disebut sebuah kejahatan bahkan dosa besar. Aku tak peduli, aku
punya agama sendiri.
"Profesi saya adalah menyenangkan orang-orang penting. Orang-orang yang memerlukan hiburan.
Pekerjaan
saya adalah menghiburnya. Tapi orang-orang awam menyebut orang seperti
saya ini sebagai pelacur. Ada juga yang menyebut sebagai perempuan
sundal. Macammacamlah sebutannya. Tapi saya, berpegang pada keyakinan
saya, maka saya menyebut diri saya adalah seniwati. Saya menjual jasa.
Dan jasa saya adalah seni dan keindahan. Itulah saya Mas. Bagaimana
menurut Mas?"
"Aku hanya merasa kasihan padamu?"
"Kasihan, kenapa kasihan?"
"Entahlah,
hanya merasa kasihan saja. Aku ini orang awam juga. Tidak tahu apa-apa.
Agama juga tidak tahu. Hanya mendengar apa yang kaukatakan nuraniku
mengatakan orang seperti kamu ini sebenarnya bukan hidup enak dan hidup
senang. Tapi hidup dalam keadaan sangat memprihatinkan. Dan perlu
dikasihani."
"O ya?"
"Terserah. Cuma aku yakin, yang tadi bicara
bukan nuranimu tapi nafsumu. Nanti suatu ketika saat engkau menderita
sakit, coba aku ingin dengar apa yang akan kaukatakan dan kauucapkan?"
"Kau ini jahat. Masak berharap aku sakit dan menderita."
"Kau
salah sangka. Sama sekali aku tidak berharap. Tapi manusia yang normal
terkadang ada saatnya sakit juga. Saat sakit itulah manusia lebih banyak
berbicara dengan nuraninya daripada dengan nafsunya. Lha saya ingin
tahu apa yang akan kaukatakan saat kau dalam keadaan seperti itu. Apakah
berarti saat kau sakit kau sudah tidak beragama lagi. Karena rasa enak
itu sudah tidak ada lagi. Atau bagaimana?"
"Saya akan bertahan dengan agama saya. Saya yakin dengan temuan saya."
"Yah kalau begitu, bagimu agamamu dan bagiku
agamaku."
* * *
Part Empat
Selesai
makan Zul memutuskan untuk jalan-jalan ke pusat kota. la merasa imannya
tidak kuat jika di rumah itu terus, dan berduaan dengan Linda. la
menyadari dirinya hanyalah pemuda biasa yang masih lemah imannya. Yang
masih sering kalah melawan hawa nafsunya sendiri. Tingkat ketakwaannya
belumlah sampai pada tingkatan Nabi Yusuf yang mampu menepis godaan
Zulaikha. la merasa setan yang ada dalam dirinya lebih kuat dari
dirinya. Maka ia harus mengambil tindakan penyelamatan dan waspada. Ia
tidak ingin membuat dirinya celaka. Ia baru sampai di negeri orang. Mau
tinggal di mana saja belum jelas.
Pekerjaan juga belum jelas.
Melangkahkan kaki mau ke mana saja belum jelas. Maka ia tidak mau
terjebak dalam situasi yang mengakibatkan penyesalan. Ia teringat pesan
Mar saat menyebut nama Linda pertama kalinya, "Linda ini belum bersuami
dan cantik. Kau hati-hati jangan sampai ada apa-apa dengan dia ya.
Jangan membuat masalah di negeri orang. Awas ya, kau harus jaga iman
kalau berhadapan dengannya!"
Tak ada jalan lain baginya kecuali pergi
dan menjauh dari sumber petaka. Api jika tidak bisa dilawan dan
dipadamkan maka jalan selamat adalah lari menjauh dari api itu. Jika
tidak maka api itu akan membakar dan menghancurkan.
"Maaf Mbak Linda,
rasanya saya harus keluar jalanjalan. Saya ingin melihat-lihat suasana.
Bosan di rumah terus. Nanti malam habis Maghrib mungkin saya datang
lagi. Tas danbarang-barang saya masih di kamar," kata Zul pada Linda.
"O ya. Hati-hati di jalan. Sudah bawa paspornya?" sahut Linda
"Sudah. Kalau mau ke pusat kota Kuala Lumpur naik apa ya?"
"Tadi malam datang pakai apa?"
"Bus "
"Rapid KL ya?"
"Iya."
"Kalau begitu naik saja dari tempat kau tadi malam turun dan naik bus yang sama."
"Baik. Terima kasih. Salam buat Mbak Mar, Mbak Iin, dan Mbak Sumiyati."
"Baik. Kalau ada apa-apa bisa telpon kami ya. Sudah tahu nomor hp saya?"
"Belum."
"Kalau nomor Mbak Mar sudah tahu?"
"Sudah."
"Ya sudah. Itu cukup."
"Sekali lagi terima kasih. Saya pergi dulu."
"Ya, sekali lagi hati-hati di jalan. Jangan sampai tidur di bus ya," canda Linda.
Zul
menjawab dengan senyum lalu beranjak meninggalkan Linda sendirian. Ia
pergi hanya membawa tas cangklong hitam berisi map dokumen-dokumennya,
sepotong sarung, dan kaos panjang. Itu saja. Ia merasa mantap. Jika ia
bisa menaklukkan Jakarta dan Batam, maka ia sangat yakin ia pun bisa
menaklukkan Kuala Lumpur. Sepintas ketika ia tiba di Purduraya, ia
melihat suasana terminal bus paling padat di Kuala Lumpur itu tidak
seganas Pulogadung dan Kampung Rambutan Jakarta. Ia pernah berkelahi
dengan preman Pulogadung dan tetap bisa hidup. Ia juga pernah ditodong
preman Kampung Rambutan dan bisa lolos. Jika ia terpaksa harus bertemu
dengan preman Kuala Lumpur ia merasa tak perlu gentar. Orang Demak tidak
boleh gentar berhadapan dengan situasi apapun juga.
Dari Subang Jaya
ia naik bus Rapid KL ke terminal KL Sentral. Di KL Sentral ia sempat
bingung mau ke mana. Ia berinisiatif untuk mencoba menghubungi lagi nama
yang diberi oleh Pak Hasan sekali lagi. Setelah bertanya kepada seorang
lelaki India ia menemukan telpon umum. Dari telpon umum ia menghubungi
dan masuk. Ia sangat berbahagia seperti mendapatkan rejeki nomplok yang
tiada terkira jumlahnya.
"Ini Pak Rusli ya?" tanyanya.
"Iya benar. Ini siape?"
"Saya Zul Pak. Saya mendapat nama dan nomor
Bapak dari Pak Hasan Batam."
"O ya ya. Pak Hasan sehat ya?"
"Alhamdulillah
Pak. Bagaimana caranya saya bisa bertemu Bapak? Saya baru datang tadi
malam dan tidak banyak tahu tentang Kuala Lumpur. Terus terang saya
perlu sedikit bantuan Bapak."
"Sudah menjadi kewajiban saya untuk membantu Saudara. Adik sekarang di mana?"
"Di KL Sentral Pak."
"Begini
saja Dik. Dari KL Sentra adik naik KTM ke Stesyen Mad Valley. Saya
jemput di sana. Baru nanti kira bicarakan segalanya dengan lebih
leluasa."
"Apa tadi Pak, KTM ya?"
"Ya KTM, atau kereta listrik. Ingat ke Mad Valley! Turun di Mad Valley. Saya memakai baju koko hijau lumut."
"Baik Pak. Terima kasih."
Tidak
sulit baginya untuk naik KTM dan tidak sulit untuk mencapai Mad Valley.
Siang itu, ia merasa bahagia, sebab disambut dengan hangat oleh Pak
Rusli, yang tak lain adalah seorang murid Pak Hasan saat belajar di
Padang. Pak Hasan pernah mengajar di sebuah pesantren di Padang sebelum
berdakwah di Batam. Pak Rusli mengajaknya makan siang di restoran Saji
Selera yang letaknya tak jauh dari Mad Valley Plaza.
"Jadi yang mendorong adik ke Kuala Lumpur ini Pak Hasan?"
"Iya Pak."
"Itu
maknanya adik diminta untuk belajar. Menuntut ilmu. Saya tahu persis
siapa Pak Hasan. Tapi adik tidak akan bisa melanjutkan studi di sini,
kalau tidak dengan bekerja. Dari mana uang untuk membayar kuliah kalau
tidak dicari dengan bekerja? Iya kan?"
"Iya Pak."
"Jangan kuatir.
Di sini banyak kok mahasiswa yang kuliah sambil bekerja. Nanti kau akan
aku temukan dengan mereka. Insya Allah mereka akan banyak membantu.
Terutama berkenaan dengan urusan pendaftaran di kampus. O ya kaubawa
ijazah kan?"
"Bawa Pak."
"Dulu kuliah di mana?"
"Di IKIP PGRI Semarang Pak."
"Jurusan apa?"
"Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Pak."
"Ya ya ya. Gampang nanti bisa diatur untuk dicarikan jurusan yang pas. Yang penting kau serius lanjut kuliah kan?"
"Iya Pak."
"Bagus. Pak Hasan itu sebenarnya mendorongmu untuk memiliki modal paling mahal untuk sukses dan jaya."
"Apa itu Pak?"
"Ilmu.
Hanya orang-orang berilmulah yang akan diangkat derajatnya oleh Allah.
Banyak orang tidak berilmu kaya, namun derajatnya tidak diangkat oleh
Allah. Tidak sedikit orang kaya yang jadi hina karena kekayaannya. Sebab
ia tidak memiliki ilmu bagaimana menjadikan kekayaannya sebagai jalan
beribadah dan menggapai kemuliaan. Setelah ini kau akan aku bawa ke
rumah teman-teman mahasiswa. Agar kau kembali hidup dalam barakah
lingkungan para penuntut ilmu."
"Iya Pak."
Berulang kali Zul hanya menjawab: Iya Pak, iya Pak.
Agaknya Pak Rusli memperhatikan jawaban Zul.
"Kamu ini dari tadi kok cuma bilang; Iya Pak, Iya Pak. Jawa betul kamu ini. Apa tidak ada kata-kata yang lain?"
"Mmm, aduh bagaimana Pak ya?"
"Sudah jangan dipikirkan. Ini hanya gurauan saja. Ayo kita jalan."
"Iya Pak."
"Lha diulang lagi kan!" Seru Pak Rusli sambil tersenyum lebar.
Zul
langsung meringis. Ia jadi heran sendiri, kenapa terus mengulang-ulang
kata-kata itu pada Pak Rusli. Namun suasana jadi sangat cair. Sikap Pak
Rusli yang low profile membuatnya seolah sudah lama mengenal lelaki
berumur empat puluhan itu. Padahal belum ada tiga jam ia bertemu
dengannya.
Keluar dari Saji Selera, Pak Rusli membawanya masuk kampus
Universiti Malaya. Zul terkagum-kagum dengan keindahan dan kerapian
kampus perguruan tinggi tertua di Malaysia itu.
"Universiti ini masuk
dalam jajaran 100 perguruan tinggi terbaik dunia. Kau harus tahu itu.
Semoga saja kau nanti diterima lanjut S.2 di sini. Aku yakin orang
seperti kau akan meraih kecemerlangan di masa yang akan datang." Ujar
Pak Rusli menyemangati.
"Doanya Pak."
"Allah memberkati, insya Allah."
Setelah
mengelilingi kampus Universiti Malaya, Pak Rusli mengajak Zul shalat
Ashar di masjid Akademi Pengajian Islam. Setelah itu langsung memacu
mobilnya ke kawasan Pantai Dalam. Setelah keluar dari kawasan kampus UM,
di sepanjang perjalanan, tepatnya di samping kiri, Zul melihat rel KTM.
Sesekali ia berpapasan dengan KTM yang melaju ke arah KL Sentral.
Sepuluh menit kemudian Pak Rusli memperlambat laju mobilnya.
Mobil
itu memasuki daerah yang terkesan agak kumuh. Setelah melewati jalan di
bawah jembatan layang, mobil itu belok kanan. Di hadapan Zul tampak
apartemen putih yang tinggi dan kusam.
"Inilah Pantai Dalam, banyak mahasiswa Indonesia di sini. Kita akan berkunjung ke rumah salah seorang di an tar a mereka."
Mereka
berdua turun dari mobil dan bergegas ke arah apartemen. Di tengah jalan
mereka bertemu dengan anak muda yang gayanya khas Indonesia.
"Assalamu'alaikum. Geng, mau ke mana?" sapa Pak Rusli
"Anu Pak mau beli minyak goreng," jawab anak muda itu.
"Geng, kenalkan ini namanya Zul. Dari Demak. la baru datang tadi malam," kata Pak Rusli memperkenalkan.
Anak muda itu langsung menyalami Zul sambil memperkenalkan diri,
"Saya Sugeng, dari Purworejo Jawa Tengah. Selamat datang di Kuala Lumpur Mas."
"Iya Mas. Terima kasih," jawab Zul.
"Namanya Zul ya? Zul siapa lengkapnya?" tanya Sugeng lagi.
"Aslinya Ahmad Zul. Tapi teman-teman di SMA sering memanggil Zul Einstein."
"Zul Einstein. Wah keren juga. Rencana mau masuk UM?"
"Jika Allah mengijinkan."
"Nanti saya bantu, insya Allah."
"Terima kasih Mas Sugeng."
"Pak
Rusli saya jalan dulu ya. Saya cuma sebentar kok. Langsung ke rumah
saja Pak. Di rumah ada si Arif sama si Yahya," terang Sugeng.
"Baik Geng. Jangan lupa beli yang segar-segar ya," tukas Pak Rusli renyah.
"Beres Pak. O ya Pak jangan lupa lagi. Lantai sepuluh Iho. Bukan lantai sembilan."
"O ya terima kasih. Namanya juga sudah tua sering lupa. Ayo Zul kita jalan."
Pak
Rusli dan Zul berjalan melewati samping apartemen menuju apartemen
berikutnya. Lalu masuk lift yang mengantarkan mereka berdua sampai
lantai sepuluh. Keluar dari lift mereka berjalan ke arah kanan. Di pintu
flat tempat tinggal Sugeng dan teman-temannya itu ada sriker bendera
merah putih. Di bawahnya ada tulisan: "Rawe-rawe rantas, malang-malang
putung!" Menandakan bahwa mayoritas penghuninya adalah orang Indonesia
dari Jawa.
Pak Rusli mengetuk pintu dan dibukakan oleh seorang pemuda
gempal berambut tipis. la hanya memakai sarung dan kaos putih. Pemuda
itu menyambut dengan senyum
"O Pak Rusli. Silakan Pak."
Pak Rusli dan Zul masuk. Pemuda itu memperkenalkan diri pada Zul. Namanya Yahya. Ia berasal dari Malang.
"Tesisnya bagaimana, Ya. Sudah selesai?" tanya Pak Rusli.
"Alhamdulillah sudah Pak. Minggu depan submit, insya Allah," jawab Yahya dengan wajah cerah.
"Langsung lanjut Ph.D., Ya?"
"Insya Allah Pak, tapi saya mesti laporan ke pihak UIN Malang dulu. Semoga saja diijinkan untuk langsung lanjut Ph.D. Doanya."
"Allah memudahkan insya Allah."
Akhirnya
Zul tahu bahwa Yahya dulu kuliah di Pakistan jurusan sejarah dan
peradaban. Sepulang dari Pakistan ia diterima jadi dosen di UIN Malang.
Lalu melanjutkan S.2 di UM, dan sebentar lagi selesai. Setelah itu akan
langsung melanjutkan S.3.
la juga tahu flat itu terdiri atas tiga
kamar. Dua kamar mandi. Dapur. Dan ruang tamu. Yang tinggal di situ lima
orang; Sugeng, Yahya, Arif, Rizal, dan Pak Muslim. Yahya dan Pak Muslim
sudah menikah.
Sedangkan yang lainnya masih bujang. Sewa flat itu
enam ratus ringgit per bulan, atau sekitar satu juta enam ratus ribu per
bulan. Baginya itu sangat mahal. Enam ratus ringgit ditanggung oleh
penghuni rumah itu yang berjumlah lima. Sehingga masing-masing orang
kena beban 120 ringgit per bulan. Jika berjumlah enam, maka
masing-masing orang kena beban seratus ringgit.
Yahya juga bercerita,
bahwa awal-awal di Kuala Lumpur ia sempat bekerja mencuci piring di
restoran dengan gaji yang sangat mepet. Ia juga pernah kerja di sebuah
kedai foto copy. Bahkan ia pernah bekerja sebagai tukang bersih-bersih
WC di Gedung Putra World Trading Centre atau biasa disingkat PWTC.
"Apa
saja saya lakukan untuk bisa hidup dan membayar uang kuliah. Meskipun
diterima jadi dosen, tapi saya belajar ini tanpa beasiswa. Saya dulu
sempat membawa isteri, tapi saya rasakan berat. Akhirnya sementara ini
isteri tinggal di Malang dulu. Semoga saja nanti keadaan membaik. Dan
saya bisa membawa isteri lagi kemari untuk menemani membuat disertasi
Ph.D." jelas Yahya pada Zul.
"Intinya tidak boleh malu. Tidak boleh
menyerah. Dan harus terus bergerak. Saya dulu awal-awal kuliah di sini
juga sama seperti Yahya. Hidup prihatin. Kerja apa pun asal halal dan
bisa membuat saya semakin kaya saya lakukan. Alhamdulillah sekarang saya
bisa membuka usaha bekerjasama dengan orang Malaysia. Cukup untuk
menghidupi anak dan isteri. Begitu selesai doktor saya langsung akan
pulang ke Indonesia." Pak Rusli menambahi.
Tak lama kemudian Sugeng datang. Dan Arif yang tadi tidur, terbangun. Pertemuan itu jadi semakin hangat.
Semua
memberi semangat pada Zul. Zul merasa menemukan orang-orang yang baik
dan tulus. Yahya bahkan menawarkan agar Zul tinggal saja di flat itu dan
bisa tinggal satu kamar dengannya.
"Tapi kamar saya agak sempit.
Bagi saya tidak masalah dihuni dua orang. Jika hati dan jiwa kita lapang
maka semua akan jadi lapang." Ucap Yahya dengan wajah cerah.
Tak ada
keraguan bagi Zul untuk memutuskan tinggal di flat itu bersama Yahya,
Sugeng dan temantemannya. Sore itu ia memutuskan untuk langsung menginap
di situ dan tidak kembali ke Subang Jaya. Setelah mantap bahwa Zul
tidak akan terlantar, Pak Rusli mohon diri. Sebelum keluar pintu ia
masih sempat berkata pada Zul
"Saya akan coba mencari informasi. Jika
ada lowongan nanti saya beritahukan. Yang jelas optimislah, bahwa Allah
itu Mahakaya. Allah sudah mengatur jatah rejeki hamba-Nya. Tergantung
bagaimana hamba-Nya itu memungutnya. Jika ada apa-apa. Perlu bantuan
apaapa, telpon saya saja. Tak usah sungkan ya Zul."
"Iya Pak. Terima kasih atas segala kebaikannya."
* * *
Malam
itu Zul bertemu dengan seluruh penghuni flat itu. la tidak merasa
menjadi orang asing di rumah itu. Malam itu juga ia mendapatkan
saran-saran yang sangat membantunya dalam menentukan langkah selanjutnya
di Malaysia. Semua yang ada di rumah itu ingin memberikan bantuan
semampunya.
Sugeng menawarkan diri untuk membantunya mengurus
pendaftaran di UM. Karena Zul masuk ke Malaysia tanpa single entry maka
urusan imigrasi pasti akan sedikit ada masalah. Rizal yang sudah punya
pengalaman dalam masalah ini bersedia mendampingi Zul jika nanti harus
berurusan dengan masalah visa. Yahya dan Arif akan membantu mencarikan
informasi kerja. Dan Pak Muslim, yang paling tua di rumah itu,
menawarkan sepeda motornya jika akan digunakan Zul. Pak Muslim akan
mengadakan penelitian di Sabah selama tiga minggu. Berarti sepeda
motornya bisa dipakai selama itu.
"Ini masih bulan April. Awal
semester bulan Juli. Masih ada waktu sekitar tiga bulan. Sebaiknya Zul
daf tar dulu saja. Selama tiga bulan bekerja sungguh-sungguh agar bisa
membayar awal semester. Yang pasti jumlahnya agak lumayan. Besok kita
lengkapi syarat-syaratnya. Dan lusa kita masukkan berkas ke IPS.7 Untuk
uang pendaftaran yang 30 dollar itu biar saya talangi dulu. Jadi, dua
hari kita targetkan berkas sudah masuk. Setelah itu baru konsentrasi
cari kerja. Bagaimana?" Jelas Sugeng.
"Saya ikut saja." Lirih Zul.
"Coba lihat, mana ijazahmu? Kau bawa kan?"
7 IPS : Institute Postgraduate Studies.
Zul
mengangguk dan mengambil tas hitamnya. la keluarkan map berisi
berkas-berkas pribadinya dari tas itu. la berikan map itu pada Sugeng.
Sugeng lalu membuka dan meneliti dengan seksama. Ijazah SD sampai S.l
ada di situ. Sugeng lalu melihat ijazah S.l itu dengan kening berkerut.
"Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia ya?"
"Iya Mas." Jawab Zul pelan
"Pak
Muslim, sini Pak!" Seru Sugeng pada Pak Muslim yang sedang asyik
menulis di depan layar komputer di kamarnya. Pak Muslim langsung
mendekat. "Iya ada apa Geng?" tanya Pak Muslim sambil membenarkan gagang
kaca matanya.
"Zul ini, S.l-nya jurusan pendidikan bahasa Indonesia. Sebaiknya kalau masuk S.2 UM di fakultas apa, jurusan apa, Pak?"
Pak Muslim berpikir sejenak. Lalu berkata, "Lha Dik Zul sendiri ingin masuk fakultas apa?"
"Fakultas pendidikan, Pak." Jawab Zul seraya mendongakkan kepalanya ke arah Pak Muslim yang berdiri di samping Sugeng.
"Kalau
gitu ya masuk fakultas pendidikan saja. Jurusannya, kalau saya boleh
menyarankan sosiologi pendidikan saja." Sahut Pak Muslim.
"Bagaimana dengan saran Pak Muslim, Zul?" tanya Sugeng.
"Boleh. Saya sepakat."
Malam
itu Zul merasa menemukan sctitik cahaya yang bisa dijadikan sedikit
penerang bagi jalan masa depannya. la kembali mendapatkan gairah hidup
yang baru. la merasakan kedamaian seperti rasa damainya saat dulu bisa
melanjutkan pendidikan setelah lulus SD. la tetap bisa lanjut ke SMP
meskipun harus dengan bekerja membantu Pakdenya di Pasar Sayung sepulang
sekolah. la merasa bahagia saat itu, sebab banyak temantemannya yang
putus sekolah karena tidak ada biaya.
Mereka selesai SD langsung bekerja di sawah atau kerja di pabrik-pabrik yang ada di Kawasan LIK Semarang.
Malam
itu, untuk pertama kalinya ia tidur dalam keadaan lebih nyaman dan
tenteram. Dadanya terisi cahaya optimisme dan semangat. Bertahun-tahun
sebelumnya ia selalu tidur dalam bayang kekuatiran, rasa
takut dan
ketidakpastian hidup. Ia mengalami itu sejak Pakdenya, orang yang
merawatnya sejak kecil, meninggal saat ia masih di bangku kelas 3 SMA.
Sejak itu ia seperti merasakan ketidakpastian hidup. Dengan berusaha
tetap tegar ia akhirnya berhasil juga menyelesaikan SMA-nya bahkan bisa
tetap kuliah. Dan selesai juga kuliahnya. Namun selesai kuliah ia belum
juga mantap menapakkan kakinya. Hal itulah yang membuatnya merantau.
Dari Semarang ke Jakarta. Lalu ke Batam. Dan akhirnya ke Malaysia. Dan
malam itu, setelah ia bertemu dengan orangorang yang berpendidikan dan
tulus, ia banyak mendapatkan pencerahan. Kisah hidup Yahya yang begitu
rendah hati mau bekerja apa saja saat menuntut ilmu membuatnya kembali
terlecut. Ia dulu, saat kuliah di Semarang, juga pernah mengalami apa
yang Yahya alami. Saat kuliah ia pernah bekerja menjadi tukang becak,
kuli panggul di Pasar Genuk, satpam di LIK, dan terakhir penjaga parkir
di Pasar Johar.
Yang ia rasakan, bedanya Yahya dengan dirinya adalah
Yahya begitu mantap dan bahagia dengan apa yang dilakukannya. Yahya
menganggap hal itu bukan beban, tapi suatu kenikmatan. Yahya
memasukkannya sebagai bagian dari ibadah dan pengabdian. Tapi dia selama
ini bekerja, selalu saja menganggap sebagai beban. Dalam hatinya selalu
saja masih ada rasa kuatir dan merasa tertekan. Dan malam itu ia
mendapatkan pencerahan yang membuatnya merasa lebih tenang. Malam itu ia
tidur dengan bibir menyungging senyum optimis. Ia optimis telah
menemukan jalan untuk memperbaiki masa depan. Ia tidur dengan sama
sekali tidak mengingat Mari, Iin, Sumiyati dan Linda di Subang Jaya.
Sementara
di Subang Jaya sana, Mari berangkat tidur dengan perasaan kehilangan.
Entah kenapa ia merasa ada yang hilang dari hatinya. Ia telah
mendapatkaninformasi pekerjaan untuk Zul. Dan ia pulang dengan perasaan
bahagia, sebab ia yakin Zul masih ada di rumahnya. Dan ia akan
memberikan informasi pekerjaan itu pada pemuda itu. Ia akan melihat
pemuda itu bahagia lalu mengucapkan terima kasih padanya. Namun ia
kecewa saat ia dapati Zul tidak ada. Ia masih berharap, malam itu Zul
akan kembali ke rumah itu.
Namun ia kembali kecewa. Sampai pukul satu malam ia menunggu Zul tidak juga muncul. Akhirnya ia tidur dengan perasaan masygul.
* * *
Part Lima
Dua
hari pertama di Pantai Dalam Kuala Lumpur, Zul sibuk mengurus
berkas-berkas pendaf tarannya ke Universiti Malaya. Dengan sabar Sugeng
menemani dan mengantar ke sana kemari. Sugeng juga yang mengusahakan
rekomendasi dari dua orang guru besar di Universiti Malaya (UM). Dan di
hari ketiga berkas itu berhasil dimasukkan ke Institute Postgraduate
Program (IPS). Zul mengambil program kerja kursus dan tesis di Fakultas
Pendidikan Jurusan Sosiologi Pendidikan.
"Kita tinggal menunggu surat
panggilan dari UM. Jika diterima nanti pihak IPS UM akan mengirim offer
letter ke alamat kita. Dengan offer letter itulah nanti kamu mengurus
registrasi dan lain sebagainya." Jelas Sugeng pada Zul setelah berhasil
memasukkan berkas ke IPS.
"Berapa lama kita menunggu offer letter Mas?"
"Mungkin
dua bulan lagi sudah kita terima. Sekarang yang paling penting kamu
mempersiapkan biaya untuk registrasi jika diterima nanti. Jika ditotal
paling tidak nanti kamu harus keluar uang tiga ribu ringgit lebih."
"Besar sekali ya Mas."
"Ini
untuk pertama kali saja. Setelah itu tiap semester biaya SPP-nya terus
turun. Kalau ditotal biaya kuliah di sini dengan di Indonesia kurang
lebih sama. Namun jika kita bandingkan f asilitasnya, rasanya di sini
lebih murah.
Hanya saja biaya hidupnya di sini cukup tinggi. Tetapi
dengan menyempatkan diri sambil bekerja, semua biaya bisa ditutupi.
Sekali lagi yang agak berat itu memang biaya masuk awalnya."
"Saya harus menyiapkan tiga ribu ringgit lebih ya Mas."
"Iya."
Zul mengerutkan keningnya. Dalam waktu sekitar tiga bulan ia harus mencari uang sebanyak itu. Ia agak gamang, apakah ia bisa.
"Jangan
kuatir, yang penting Zul berusaha dulu. Jika nanti masih kurang, saya
akan bantu mencarikan pinjaman dulu. Yang penting, Zul bisa mulai kuliah
untuk sesi Juli yang akan datang."
"Iya Mas, terima kasih atas
segalanya. Saya akan berusaha keras. Tadi pagi setelah shalat Subuh Mas
Rizal mengajak saya untuk kerja lembur di restoran sebuah hotel nanti
malam."
"Kalau begitu ayo kita pulang sekarang Zul. Kau perlu
istirahat untuk persiapan nanti malam. Sementara nanti pukul dua saya
ada jadwal mengajar budak-budak Malaysia di Damansara."
"Ayo Mas, berarti kita shalat Zuhur di surau di bawah flat kita."
"Iya."
* * *
Sore
itu menjelang Maghrib, Zul telah siap-siap untuk mulai kerja pertama
kalinya di negeri Jiran. Ia begitu bersemangat. Sebab ia punya tujuan
yang jelas untuk apa bekerja. Rizal senang melihat Zul bersemangat. Ia
senang, sebab malam itu ada yang menemaninya.
Selama ini ia biasanya sendirian saja.
"Kita
harus sampai di Hotel Grand Season sebelum pukul setengah delapan.
Pesta ulang tahun selebriti Malaysia ini akan berlangsung dari pukul
delapan sampai pukul sebelas malam. Kita mungkin akan pulang sekitar
pukul satu malam. Sebab selain kita bertugas menjadi pelayan yang
menghidangkan makanan. Kita juga bertugas membersihkan peralatan setelah
acara itu. Bagaimana kau siap Zul?"
"Siap Mas."
"Ayo kita berangkat."
Mereka
berdua lalu turun dari flat. Lalu dengan sepeda Honda tua tahun tujuh
puluhan mereka meluncur menyisiri jalan raya Kuala Lumpur.
"Kenapa
tadi tidak memakai motornya Pak Muslim saja Mas? Lebih cepat." Kata Zul
saat melihat Rizal berkali-kali melihat jam tangannya sambil mengendari
sepeda motor tuanya.
"Memakai milik sendiri meskipun tua seperti ini rasanya lebih nyaman. Insya Allah tidak terlambat kok."
Jawab Rizal.
"Semoga Mas."
Mereka
berdua akhirnya sampai di Hotel Grand Season yang berada di kawasan
Chow Kit tepat pukul 19.15. Mereka langsung shalat Maghrib. Selesai
shalat Maghrib mereka mendapat briefing dari penanggung jawab restoran.
Dan malam itu Zul bekerja dengan penuh hati-hati dan dedikasi. Ia begitu
semangat, seolah tidak terasa lelah.
Dalam acara yang serba mewah
dan glamour itu ia bisa melihat dari dekat selebritis-selebritis papan
Malaysia. Termasuk diva pop Malaysia yang sangat terkenal di Indonesia.
Hanya saja ia tidak berani kenalan, minta tanda tangan atau minta foto
bersama. Dalam hati kecil ada juga sebenarnya keinginan untuk sekadar
menyapa bahkan minta tanda tangan. Ia hanya membayangkan jika bisa foto
bersama artis paling populer di Malaysia dan Indonesia itu, lalu bisa
memasang foto itu di kamarnya, atau mengirim foto itu pada
teman-temannya
di Batam, pastilah ia akan merasa bahagia. Namun ia
tak memiliki keberanian untuk melakukan itu semua. la juga merasa,
sebagai pelayan, sangat tidak etis jika sampai berani melakukan hal itu.
Di
akhir acara, ia sempat diajak bicara oleh seorang wartawati sebuah
stasiun televisi Malaysia. Cantik. Ia sangat tersanjung. Wartawati itu,
entah iseng entah serius menanyakan ia berasal dari mana? Lulusan apa?
Dan apa motivasinya kerja di restoran hotel itu? Ia menjawab semuanya
dengan jujur. Bahwa ia berasal dari Indonesia. Lulus S.l dari sebuah
universitas di Semarang. Dan kerja di situ karena harus survive dan
harus bisa membayar biaya SPP-nya di UM. Wartawati itu agak terkejut.
"Jadi awak sekarang sedang buat master di UM?"
"Iya."
"Dan awak ini bekerja untuk bayar studi awak?"
"Iya."
"Wah boleh. Awak boleh dikata seorang wira sejati. Saya takjub sama awak. Kalau boleh tahu ambil fakulti apa?"
"Fakulti Pendidikan, spesialisasi Sosiologi Pendidikan."
"Terima
kasih. Saya sangat kagum dengan awak. Semoga berjaya. Ini kad nama
saya. Suatu masa nanti kita lanjutkan pembualan kita ya? O ya lupa lagi,
siapa nama awak tadi?"
"ZulHadi."
"Zul Hadi. Ada number yang bisa dikontak tidak?"
"Wah tak ada. Tapi saya ada alamat email mau?"
"A...boleh,boleh."
Zul
lalu menyebutkan alamat emailnya. Wartawati itu mencatatnya di note
book-nya. Lalu wartawati itu pergi sambil menganggukkan kepala dan
melempar senyum kepadanya. Zul balas mengangguk dan tersenyum.
Pengalaman
pertamanya kerja di Kuala Lumpur malam itu sangat mengesankan. Malam
itu, ia pulang pukul setengah dua malam. Di tengah perjalanan hujan
deras turun. Rizal nekat menerobos hujan itu. Dan malangnya, rantai
sepeda motor tua itu putus. Jadilahmereka berdua jalan kaki sepanjang
empat kilometer sambil menunrun motor. Mereka sampai di Pantai
Dalampukul lima. Rizal minta maaf kepada Zul,
"Sorry Zul ya. Jika pakai sepeda Pak Muslim, mungkin kita tidak perlu jalan kaki sejauh itu."
"Tak apa-apa Mas. Malah jadi kenangan indah tak terlupakan."
"Ya. Nanti bisa kita ceritakan ini pada anak cucu kita hahaha."
"Hahaha."
Begitulah. Sejak itu Zul larut dalam dunia kerjanya.
Ia benar-benar mati-matian bekerja. Siang dan malam.
Demi
bertahan hidup dan demi bisa membayar uang kuliahnya. Selain bekerja
insidentil di hotel-hotel kalau ada acara-acara besar, secara rutin
siang hari Zul bekerja di pom bensin selama enam jam. Rizal jugalah yang
mencarikan kerja di pom bensin itu. Dan malam hari ia ikut Arif bekerja
sebagai pelayan Jamaliah Cafe di daerah Taman Seputeh. Biasanya ia
berangkat pukul tujuh malam dan pulang pukul tiga pagi. Nyaris ia hanya
istirahat beberapa jam saja setiap hari. Karena kesibukannya itu, ia
belum juga sempat mengambil barangbarangnya yang ia tinggal di rumah
Mari, di Subang Jaya. Ia bahkan nyaris melupakannya.
Suatu hari ia hanya bisa mengirim SMS kepada Mari:
"Assalamu'alaikum
Mbak Mari. Maaf ya, sy blm bs ke tmpt Mbak. Juga maaf pada wkt itu tdk
smpt pamitan. Alhamdulillah sy sdh dpt kerja. Dan sdh dpt tmpt tnggl yg
nyaman. Trs trng sy sdng sngt sibuk. Nnti jk sdh agak longgar sy k tmpt
mbak untk ambil barang insya Allah. Terima kasih atas sgl kebaikannya
ya. Dari adikmu: Zul."
Dalam SMS itu ia mengatakan sebagai adik Mari.
Karena ia merasa Mari memang tepat dijadikan kakaknya. Dan saat bertemu
untuk pertama kali ia merasakan Mari begitu baik. Dan seolah Mari
menganggap dirinya sebagai adiknya.
Smsnya itu langsung dibalas oleh Mari,
"Wassalamu'alaikum
wr wb. Alhdulillah kau ternyata masih hidup :) Aku smpat khwtir krn kau
pergi dan dua bulan tdk ada kbrnya. Ya, smg sehat dan sukses.
Barangbarangmu masih terjaga dgn baik di sini. Oh ya skdr informasi, jk
nnti ke sini mngkn tak akan bertm Mbak Iin lagi. Dia sdh pulang ke
Indonesia tiga hari yang lalu. Dan kemngkinan besar tidak akan kembali
lagi ke sini. Terima kasih telah menganggapku sebagai kakak. Selamat
bekerja. O ya apakah ini nomor hpmu? Salam sayang dari kakakmu: Mari."
Ia
bahagia sekali membaca SMS itu. Ia merasakan bahwa Mari memang orang
yang tulus. Menolong dirinya tanpa pamrih apapun. Terkadang terbersit
dalam pikirannya andai saja Mari masih gadis dan umurnya lebih muda
darinya. la merasa bisa jatuh cinta padanya.
Cepat-cepat ia menepis pikiran yang tidak-tidak itu. la lalu menjawab pertanyaan Mari,
"Mbak
ini bukan nomor hp saya. Tapi nomor teman saya. Tapi saya punya alamat
email. Jika ingin mengabarkan sesuatu kpd sy, ini alamatnya:
zoel_guanteng@okaymail.com. Terima kasih."
Ia lalu menerima jawaban singkat dari Mari,
"Ya. Baik."
* * *
Zul
terus berjuang dan bekerja. Suatu hari datanglah surat dari Universiti
Malaya. Zul benar-benar diterima di perguruan tinggi tertua di Malaysia
itu. Dan setelah mati-matian bekerja siang dan malam selama tiga bulan,
ia bisa membayar registrasi pascasarjananya. Namun uangnya habis untuk
registrasi dan mengurus student pass. Padahal ia harus segera aktif
kuliah. Ia tidak bisa lagi kerja full time seperti dulu. Tapi
pemasukannya harus tetap seperti dulu. Ia agak bingung menyikapi hal
itu. Apalagi jika ia harus naik bus setiap hari dari Pantai Dalam ke UM.
Ongkos hidupnya jadi semakin bertambah.
Apa yang ia hadapi itu ia
sampaikan kepada Yahya, orang saat ini ia anggap paling dekat dengannya.
Sebab Yahya tinggal satu kamar dengannya. Yahya menyimak apa yang
disampaikan Zul dengan penuh perhatian. Ia menjadi pendengar yang baik.
Setelah Zul menyampaikan masalahnya secara tuntas, Yahya menanggapi,
"Bisa
disiasati. Sesungguhnya setiap kali Allah menghadapkan manusia pada
satu masalah, sebenarnya Allah juga menyiapkan jalan keluarnya. Inna
ma'al 'usriyusra. Sesungguhnya bersama kesukaran itu ada kemudahan.
Begitulah
Al-Quran membahasakan. Apa yang kaualami sekarang ini pernah saya
alami. Kau masih lebih beruntung Zul, sebab bisa bayar registrasi tanpa
berhutang. Saya dulu sampai berhutang. Mari kita petakan apa yang
kauhadapi satu per satu.
"Jika kau aktif kuliah artinya waktumu untuk
bekerja di siang hari sangat sedikit. Tapi kau bisa bekerja Sabtu dan
Minggu. Sebab masa aktif kuliah cuma lima hari.
Tapi saya sering
lihat juga, bahwa untuk pascasarjana fakulti pendidikan sering masuk
sore hari. Sebab mahasiswa dari pribumi Malaysia banyak yang dari
kalangan guru. Pagi mereka mengajar, baru mereka bisa masuk kuliah sore
hari. Yang paling penting, kau harus pastikan jadwal kuliah secepatnya.
Baru bisa menata kapan dan di mana kau bisa kerja. Dan ada lagi yang
juga sangat penting Zul, yaitu mulai sekarang kau harus memiliki sepeda
motor sendiri. Selama ini kau bisa pinjam Rizal, Pak Muslim, atau siapa
saja yang sepeda motornya nganggur. Tapi sekarang tidak bisa Zul. Kau
sudah punya jadwal kuliah. Dan kau akan punya jadwal kerja sendiri, yang
berbeda dengan Rizal sekalipun. Kalau kemarin kau bisa berangkat kerja
bersama Rizal, sekarang belum tentu bisa.
"Menurut saya, sepeda motor
sudah kebutuhan primer bagi mahasiswa UM. Tidak sekunder lagi. Bahkan
kalau disuruh memilih penting mana sepeda motor sama komputer? Saya akan
langsung jawab; penting sepeda motor. Kita tidak akan leluasa bergerak
tanpa sepeda motor. Tapi kita masih bisa mengerjakan tugas dengan baik
meskipun tidak memiliki komputer. Sebab di kampus fasilitas komputer
sangat berlebih. Di mana-mana ada komputer dan internet. Itu yang bisa
saya sarankan Zul."
Zul memikirkan dan merenungi saran Yahya
benarbenar. Apa yang disarankan Yahya ia rasakan banyak benarnya. Ia
harus punya sepeda motor meskipun tua dan butut. Akhirnya dengan
memberanikan diri, ia meminjam uang pada Pak Muslim untuk membeli sepeda
motor. Ia membeli sepeda motor yang murah, Suzuki tahun tujuh puluhan
akhir.
"Yang penting bisa jalan dan mengantarkan sampai tujuan." Gumamnya dalam hati.
Setelah
itu ia melihat jadwal kuliahnya. Dan menata jadwal kerjanya. Dengan
terpaksa kerja di pom bensin ia tinggalkan. Sebab kerja di pom bensin
itu banyak bertabrakan dengan jadwal kuliahnya. Sebagai gantinya ia
kerja di warung runcit. Berangkat pukul delapan sampai pukul dua siang.
Setiap hari. Jadwal kuliahnya banyak di sore hari. Mulai pukul tiga atau
pukul empat.
Dan seringkali selesai pukul sembilan malam. Di atas
pukul sembilan masih ia gunakan untuk bekerja di kedai Jamaliah Cafe.
Hanya dua jam setengah saja. Dari pukul setengah sepuluh sampai pukul
dua belas malam. Ia hanya punya waktu untuk belajar setelah shalat
Subuh.
Dan itu ia gunakan sebaik-baiknya. Jika setelah Subuh ia tidak
belajar itu artinya ia tidak punya waktu lagi untuk belajar. Maka
baginya waktu setelah shalat Subuh sangat mahal. Ia merasa beruntung
tinggal satu kamar bersama Yahya. Sebab Yahya punya kebiasaan belajar
setelah shalat Subuh.
"Saya belajar setelah shalat Subuh ini sejak di SD.
Saya
ini aneh, untuk buku-buku yang serius saya hanya bisa konsentrasi jika
membacanya pada pagi hari. Ya setelah shalat Subuh itu. Biasanya kalau
yang saya baca setelah shalat Subuh itu banyak melekatnya di otak." Kata
Yahya pada Zul suatu ketika.
"Dan lagi setelah shalat Subuh itu
waktu yang penuh barakah. Baginda Nabi sudah menjelaskan bahwa barakah
untuk umatnya diturunkan pada waktu pagi. Jika kita ingin dapat banyak
barakah ya berarti kita harus menghidupkan waktu pagi kita. Waktu Subuh
dan setelah Subuh kita." Sambung Yahya.
"Wah cocok sekali apa yang
Mas Yahya sampaikan dengan fenomena yang saya amati. Itu orang-orang
China yang kaya-kaya. Baik di Indonesia atau di Malaysia, mereka itu
selalu membuka toko dan dagangannya pagi-pagi sekali. Saya punya teman
di Batam, dia pernah menjadi pembantunya orang China di Jakarta. Dia
cerita, tuannya itu sudah bangun pagi sejak pukul empat pagi. Begitu
bangun pagi langsung melihat siaran televisi dunia. Melihat indeks harga
saham dunia. O jadi nyambung sama barakahnya waktu pagi."
"Iya Zul. Semestinya kita harus bangun lebih pagi dari orang China."
"Benar Mas."
* * *
Part Enam
Tak
terasa Zul telah melewati satu semester. Selama itu ia seperti tidak
mengenal siang dan malam. Hariharinya ia lewati dengan bekerja dan
belajar. Bekerja dan belajar. Ia tampak lebih kurus dari hari pertama
saat ia tiba di Malaysia. Hidup setengah tahun lebih bersama Yahya
membuatnya lebih banyak tahu tentang ajar an agamanya. Ia yang selama
ini tidak mendapat pengajaran agama secara mendalam, banyak mendapat
masukan-masukan tentang keindahan Islam. Sedikit demi sedikit Yahya
memberikan pencerahan, tanpa terasa.
Tidak ada waktu khusus mengaji pada Yahya. Cukuplah interaksi harian menjadi tempatnya menimba ilmu.
Malam
itu Kuala Lumpur hujan deras. Zul bangun dan shalat Tahajjud. Di
keheningan malam itu ia memuhasabahi dirinya sendiri. Ia merenungi
perjalanan hidupnya selama ini. Banyak sekali tingkah lakunya yang jauh
dari perilaku yang dibenarkan oleh agama. Ia jadi teringat masa SMA-nya
dulu. Ia pernah pacaran dengan anak SMA tetangga desa. Ia pacaran
diam-diam. Pakdenya, yang menjadi pengasuhnya, tidak pernah tahu. Ia
pernah pergi dengan pacamya itu malam mingguan di Simpang Lima Semarang.
Dan astaghfirullah ia bergandeng tangan dan duduk berpelukan mesra
dengan pacarnya itu sambil nonton ramainya kawasan Simpang Lima. Ia
putus dengan pacarnya, setelah lulus SMA. Pacarnya itu dikawinkan paksa
oleh orangtuanya. Dan ia tidak memberitahukan hal itu kepadanya.
Tahu-tahu ia mendapat kabar pacarnya sudah kawin dan hidup bersama
suaminya di luar Jawa. Ia sempat sakit hati. Lalu saat kuliah di IKIP ia
sempat pacaran lagi. Hanya bertahan dua bulan. Ia putuskan pacarnya itu
setelah ia tahu pacarnya itu temyata punya pacar selain dia. Ia sakit
hati.
Setelah itu ia tidak pernah pacaran lagi. Dua kali ia dikhianati perempuan, dan baginya itu cukup. Ia tak mau lagi.
Ia
bersyukur kepada Allah yang menjaganya, hanya dua kali saja pacaran.
Dan tidak sampai melakukan yang lebih dari sekadar bergandeng tangan dan
berpelukan. Ia tidak bisa membayangkan jika Allah tidak menjaganya.
Mungkin ia telah berbuat maksiat yang lebih besar lagi madharatnya.
Dari
Yahya ia tahu bahwa tidak halal menyentuh tubuh perempuan yang bukan
mahramnya. Tidak halal berasyik-masyuk dengan perempuan yang bukan
isterinya. Pacaran adalah cara setan menggiring umat manusia agar jatuh
pada perbuatan nista yang dikutuk semua agama, yaitu zina. Banyak orang
melakukan pacaran yang—karena masih disayang Allah—diselamatkan oleh
Allah dari dosa besar itu. Namun tidak terhitung jumlahnya manusia yang
melakukan pacaran dan akhirnya jatuh ke lembah nista itu, yaitu
melakukan perzinahan berulang-ulang kali.
Zul jadi merinding
mengingat hal itu. Berulang-ulang kali ia mengucapkan istighfar. Ia
membayangkan seperti apa besar dosanya. Berapa kali ia bermesraan
danberpelukan dengan perempuan yang tidak halal baginya.
"Astaghfirullahal adhim. Ya Allah ampuni dosadosaku. Ampuni kebodohanku. Ampuni perbuatanperbuatan jahiliyahku."
Ia
menangis bila mengingat yang terjadi pada teman satu kelasnya di SMA.
Dua sejoli si Fulan dan si Fulanah. Mereka berpacaran dan kebablasan. Si
Fulanah hamil.
Keduanya mengakui perbuatan keji itu pada pihak
sekolah. Akhirnya keduanya dinikahkan oleh keluarga mereka. Dan tepat
satu minggu sebelum ujian akhir keduanya dikeluarkan dari sekolah.
Sebelum pergi ke Jakarta ia mendengar kabar keduanya cerai. Lebih
menyedihkan lagi si Fulanah kabarnya bekerja di Sunan Kuning10 dan si
Fulan dipenjara karena terlibat curanmor. 10 Sunan Kuning adalah nama
sebuah lokalisasi di Kota Semarang, lebih dikenal dengan singkatan SK.
Jika
Allah tidak mengasihinya, bisa jadi nasibnya lebih buruk dari si Fulan
dan si Fulanah. Sebab saat ia pacaran ia nyaris pernah melakukan
perbuatan yang dilarang itu dengan pacarnya. Zul kembali menangis
mengingat hal itu,
"Ya Allah kalau tidak Kauselamatkan diriku. Akan
jadi apakah diriku ini? Akan jadi budak setankah? Akan jadi makhluk yang
durhaka kepada-Mu kah? Ya Allah,
terima kasih ya Allah telah
menyelamatkan diriku. Ya Allah aku ingin hidup lurus di jalan-Mu.
Ampunilah dosa-dosaku yang telah lalu. Limpahkanlah hidayah-Mu dan
jagalah diriku dari perbuatan maksiat dengan penjagaan- Mu yang tidak
pernah luput sekejap pun juga."
Di akhir muhasabahnya ia teringat
kebersamaannya dengan Man dan teman-temannya. Juga perjumpaannya dengan
Linda. Ia mohon ampun kepada Allah jika ada perbuatannya yang dosa, juga
memintakan ampun kepada Allah untuk Mari, Iin, Sumi dan Linda. Walau
bagaimanapun Mari telah memberikan pertolongan padanya.
Pagi harinya
entah kenapa ia merasa ingin bersilaturrahmi ke rumah Mari di Subang
Jaya. Beberapa kali ia menepis keinginan itu. Ia katakan pada dirinya
bahwa besok-besok masih ada waktu untuk mengambil barangbarangnya.
Namun keinginannya untuk pergi ke rumah Mari entah kenapa terus mendesaknya.
Pada
akhirnya ia tetap merasa harus bersilaturrahmi hari itu dan pagi itu
juga. Ya, bersilaturrahmi sekadarnya saja. Sambil mengambil
barang-barangnya yang masih tertinggal di sana. Ia belum mengucapkan
terima kasih secara langsung pada Mari. Selain itu ia masih memegang
kunci rumah itu. Ia benar-benar lupa kalau memegang kunci milik Linda.
Ia harus mengembalikan kunci itu segera.
Pagi itu tepat jam delapan, setelah sarapan roti canai ia langsung ke stasiun KTM. Ia tidak membawa apa-apa.
Kecuali
tas cangklong hitamnya. Ia bahkan tidak memakai sepatu, hanya memakai
sandal jepit hitam. Dari stasiun Pantai Dalam ia ke KL Sentral. Lalu
dari KL Sentral ia naik bus ke Subang Jaya. Di tengah perjalanan ketika
bus baru keluar dari KL Sentral hujan turun dengan deras.
Bus tetap
melaju dengan tenang. Zul menikmati indahnya kota Kuala Lumpur dalam
siraman air hujan. Air mengalir dengan teratur ke selokan-selokan yang
diatur rapi. Paru-paru kota yang ada di hampir setiap sudut kota
menyerap air hujan dengan segera. Tak ada banjir tak ada air menggenang.
Zul boleh salut pada tata kota Kuala Lumpur. Bus melaju dengan
kecepatan sedang dan sampai di Subang Jaya pukul sepuluh siang.
Zul
turun dari bus. Hujan masih turun rintik-rintik. Ia menutup kepalanya
dengan tas hitamnya. Iaberjalan sambil mengingat-ingat jalan menuju
rumah Mari. Sambil berjalan ia meraba saku celananya untuk meyakinkan
bahwa kunci yang dulu dipinjamkan oleh Linda telah terbawa. Ia meraba
dan menemukannya. Ia melangkah dengan cepat. Ia telah memasuki kawasan
Taman Subang Permai. Ia ingat jalan depan belok kanan.
Rumah keempat dari ujung jalan itulah rumah Mari.
Tiba-tiba
hatinya berdegup kencang. Ia teringat Linda. Yang ada di rumah itu pada
waktu siang biasanya adalah Linda. Yang lain pergi kerja. Dan
hujan-hujan begini ia akan mengetuk rumah itu dan bertemu Linda. Yang
bisa jadi ia akan mengenakan pakaian yang tidak menjaga susila seperti
dulu lagi. Ia jadi ragu. Antara meneruskan langkah atau pulang.
Sementara rinai hujan masih terus turun. Akhirnya ia nekat tetap maju
meneruskan langkah. Niatnya adalah mengembalikan kunci, mengambil
barang-barangnya, dan menyampaikan rasa terima kasih. Bukan yang lain.
Ia meniatkan diri untuk tidak lama di rumah itu. Mungkin cuma dua atau
tiga menit saja. Ia bisa beralasan sibuk pada Linda. Sejurus kemudian
Zul sudah sampai di depan rumah Mari. Ada mobil Proton Saga berwarna
merah hati di depan gerbang. Pintu besi rumah itu terbuka. Namun pintu
kayunya tertutup rapat. Artinya ada orang di dalam.
Tiba-tiba ia mendengar suara barang dibanting.
Seperti
piring. Hujan kembali turun semakin lebat. Ia mempercepat langkah
menuju teras. Bersama suara guntur yang menggelegar ia mendengar suara
perempuan menjerit-jerit minta tolong dari dalam rumah. Ia kaget.
Spontan ia lari ke pintu. Ia menggedor-gedor pintu. Pintu terkunci.
Ia ingat, bahwa ia membawa kunci rumah itu. Suara perempuan dari dalam rumah kembali menjerit-jerit minta tolong.
"Toloong, tolooong! Jangan! Jangan!"
Halilintar
kembali menyambar. Ia menyangka suara itu adalah suara Linda yang
mungkin hendak dianiaya oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Walaupun ia tidak suka dengan perbuatan dan cara berpikir Linda, tapi ia
merasa perempuan itu tetap harus ditolong. la membuka pintu. Dan...
Alangkah
terkejutnya ia. Di ruang tamu itu ia melihat Mari tengah bergelut
melawan seorang lelaki gundul bertubuh besar yang hendak merogolnya.11
Mari merontaronta sekuat-kuatnya. Kedua kakinya menendangnendang.
Pakaiannya
bagian atas tidak sempurna lagi menutupi tubuhnya. Ia melihat Mari
mati-matian mempertahankan celana jeansnya yang hendak dilepas paksa.
Melihat kemungkaran itu emosi Zul tidak tertahankan lagi. Darahnya
mendidih. Ia langsung membentak dengan sekeras-kerasnya,
"Hai bajingan! Berhenti kau! Kurang ajar!"
Bersama
dengan meluncurnya bentakan keras dari mulutnya ia langsung melompat
menendang lelaki itu, tepat saat lelaki itu kaget dan menoleh ke
arahnya.
Tendangan itu mengenai muka lelaki gundul itu. Tepat di
hidungnya. Tak ayal tubuh lelaki gundul itu terpelanting dari atas tubuh
Mari. Mari langsung bangkit dan lari ke pojok ruangan sambil mendekap
tubuhnya yang gemetar ketakutan.
"Bangsat! Siapa kau berani mencampuri urusanku!"
Lelaki
itu berdiri dengan amarah memuncak di ubunubunnya. Ia memegangi
hidungnya yang terasa sakit. Zul tidak gentar. Ia pernah dikeroyok oleh
preman Pulo Gadung dan tidak mat! meskipun saat itu tidak bisa dikatakan
ia menang atau kalah. Yang jelas ia tidak mati. Zul balik menggertak,
"Justru seharusnya aku yang harus bertanya. Siapa kau bajingan berani kurang ajar sama kakakku!"
"Apa?
Mari itu kakakmu! Dasar penjahat. Rupanya kau ya yang membawa lari Mari
kemari. Ketahuilah aku adalah Warkum, suami Mari yang sah. Aku ingin
membawa dia kembali ke rumahku!"
"Dasar bajingan iblis! Kau bukan suamiku lagi! Aku tidak sudi melihatmu apalagi kembali padamu!"
"Tutup
mulutmu perempuan sundal! Mau tidak mau kau tetap isteriku! Dan kau
kucing alas, jangan ikut campur urusan rumah tangga orang lain ya!
Atau...."
"Atau apa? Aku sudah tahu semuanya. Kau dan Mari
tidak ada hubungan apa-apa lagi. Kau boleh bawa Mari ke mana saja asal bisa melangkahi mayatku!"
"Kurang ajar!"
Lelaki
botak itu mengayunkan pukulan tangannya dengan sekuat tenaga. Jika
pukulan itu mengenai dada Zul, bisa jadi dada yang tipis itu akan
rontok. Tapi Zul yang sudah pernah belajar karate saat kuliah dan pernah
berkelahi dengan preman dengan tenang mengelit sambil menyarangkan
tendangan ke perut Warkum. Warkum terhuyung. Emosinya semakin menghebat.
"Setan alas!"
Ia
langsung mengambil kursi plastik dan mengayunkan ke kepala Zul. Zul
menghindar. Warkum terus memburu. Satu sabetan Warkum mengenai pelipis
Zul.
Langsung berdarah.
Di pojok ruangan Mari menjerit histeris.
Zul berusaha tetap tenang. Ia mencopot sandalnya yang ia rasa mengganggu
gerakannya. Ia mencari peluang untuk menyarangkan serangan yang telak.
Warkum terus memburunya dengan ganas. Melihat darah mengalir di pelipis
Zul, semangat Warkum untuk membunuh semakin membara. Pada saat Warkum
merasa bisa menghantam Zul dengan kursi plastiknya ia langsung
mengerahkan segenap tenaganya.
Sabetan itu sangat keras. Pada saat
menyabet kaki Warkum tidak kokoh menapak di bumi. Dengan gesit Zul
mengelak dengan menjatuhkan diri ke lantai. Lalu ia melakukan tendangan
memutar sekeras-kerasnya ke arah kemaluan Warkum. Tendangan itu sangat
cepat dan keras. Tendangan itu yang tak lain adalah jurus buaya
mengibaskan ekor yang pernah ia pelajari dari Mbah Tarmidi yang dikenal
sebagai guru silat di desanya.
Kekuatan yang digunakan menyerang
dalam tendangan itu adalah kekuatan putaran kaki dan senjata untuk
melakukan serangan adalah kerasnya tumit kaki.
Tendangan Zul sangat akurat.
Akibatnya...
"Plakk!"
Tendangan Zul tepat mengenai sasaran. Tumitnya menghantam kemaluan Warkum dengan sekeraskerasnya.
Warkum
langsung terjengkang dan mengerang kesakitan. Kursi plastik itu
terlepas dari tangan Warkum. Zul tidak mau membuang kesempatan. Ia
langsung menyarangkan tendangan keras ke rahang Warkum. Warkum kembali
mengaduh.' Ia berusaha bangkit. Namun Zul langsung memukulnya dengan
kursi kayu sekeras-kerasnya. Warkum mengerang sambil mengucapkan
kata-kata kotor. Zul melihat televisi yang telah hancur. la angkat
televisi itu dan ia tumpukkan ke muka Warkum. Muka itu langsung luka dan
berdarah.
Seketika itu Warkum mengaum minta ampun.
"Sudan aku
mengaku kalah! Aku tidak akan mengganggu kalian lagi. Tolong maafkan
aku!" teriak Warkum sambil memegangi kemaluannya.
Zul melihat ke arah Mari.
"Mbak mau memaafkan dia?" tanya Zul.
Mari menggelengkan kepala.
Zul
melangkah ke kamar Mari yang terduduk gemetar di pojok ruangan. Ia
pernah melihat ada palu di bawah meja rias. Jika tidak dipindah palu itu
pasti masih ada di sana. Dan benar palu itu masih ada di sana. Zul
langsung memungutnya. Sementara Mari masih mematung di pojok ruang tamu.
Warkum berusaha bangkit. Pada saat ia mau bangkit Zul telah kembali ke
ruang itu dan langsung menendang kepala Warkum yang gundul itu
sekeras-kerasnya. Warkum langsung mengaduh,
"Ampun tolong. Aku mengaku kalah! Biar aku pergi! Ampuni aku!"
Kini tangan kanan Zul memegang palu erat-erat.
"Bagaimana Mbak Mari, mau mengampuni penjahat ini?"
Mari
menggelengkan kepala. Begitu melihat Mari menggelengkan kepala, Zul
langsung memukulkan palu yang ada di tangan kanannya itu ke jari kaki
kanan Warkum sekeraskerasnya. Zul memukulnya dengan cepat tiga kali
berturut-turut. Warkum merasakan tulang jari kakinya remuk. Ia menjerit
sekuat-kuatnya minta ampun.
"Bagaimana Mbak Mari mau memberi ampun?" tanya Zul.
Mari diam saja. Warkum memandang Zul yang saat itu berwajah sangat dingin. Ia berusaha menyeret tubuhnya ke belakang.
"Berhenti
di tempat! Atau aku pukul gundulmu sampai pecah. Aku tahu kau bajingan
dan punya anak buah banyak. Tapi kau harus tahu aku ini tahu bagaimana
cara memecah dan meremuk tulang kepala seorang penjahat seperti kamu.
Tahu!" Zul membentak,
Warkum seketika diam tak berani bergerak. Ia sudah benar-benar tidak berdaya.
"Bagaimana Mbak Mari, mau mengampuni penjahat ini?" Zul kembali bertanya pada Mari.
Mari
kembali menggelengkan kepala. Zul langsung mendekati Warkum. Warkum
mengaduh minta ampun. "Letakkan tangan kananmu di lantai!" Perintah Zul.
Warkum malah menggenggam tangan kanannya dan tangan kirinya seolah-olah
hendak melindunginya.
"Dengar, sekali lagi letakkan tangan kananmu
di lantai atau aku akan menghancurkan kemaluanmu dan kau akan mampus
saat ini juga!" Gertak Zul dengan muka merah padam. Warkum yang tak
punya nyali itu dengan tubuh gemetar meletakkan tangan kanannya di
lantai.
"Hmm itu ya tangan yang selama ini digunakan untuk menjahati dan menodai kaum perempuan. Baik nihrasakan!"
Zul
memukulkan palunya ke jari-jari Warkum dengan keras beberapa kali.
Warkum merasakan sakit luar biasa. Sampai ia tidak bisa lagi menjerit.
"Ini
pertanyaan saya terakhir, Mbak Mari mau mengampuni penjahat ini? Jika
tidak palu ini akan mengeluarkan otak penjahat ini dari batok kepalanya.
Biar dia mampus di sini dan tidak akan mengganggu Mbak Mari lagi!"
Mendengar
kata-kata itu Warkum kembali memohon ampun. Warkum melihat bahwa
ancaman Zul bukan gertak sambal saja. Ia melihat pemuda kurus yang
menghajarnya ini punya nyali yang luar biasa dan jika nekat matanya
seolah buta.
"Mari, to... tolong maafkan aku! Aku tak ingin mari.
A... aku khilaf. A... aku janji tidak akan mengganggumu
lagi
dan tidak akan menampakkan wajah di hadapanmu lagi!" Kata Warkum
mengiba dengan suara terbata-bata. "Bagaimana Mbak Mari? Ini pertanyaan
saya terakhir!" tanya Zul dengan wajah dingin.
Mari bangkit dan melangkah lalu meludahi Warkum.
"Saat
ini aku belum bisa memaafkan dia Zul. Tapi biarkan dia pergi. Biarkan
dia hidup. Jika kau bunuh dia nanti urusannya panjang!"
"Aku tahu
dunia preman. Urusannya tidak akan panjang Mbak. Kalau mau biar
kubereskan dia. Sampah seperti dia inilah yang merusak kesucian anak
gadis di mana-mana. Dia tak pantas hidup!"
"Biarkan dia pergi Zul!"
"Baik Mbak."
Warkum langsung berkata,
"Te... terima kasih Mari!"
"Hei,
cepat pergi. Sebelum aku berubah pikiran! Ingat, hari ini kau berhutang
nyawa pada Mbak Mari. Sebab jika tidak karena dia menyuruh membiarkanmu
pergi, gundulmu itu pasti sudah hancur! Cepat pergi!" Bentak Zul dengan
mata dipelototkan.
Dengan susah payah Warkum bangkit. Zul mengambil kain penutup meja dan melempar ke muka Warkum.
"Hei, usap lukamu dengan ini!"
Warkum
berdiri. Ia mengusap darah yang mengalir dimukanya. Juga darah yang
keluar dari jari-jari tangan kanannya yang hancur. Dengan langkah
pincang tertatihtatih ia berjalan keluar rumah. Di luar hujan tinggal
menyisakan gerimis. Zul mengikuti sampai di pintu. Ia mengamati Warkum
dengan pandangan dingin. Susah payah Warkum masuk ke dalam mobilnya. Ia
lalu menghidupkan mesin mobilnya dan meninggalkan rumah itu. Begitu deru
mobil itu tidak terdengar lagi Zul masuk dan langsung duduk di sofa.
Mari
langsung menghambur bersimpuh menangis di kaki Zul. Mari menangis
terisak-isak mengucapkan rasa terima kasih dengan terbata-bata. Zul
terpana sesaat seakan hilang kesadaran. Ia mematung tak tahu harus
berbuat apa menerima luapan keharuan Mari yang ditumpahkan sepenuhnya
kepadanya. Beberapa saat kemudian kesadarannya pulih kembali.
"Mbak Mari sudahlah. Tolong Mbak bangkit ke kamar dan merapikan pakaian Mbak!" Ucap Zul pelan.
Mari
menghentikan isakannya. la melihat tubuhnya sendiri. Barulah ia
menyadari ada bagian tubuhnya yang seharusnya tertutupi tapi tidak
tertutupi. Baju yang seharusnya menutupi aurat itu sobek. Dan penutup
aurat di bawah baju telah putus dan tidak lagi menempel di badannya. Ia
tidak menyadari hal itu sebelumnya karena ketegangan dan ketakutan luar
biasa.
Begitu sadar muka dan perasaannya berubah seketika, dari haru
menjadi malu. Mari langsung melindungi bagian itu dengan menutupkan
bajunya yang sobek, lalu menyilangkan kedua tangannya ke dada. Kemudian
ia bangkit dan bergegas ke kamarnya. Ia menundukkan kepalanya
dalam-dalam, menunjukkan bahwa ia malu luar biasa.
Zul menarik nafas
dalam-dalam. Ia memejamkan kedua matanya. Punggungnya ia sandarkan
sepenuhnya ke sofa. Ia tak membayangkan akan pernah berkelahi dengan
penjahat yang hendak memperkosa seorang wanita seperti yang baru saja
terjadi. Ia jadi teringat keinginannya yang sangat kuat untuk pergi ke
rumah ini. Keinginan yang tidak bisa ditepisnya sama sekali.
Rupanya ia harus datang untuk membela orang yang pernah berbuat baik padanya.
* * *
Part Tujuh
Zul
menarik nafas dalam-dalam. Ia masih memejamkan kedua matanya sambil
menyandarkan punggungnya ke sofa. Inilah untuk kedua kalinya ia
bertarung dengan penjahat. Dan kali ini ia menang. Ia merasa puas karena
bisa memberi ganjaran setimpal pada penjahat berkepala gundul itu.
Mari
masih berada di dalam kamarnya. Zul kembali menarik nafas. Tiba-tiba ia
merasa ada yang mengalir di ujung mata kanan turun ke pipi. Ia raba.
Darah. Darah itu mengalir dari pelipisnya yang luka. Namun ia yakin luka
itu tidak parah. Paling hanya sobek beberapa senti saja. Ia merasa itu
hanya luka kecil yang dalam beberapa hari akan sembuh.
Mari keluar
dari kamarnya dengan wajah yang lebih cerah. Pakaiannya rapi. Blues
merah muda lengan panjang dengan bawahan celana kulot merah marun. Jika
diperhatikan dengan sedikit serius penampilannya tampak anggun. Ia
menggelung rambutnya dengan sederhana. Sehingga tidak lagi awut-awutan.
Tampaknya ia telah membasuh mukanya, dan telah berusaha menghapus
bekas-bekas tangis dari wajahnya. Meskipun tidak benar-benar berhasil.
Zul
masih memejamkan mata sehingga tidak menyadari ketika Mari keluar dari
kamarnya dan memandangnya beberapa saat lamanya. Posisi Zul membelakangi
pintu kamar Mari. Sehingga Mari tidak melihat Zul dari depan. Mari
mendekat. Dan ketika melihat wajah Zul ia kaget.
"Zul, kau luka Zul! Kau berdarah Zul, ya Allah ya Rabbi!" Ucap Mari setengah berteriak.
Zul mengerjapkan matanya. Dan langsung menyahut,
"Ah tidak apa-apa kok Mbak. Cuma luka kecil saja."
"Tapi darahnya sampai mengalir ke dagu begitu. Harus segera diusap dan dibersihkan. Sebentar Zul."
Mari kembali ke kamarnya. Ia mengambil kapas dan obat merah.
"Sini Zul biar aku bersihkan dan aku obati!" Kata Mari lagi sambil membawa kapas dan obat merah.
"Tidak usah Mbak. Sini kapas dan obat merahnya biar aku obati sendiri. Sekalian aku mau ke kamar kecil."
Sergah Zul.
Mau
tidak mau Mari menyerahkan kapas dan obat merah pada Zul. Saat itu Mari
ingin sekali mengusapkan dan membersihkan darah orang yang telah
membela kehormatannya. Ia rasanya ingin langsung membalas segala
kebaikan Zul. Mari memandangi Zul yang melangkah ke kamar kecil dengan
pandangan yang susah untuk diartikan. Pandangan merasa berhutang budi,
sayang, kagum, kasihan, juga cinta.
Zul mengusap lukanya dengan kapas. Lalu membasuh dengan air. Darah dari lukanya mulai berhenti.
Setelah
mengeringkan lukanya itu dengan kapas, ia mengobatinya dengan obat
merah. Setelah itu ia keluar. Mari menunggunya di sofa. Ia duduk tak
jauh dari Mari.
"Harus bagaimana aku berterima kasih padamu Zul?" Mari mengawali pembicaraan.
"Tak
perlu berterima kasih pada saya Mbak. Saya hanya melakukan apa yang
seharusnya saya lakukan. Itulah kewajiban manusia jika melihat
kemungkaran."
Tiba-tiba Mari terisak-isak,
"Kau telah
menyelamatkan kehormatanku Zul. Kalau tadi tidak ada kau, entah apa
jadinya diriku saat ini. Mungkin aku telah bunuh diri Zul!"
"Berterima kasihlah pada Allah Mbak. Allahlah yang menggerakkan kedua kaki saya untuk bertandang ke sini pagi ini."
Mari
sepertinya tidak mendengar kalimat yang diucapkan Zul. la menundukkan
mata dan larut dalam tangisnya. Dadanya dipenuhi rasa haru dan rasa
syukur yang membuncah-buncah. Beberapa saat lamanya hanya isak tangis
Mari yang terdengar. Zul hanya bisa diam di tempatnya.
"Terima kasih
Zul, kau telah menyelamatkan kehormatan dan kesucianku. Kehormatan yang
selama ini aku jaga mati-matian. Tanpa kehormatan itu aku merasa akan
hidup sia-sia. Aku sangat berhutang budi padamu."
Mari kembali
mengucapkan rasa terima kasih dengan sepenuh jiwanya pada Zul. Zul bisa
merasakan itu. la hanya bisa menjawab pelan,
"Ingatlah Allah Mbak. Berterima kasihlah pada Allah."
"Iya Zul, iya. Allah masih menyayangiku Zul. Allah masih menyayangiku."
"Iya Allah masih menyayangi Mbak. Dan semoga terus menyayangi Mbak."
"Allahlah yang mengatur kau datang tepat pada wakrunya."
"Iya Allahlah pengatur kehidupan ini Mbak."
"Aku tak pernah menyangka penjahat itu bisa datang ke rumah ini. Sungguh aku sama sekali tidak menyangka."
Guman Mari sambil mengangkat muka dan menghapus airmatanya.
"Bagaimana ceritanya, semua ini bisa terjadi Mbak.
Dan Mbak kok di rumah? Apa Mbak sedang libur?"
"Begini
lho Zul ceritanya. Sebenarnya aku tidak libur. Pagi ini aku mencuci
sampai jam delapan. Aku mau berangkat kerja jam sembilan. Teman-teman
sudah berangkat pukul setengah delapan. Kira-kira jam sembilan kurang
seperempat aku sudah siap untuk berangkat. Tiba-tiba hujan turun deras
sekali. Aku mencari-cari payung tidak ada. Aku baru ingat kalau payungku
dipinjam sama temanku yang tinggal di Kelana Jaya. Akhirnya aku telpon
ke kantor tempat aku kerja untuk dijemput. Ternyata tidak ada mobil yang
nganggur. Semuanya sedang dipakai. Tapi pihak kantor juga bilang, jika
ada mobil nganggur akan segera "Karena hujan sangat deras, aku diminta
tetap di rumah saja. Jika terpaksa tidak ada mobil, aku diberi ijin
untuk datang setelah Zuhur. Bahkan boleh libur.
Akhirnya aku santai
di ruang tamu ini dengan tetap memakai pakaian yang biasa aku gunakan
kerja. Pukul sepuluh kurang sepuluh menit aku mendengar mobil menderu.
Lalu orang mengetuk pintu. Aku tidak curiga sedikit pun. Kukira itu
adalah orang kantor yang datang menjemputku.
"Tanpa curiga, aku
langsung membuka pinta lebarlebar. Alangkah terkejutnya diriku ternyata
yang datang adalah si Warkum. Aku hendak menutup pintu kembali, tapi
sudah terlambat. la berhasil menerobos masuk bahkan langsung mengunci
pintu itu. Lalu ia memintaku untuk menuruti keinginan nafsunya. Jelas
aku menolak. Aku lebih baik mati daripada menyerahkan kehormatanku
padanya. Ia kalap. Amarahnya memuncak. Pandanganya buas bagaikan
serigala liar yang kelaparan. la berusaha memangsaku. Aku terus melawan
sekuat tenaga. Aku berusaha mempertahankan kehormatanku sekuat tenaga.
Prinsipku lebih baik mati daripada diperkosa.
"Aku terus melawan. Namun aku adalah seorang perempuan, tenagaku tak sebanding dengan tenaganya.
Kekuatanku
tak mampu menandingi kekuatannya. Aku nyaris tidakberdaya karena
kehabisan tenaga. Dan dia nyaris mendapatkan apa yang diinginkannya.
Tiba-tiba kau datang.
"Kau datang dan membuat bajingan itu
terpelanting. Awalnya aku kira kau adalah malaikat utusan Tuhan yang
menyambar penjahat itu dengan cemeti mahasaktinya. Malaikat yang
diturunkan Tuhan karena rintihan doaku di saat paling kritis. Malaikat
dalam arti sebenarnya. Ternyata bukan, yang datang bukan malaikat tapi
manusia. Mahakuasa Allah."
Mari kembali terisak-isak.
Zul diam mematung di tempatnya.
"Dik bagaimana ceritanya kok kau bisa kemari pagi ini dan bagaimana kau bisa membuka pintu itu? Dengan apa kau membukanya?"
Zul
menarik nafas, lalu dengan tenang menceritakan kronologisnya bisa
sampai di rumah itu. Tentang keinginannya untuk datang ke rumah itu.
Keinginan yang muncul tiba-tiba pagi itu dan seolah tidak bisa
ditolaknya. la juga bercerita tentang kunci Linda yang masih di
tangannya. Mari mendengarkan cerita Zul dengan seksama dan dengan mata
berkaca-kaca. la merasakan kasih sayang yang dicurahkan oleh Allah
kepadanya.
"Siapakah yang menghadirkan keinginan untuk datang kemari
itu kalau bukan Allah Mbak? Dan siapakah yang menghadirkan keberanian
dalam dada ini untuk bertarung dengan penjahat itu kalau bukan Allah?
Dan siapa yang menolong saya memenangkan pertarungan tadi kalau bukan
Allah?"
Airmata Mari kembali meleleh.
Zul diam. Sesaat lamanya ruangan itu diselimuti kesunyian.
"Tetapi
Zul, walau bagaimana pun aku sangat berhutang budi padamu Zul.
Bagaimana aku harus membalasnya?" Lirih Mari seraya mengangkat muka
memandang wajah Zul. Zul memandang ke arah Mari, lalu menarik
pandangannya ke lantai.
"Sudahlah Mbak. Aku merasa tidak berbuat
apa-apa selainmelakukan kewajibanku sebagai seorang manusia yang melihat
kezaliman di depan mata. Mbak jangan mengatakan hal seperti itu lagi."
"Kau harus tahu sesuatu Zul. Agar kau tahu betapa aku sangat berhutang padamu."
"Sesuatu itu apa Mbak?"
"Si
W tadi itu, ia datang mengatakan ingin meminta haknya sebagai seorang
suami. Haknya yang katanya belum pernah aku berikan padanya setelah dia
menikahi aku dan membayar mas kawin padaku."
"Aku tidak paham maksudnya Mbak."
"Maaf,
biar aku perjelas. Pada hari aku menikah dengannya itu, aku sedang
datang bulan. Jadi ia tidak menjamah kesucianku. Biasanya aku datang
bulan lebih satu minggu. Lha seminggu kemudian, artinya seminggu setelah
akad nikah ia pergi ke Jakarta, dan saat itu aku masih dalam kondisi
datang bulan. Jadi ia sama sekali belum menjamah kesucianku.
"Seperti
yang dulu pernah kuceritakan kepadamu. Kalau tidak salah aku pernah
cerita padamu Zul. Dia pergi ke Jakarta dengan alasan bisnis. Ternyata
beberapa hari kemudian ia tertangkap dalam kondisi over dosis di sebuah
hotel. Ia masuk penjara. Dan aku kemudian tahu semua kejahatannya. Saat
itu aku mengajukan gugatan cerai.
Tak bisa ditawar lagi, karena aku
tidak mau punya suami seorang penjahat yang kejahatannya benar-benar
telah melampaui batas. Jadi meskipun aku telah menikah sejatinya
kesucianku belum pernah dijamah oleh suamiku. Dan sampai hari ini
mahkota kesucianku belum tersentuh oleh siapapun. Statusku memang janda,
tapi kesucianku masih utuh. Sumpah demi Allah, Zat Yang Mahatahu. "Kau
harus tahu Zul, selama ini betapa mati-matian aku menjaga mahkota ini.
Betapa mati-matian aku menjaga iman ini. Godaan, bujuk rayu datang
setiap saat. Alhamdulillah aku kuat. Tiba-tiba si W itu datang mau
merenggut mahkota itu. Dan mahkota kesucian yang lebih berharga dari
nyawaku sendiri itu nyaris ternistakan, kalau saja kau tidak datang.
Inilah Zul sesungguhnya yang aku alami. Inilah Zul yang kau harus tahu,
kau telah menyelamatkan kesucianku, kegadisanku. Aku benar-benar
berhutang padamu."
Mendengar cerita Mari, hati Zul bergetar. Tanpa ia
sadari airmatanya meleleh. Ada rasa kebahagiaan yang sangat halus yang
menyusup begitu saja ke dalam hatinya. Rasa bahagia sekaligus rasa
bangga karena ia bisa menyelamatkan kesucian seorang wanita. Ia berharap
apa yang dilakukannya itu dinilai ibadah oleh Allah. Dan apa yang
dilakukannya itu bisa menghapuskan dosa-dosanya saat ia masih remaja
dulu. Ia kembali teringat saat SMA, saat ia pacaran dengan gadis
tetangga desa. Saat itu ia nyaris melakukan perbuatan yang menistakan
kesucian gadis itu. Untunglah saat itu tidak terjadi, karena terhalang
oleh keadaan yang tidak memungkinkan. Ia meneteskan airmata, bersyukur
kepada Allah, bahwa kesucian dirinya pun masih belum ternista.
"Mintalah
apa saja padaku Zul, selama itu tidak dosa dan aku mampu aku akan
memenuhinya." Ucap Mari dengan suara jelas tanpa isak tangis.
'Aku
tidak minta apa-apa Mbak. Cukuplah Mbak terus menjaga diri Mbak,
kesucian Mbak, dan Mbak terus mendekatkan diri kepada Allah serta
berusaha menjadi wanita salehah selamanya, itu akan membuat apa yang aku
lakukan hari ini bermakna dan tidak sia-sia."
"Baik Zul, aku akan berusaha sebisanya. O ya sampai lupa, aku buatkan minuman ya? Mau minum apa Zul?"
"M...tidak usah repot-repot Mbak."
'Ah tidak repot kok Zul."
Zul
melihat jam di dinding. Ia merasa sudah terlalu lama di rumah itu. Ia
teringat bahwa ia harus ke kampus. Ada janji dengan seorang teman. la
bangkit dan memanggil Mari yang sudah melangkah ke dapur.
"Mbak Mari!"
"Ya." Mari menghentikan langkah dan menoleh.
"Tak usah bikin minum Mbak. Saya harus pamitan. Saya ada janji dengan seorang teman habis Zuhur."
"Tidak bisa ditunda barang satu dua menit Zul."
"Maaf Mbak. Saya benar-benar harus pamit. O ya saya hampir lupa saya mau mengambil barang-barang saya. Dan ini kuncinya Linda."
"Ya sudah kalau begitu. Sebentar saya ambilkan barang-barangmu."
Mari masuk ke dalam dan mengeluarkan barangbarang milik Zul dari kamarnya.
"Ini kan Zul? Ada yang lain?"
"Tidak Mbak, itu saja."
Zul
mengambil tas jinjing yang berisi kekayaan pribadinya yang sebenarnya
jika dilihat tidaklah terlalu berharga. Hanya beberapa pakaian, handuk,
dan mushaf kecil Al-Quran pemberian Pak Hasan.
"Aku tidak akan pernah melupakan jasamu ini Zul."
"Ah
Mbak, kok bicara seperti itu lagi. Sudah lupakan saja Mbak, anggap saja
saya tidak pernah berjasa apaapa pada Mbak. Baik, saya pamit dulu ya
Mbak. Jaga diri baik-baik."
Zul melangkah keluar rumah. Mari mengikuti sampai pintu. Ketika Zul sampai di gerbang, Mari memanggil namanya.
"Zul!"
Zul
menghentikan langkah dan menoleh ke bela kang. Mari memandanginya
lekat-lekat. Zul meman dang Mari. Wajah Mari tampak pucat dan sayu. "Ya
ada apa Mbak?"
Mari ingin mengatakan sesuatu tapi ia urungkan. la lalu pura-pura bertanya,
"M..m...kau ada nomor hp Zul?"
"Pakai nomor teman saya yang dulu saya gunakan SMS Mbak saja. Masih tersimpan kan?"
"Ya baik. Masih tersimpan."
"Ada yang lain Mbak?"
"Zul, aku takut."
"Takut apa? Takut kalau dia datang lagi?"
"Iya."
"Percayalah
padaku Mbak, dia tidak akan berani datang lagi. Dia sudah kapok! Dia
menganggap aku ini juga preman seperti dia. Jari-jari tangan kanan dan
kaki kanannya sudah hancur! Kalau pun berniat datang mungkin satu bulan
lagi, setelah ia sembuh dari lukanya."
"Tapi aku kuatir dia punya teman."
"Dan
dia juga anggapan aku punya teman banyak. Mbak tidak usah kuatirlah.
Kalau Mbak kuatir, kunci rumah baik-baik. Dan siapkan nomor telpon
polisi. Atau Mbak pindah saja dulu ke rumah teman yang aman. Maaf Mbak
ya saya buru-buru."
"Iya Zul, terima kasih ya."
"Ya. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Mari
berdiri memandangi Zul sampai hilang dari pandangan. Setelah itu ia
memandang ke arah langit yang mulai terang. Hujan telah reda. Gerimis
pun sudah tiada. Mendung mulai pudar. Dan matahari seolah ingin menyibak
awan. Mari berulang kali memuji kekuasaan Tuhan. Ia lalu masuk rumah.
Menutup pintu dengan rapat. Sayup-sayup, dari surau lirih terdengar
suara azan
* * *
Part Delapan
Zul
mondar-mandir di ruang tamu. Penghuni flat itu semua telah tidur. Namun
Zul tidak bisa tidur. Malam itu setelah kejadian di rumah Mari, Zul
selalu terbayang wajah Mari. Ia kembali merasakan apa yang dulu pernah
ia rasakan saat remaja. Sejak pertama bertemu dengan Mari, ia sebetulnya
telah terpikat oleh kehalusan tutur katanya. Juga perhatian, kepekaan
dan jiwa sosialnya.
Namun itu semua tidak berpengaruh apa-apa dalam
hatinya. Mari masih ia anggap sebagai perempuan biasa yang ia kenal di
jalan. Tapi setelah kejadian siang itu.
Setelah apa yang ia alami, ia
lihat dan ia ketahui rasa sayangnya pada Mari merasuk begitu saja ke
dalam hatinya. Rasa sayang yang lebih dari biasa. Bahwa Mari begitu
teguh menjaga kesuciannya itulah yang paling membekas di dalam hatinya.
Ia sudah banyak mendengar cerita tentang tenaga kerja wanita Indonesia
di Malaysia yang tidak lagi menjaga kehormatannya. Sudah menjadi rahasia
umum bahwa tidak sedikit tenaga kerja wanita yang bekerja di
kilangkilang12 juga berprofesi menjajakan tubuhnya selepas bekerja. Tapi
Mari tetap menjaga kehormatan dan kesuciannya. Dengan label janda yang
dilekatkan pada dirinya, dan parasnya yang tidak bisa dikatakan jelek,
tentulah itu perjuangan yang luar biasa. Ia sangat yakin, bahkan haqqul
yakin, kalau Mari tidaklah berkata dusta. Dalam kondisi shock seperti
itu kejujuranlah yang lazim keluar dari diri anak manusia. Ia merasa
Mari adalah perempuan yang berkarakter, dan sanggup menjadi perempuan
yang luar biasa. Itulah yang membuat hatinya condong pada Mari.
Ia
bingung harus berbuat apa? Ia sudah dewasa. Dan Mari juga sudah dewasa.
Tidak mungkin lagi ia hanya mengutarakan bahwa hatinya condong pada
Mari.
Mengutarakan itu artinya siap berumah tangga. Ia sudah tahu
hukum bermain hati pada perempuan yang tidak halal dari Yahya. Itu dosa.
"Hati
pun, kata Nabi, bisa berzina." Kata-kata Yahya itu seolah
berdengung-dengung dalam pikirannya. Tapi bayangan Mari, juga suaranya,
seolah terus menghampirinya. Sempat terbersit dalam pikirannya untuk
berterus terang pada Mari dan mengajaknya menikah. Lalu hidup sederhana
apa adanya di Kuala Lumpur sambil kuliah. Toh, banyak mahasiswa yang
berkeluarga dan hidup apa adanya di Kuala Lumpur.
Tapi tiba-tiba ada semacam keraguan dalam hatinya.
Ia kuatir jika ia menikah akhirnya kuliahnya tidak selesai.
Ia
jadi sibuk memikirkan hidup keluarga. Apalagi kalau nanti punya anak.
Ia bisa hidup nekat. Makan sehari pun bisa, tapi anak yang masih bayi
apa bisa? Sementara ia masih hidup sangat pas-pasan untuk makan,
membayar sewa aparteman dan kuliah. Padahal jika berkeluarga ialah yang
harus menanggung sepenuhnya sewa rumahnya. Sekarang ia yang menyewa
bersama temantemannya
saja, masih terasa berat membayarnya.
Hutangnya pada Pak Muslim untuk membeli sepeda motor juga belum lunas.
Ia
sempat berpikir bahwa Mari juga bekerja dan bisa meringankan beban. Ia
langsung menjawab sendiri bahwa tugas memberi nafkah adalah tugas suami.
Andai pun Mari bekerja ia tidak tahu berapa gajinya. Ia juga tidak tahu
sanggupkah Mari tetap bekerja jika misalnya hamil. Ia sampai sudah
begitu jauhnya memikirkan jika Mari hamil segala. Ia menegaskan pada
dirinya jika ia menikahi Mari ia tidak bisa menggantungkan nasibnya pada
Mari. Alangkah jahatnya dia jika menikahi Mari karena merasa aman,
sebab Mari juga bekerja. Apakah itu namanya bukan eksploitasi? Mari
nanti bekerja.
Mengerjakan pekerjaan rumah tangga lazimnya perempuan
di Indonesia. Mengurus anak. Jika itu yang terjadi ia merasa tidak
menjadi seorang suami yang benar.
Ia juga sempatberpikir untuk
mengajak Mari pulang ke Indonesia dan hidup apa adanya di Indonesia.
Buat apa hidup lama-lama di negeri orang. Tapi akal logikanya seolah
mencercanya habis-habisan: "Buat apa susah payah datang ke negeri orang?
Katanya mau mengubah takdir? Menyiapkan masa depan yang gemilang? Kalau
kau pulang hanya dengan berhasil menikahi perempuan seperti Mari, tidak
harus jauh-jauh ke Malaysia. Tidak harus berdarah-darah melewati
pergulatan hidup di Semarang, Jakarta, Batam dan Kuala Lumpur. Perempuan
seperti Mari di desamu juga banyak! Kalau kau pulang dengan belum
meraih kegemilangan yang dicitakan, maka kelak kau akan ditertawakan
oleh anak turunmu. Mereka akan mengingatmu dengan sinis; 'Kakek kita
gagal menyelesaikan studinya karena tergoda oleh seorang tenaga kerja
wanita di Malaysia. Inilah yang membuat kita tetap sengsara! Coba kalau
kakek kita dulu orang yang teguh, tekun dan tidak mudah digoda wanita,
mungkin kita akan bernasib lebih baik! "
Zul termenung. Dialog
batinnya tidak membuat bayang-bayang Mari hilang. Wajah sayu yang
memancarkan aura ketulusan itu, cerita hidupnya, ucapan terima kasih
kepadanya yang diulang berkali-kali dari hati yang dalam. Itu semua
sangat membekas di dalam hatinya.
Jarum jam dinding di ruang tamu
menunjukkan pukul dua. Zul tidak tahan. Malam itu ia mem bangunkan
Rizal, ingin meminjam hand phonenya. Ia ingin menelpon Mari. Ia tidak
kuasa membendung bara cinta yang membuncah di dalam dadanya.
Rizal bangun sambil mengucek-ucek kedua matanya.
"Ada apa Zul?"
"Hand phone-mu mana? Aku mau pinjam?"
"Aduh Zul, hand phone-ku hilang tadi siang."
"Hilang?"
"Iya. Mungkin jatuh atau dicopet orang di Pur duraya. Pinjam Mas Yahya saja."
"Segan."
"Ya udah kalau begitu menelpon di wartel saja besok pagi."
"Iya dah."
Zul
kecewa berat. Ia harus menunggu pagi untuk bisa menghubungi Mari. Malam
itu ia hanya mondarmandir di ruang tamu. Sesekali membuka koran usang
yang sudah berkali-kali ia baca. Atau membaca-baca Majalah I, majalah
Islam terbitan Malaysia yang sudah lusuh, yang ia hampir hafal isinya.
Itulah yang dilakukannya malam itu sampai Subuh tiba.
* * *
Setelah
shalat Subuh Zul langsung mencari wartel yang buka. Semua masih tutup.
Di flatnya selain Rizal dan Yahya, Pak Muslim juga punya hand phone.
Tapi ia segan meminjamnya. Selama ini jika ia ingin nelpon ke mana saja
ia selalu menggunakan wartel. Ia sudah merencanakan untuk membeli hand
phone tapi belum juga kesampaian. Dengan langkah gontai Zul kembali ke
flat. Wajahnya pucat. Auranya sayu. la tampak seperti orang yang sedang
sakit. Yahya yang sangat peka bisa menangkap perubahan yang terjadi pada
teman satu kamarnya. Dengan ketulusan seorang sahabat ia mengajak Zul
bicara.
"Sepertinya kau sedang ada masalah atau kau sedang sakit Zul?"
"Tidak ada apa-apa kok Mas?"
"Kalau
kau tidak menganggapku sebagai orang lain bicaralah padaku. Tapi kalau
kau masih menganggapku orang lain, orang asing bagimu, ya
berpura-puralah tidak ada masalah padaku." Yahya langsung terus terang.
Akhirnya
Zul berterus terang bahwa ia sedang merasakan rasa rindu dan cinta pada
seorang perempuan. "Siapa perempuan itu? Mahasiswi UM kah?"
"Namanya Mar. Siti Martini. Dia bukan mahasiswi tapi seorang karyawati sebuah perusahaan."
"TKW
maksudmu?" Yahya berusaha memperjelas. Pertanyaan itu agak menyinggung
Zul. Ia seperti tidak rela Mari dilabeli TKW. Tapi memang itu kenyataan
yang ia tahu. Jadi ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengiyakan.
"Iya Mas."
"O, Siti Martini yang pernah kauceritakan dulu itu. Yang satu bus dari Larkin ke Purduraya itu?"
"IyaMas."
"Di sini mahasiswi banyak lho Zul, kenapa kaupilih TKW?"
Pertanyaan Yahya itu kembali menggores hatinya.
Ia
ingin menjelaskan semuanya, tapi tidak sampai. Ia tidak bisa
menjelaskan detil apa yang ia alami dengan Mari pada sahabatnya yang
paling dekat itu. Ia tidak sampai hati untuk membuka kejadian kemarin
siang di rumah Mari. Ia juga tidak bisa menjelaskan pesona dan aura yang
dimiliki Mari. Ia akhirnya menjawab dengan jawaban yang klasik,
"Tidak
tahu Mas. Namanya juga jatuh cinta. Aku melihat diabaik. Dan menurutku
mahasiswi tidak secara otomatis lebih baik dari TKW. Banyak yang
sekarang TKW, mungkin kelak jadi orang yang memberi penghidupan pada
mahasiswa atau mahasiswi. Dan banyak mahasiswi yang akhirnya jadi TKW.
Itu kan cuma label-label saja Mas."
Yahya tersenyum,
"Kau memang
sedang jatuh cinta. Dari jawabanmu aku tahu kau sangat membela dia. Ya
sah-sah saja kau mencintai dia. Siapapun dia. Asal menurutmu cocok dan
baik ya sah-sah saja. Memang benar manusia tidak bisa dinilai dari label
atau julukan yang disandangnya. Yang menentukan manusia itu ini lho.
Ininya!" Kata Yahya sambil menunjuk dadanya.
"Iman dan takwanya. Agamanya." Lanjut Yahya.
"Itu
tukang sapu di jalan yang setiap hari bergelut dengan sampah bisa jadi
ia lebih baik di mata Allah daripada Guru Besar Tafsir jebolan
universitas terkenal di Timur Tengah. Di mata Allah belum tentu.
Keikhlasan seseorang hanya Allah yang tahu. Bisa jadi tukang sapu itu
sangat tahu diri kedhaifan dirinya sebagai makhluk Allah maka tidak ada
rasa sombong dalam hatinya. Dan Guru Besar Tafsir bisa jadi karena
merasa hebat, ada satu zarrah rasa sombong dalam hatinya. Ketika ketemu
tukang sapu Guru Besar itu merasa lebih terhormat dari tukang sapu. Itu
kan sombong. Sebaliknya tukang sapu justru menghormati Guru Besar itu
karena tahu dirinya tidak berilmu dan Guru Besar itu punya ilmu. Berarti
tukang sapu itu tahu kadar dirinya. Tidak sombong. Jika seperti itu
bisajadi tukang sapu lebih mulia di mata Allah daripada Guru Besar
Tafsir itu." Terang Yahya panjang lebar.
"Jadi tidak salah saya jatuh cinta pada TKW itu Mas?"
"Jatuh
cinta tidak salah. Kau mau memilih siapa pun tidak salah. Asalkan tetap
menjaga diri di jalan yang diridhai Allah. Apa kau sudah benar-benar
siap untuk menikah Zul?
Zul diam mendengar pertanyaan itu. la tidak
bisa menjawab mantap. Akhirnya Zul menjelaskan kebimbangan hatinya.
Antara mantap dan tidak mantap. Halhal yang berkelebat dalam hati dan
pikirannya ia sampaikan kepada Yahya.
"Jadi kemarin kau ke rumah Siti Martini itu?"
"Iya, mengambil barang-barang saya yang masih tertinggal di sana?"
"Kau bertemu dia dan setelah itu kau merasa jatuh cinta?"
Zul mengangguk malu. Ia seperti sedang dihakimi. Yahya malah tersenyum.
"Kau sedang terkena sihir Zul."
"Terkena sihir apa Mas?"
"Kau sedang terkena sihir nafsu syahwatmu. Aku bisa memastikan kau agak berlama-lama berbicara dengan dia. Aku yakin itu."
"Benar."
"Wajar."
"Maksudnya wajar, wajar bagaimana?"
"Setan
telah menghiasi perempuan itu sehingga tampak olehmu pesonanya,
keindahannya, auranya, kebaikannya dan lain sebagainya yang membuatmu
cenderung kepadanya. Tahukah kau Zul, saya pun bisa lebih parah darimu.
Bahkan seseorang yang kuat imannya jika berduaan dengan perempuan yang
ia tahu perempuan ia berpenyakit sekalipun bisa luntur imannya. Bahkan
bisa melakukan perbuatan nista dengan perempuan itu. Karena apa? Karena
perempuan itu dirias dan dihiasi oleh setan. Ditambah nafsu yang ada
dalam diri lelaki itu. Maka terjadilah apa yang seharusnya tidak
terjadi."
"Jadi apa yang aku rasakan ini nafsu syahwat?"
"Betul. Jujurlah pada dirimu. Kau pasti telah melihat hal yang semestinya tidak kau lihat pada perempuan itu, iya kan?"
Zul malu mengakuinya.
"Ingat
Zul seluruh tubuh perempuan yang sudah akil balig itu aurat kecuali
muka dan tepak tangannya. Jika ia perempuan yang cantik, yang
kecantikannya itu menarik lawan jenisnya maka mukanya juga jadi aurat
yang harus ditutupi. Artinya tidak boleh dilihat. Jikalau engkau
mencintai wanita karena melihat yang seharusnya ditutupi maka berarti
kau ada nafsu dengannya. Yang bergerak dalam aliran darahmu dan
syaraf-syarafmu itu adalah nafsu dan syahwat. Jika seperti itu, kau
tidak jauh berbeda dengan ayam jago yang langsung mengejar ayam betina
setelah melihat keelokan ayam betina."
"Tapi bukankah manusia hampir semuanya begitu Mas?"
"Ya
benar. Maka tidak berlebihan jika para filosof menyebut manusia sebagai
hayawanun nathiqun. Binatang yang berbicara. Manusia itu binatang,
hanya saja ia bisa bicara. Bisa berkata-kata. Itulah definisi manusia
yang hanya mengutamakan nafsunya saja. Nafsu jadi panglimanya. Nafsu
jadi timbangannya. Dan nafsu itu tidak hanya nafsu pada perempuan saja.
Termasuk juga nafsu pada kemewahan dunia. Al-Quran menjuluki manusia
yang seperti itu dengan kalimat:
'Mereka seperti binatang ternak,
bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.'13
Orang-orang yang dikendalikan oleh nafsunya adalah orang yang lengah.
Orang yang tidak memiliki rusyd, atau kesadaran penuh. Orang seperti itu
yang akan rugi di mana pun dia berada. Ia akan mudah dicocok hidungnya
oleh setan untuk dijerumuskan ke dalam jurang kebinasaan dan
kenestapaan."
"Terus bagaimana cara mencintai lawan jenis yang benar menurut Sampeyan?"
"Mencintai
dengan timbangan fithrah dan bashirah. Mencintai dengan kesucian dan
mata hati. Fithrah dan bashirah yang jadi timbangannya. Yaitu, jika kau
mencintai wanita bukan karena tertipu oleh kecantikan paras wajahnya dan
keelokan benruk tubuhnya. Bukan karena tersihir oleh matanya yang
berkilat-kilat indah seperti bintang kejora. Bukan pula terpikat karena
bibirnya yang ranum segar seperti mawar merekah. Juga bukan karena
keindahan suaranya yang susah dilupakan. Bukan karena hartanya yang
melimpah ruah. Bukan karena kehormatannya, yang kau akan jadi ikut
terhormat karena menikahinya. Jika bukan karena itu semua kau
mencintainya. Tapi kau mencintai dengan memakai timbangan fitrahmu, dan
matabatinmu. Kau mencintai dia karena merasakan kesucian jiwanya dan
agamanya, dan mata batinmu condong karena kecantikan akhlak dan
wataknya. Hatimu terpikat karena harumnya kalimat-kalimat yang keluar
dari lidahnya. Saat itu kau telah mencintai lawan jenis dengan benar."
"Tapi
sulit rasanya Mas aku memakai timbangan fithrah dan bashirah. Hati ini
sepertinya telah tertawan dan terbelenggu oleh sihir Mari."
"Ya aku
tahu. Memang sangat susah membebaskan diri dari belenggu cinta syahwati.
Aku bukannya tidak pernah mengalaminya, aku pernah mengalaminya. Dan
aku nyaris binasa karenanya. Jika bukan karena rahmat Allah aku mungkin
saat ini sudah hancur berbaur tanah di kubur."
"Bagaimana ceritanya Mas. Mungkin bisa jadi cambuk bagiku."
"Malu aku mengingatnya."
"Apa Sampeyan tidak kasihan padaku. Apa Sampeyan ingin aku binasa Mas?"
"Singkat
saja ya. Saat itu aku masih kelas tiga SMA Al Islam Batu, Malang.
Ayahku seorang lurah. Tahun itu ada rombongan KKN dari Unibraw,
berjumlah sepuluh orang. Empat mahasiswa, enam mahasiswi. Tiga mahasiswi
menginap di rumahku. Tiga lain di tempat Pak Carik. Dan empat mahasiswa
menginap di Balai Desa. Di antara tiga mahasiswi yang menginap di
rumahku itu ada yang membuatku tergila-gila. Sebut saja namanya F Aku
benar-benar jatuh cinta padanya. Aku coba tahan untuk menyimpannya dalam
hati diam-diam. Aku tidak tahan. Akhirnya aku ungkapkan padanya.
Ternyata dia menanggapi. Aku kirim surat cinta padanya. Dia membalasnya
dengan surat cinta yang lebih romantis. Sebab dia sudah mahasiswi. Sudah
jauh lebih berpengalaman.
Aku seperti buta. Aku sudah merasa dia
adalah segalanya. Sampai tiba saat perpisahan, karena masa KKN-nya
habis. Sebelum pergi ia berterus terang padaku, bahwa selama ini cuma
main-main. Sebenarnya dia sudah punya tunangan di Surabaya. Hatiku
seperti dibetot dan kepalaku seperti dihantam palu godam. Aku langsung
jatuh sakit. Dua bulan aku dirawat di rumah sakit. Aku bahkan sempat
mencoba bunuh diri. Orang- orang menganggap aku sakit terkena santet.
Aku seperti orang gila Zul. Itulah ceritanya Zul."
"Terus sembuhnya bagaimana Mas?"
"Akhirnya
orangtuaku tahu juga masalahnya. Saat orangtuaku tahu gadis itu sudah
menikah dan bekerja di Jakarta. Kakak perempuankulah yang dengan sabar
menemaniku dan menguatkan aku. Karena sakit itu aku tidak bisa ikut
ujian akhir. Aku benar-benar sembuh setelah aku dibawa ke sebuah
pesantren. Di pesantren itulah karena disibukkan dengan ibadah, zikir,
olah raga dan lain sebagainya lambat laun, ingatanku akan F hilang. Dan
sekarang aku baru menyesal, kenapa dulu aku bisa begitu bodoh dan tolol.
Itulah Zul cinta yang semu sangat menyiksa dan menyakitkan."
Mendengar
cerita Yahya, Zul merasa mendapat sedikit pencerahan. Namun cerita itu
tidak juga bisa mengusir kuatnya pesona Mari yang menempel di
dinding-dinding hatinya. Tapi dari pembicaraannya dengan Yahya ia
memiliki seberkas cahaya yang menerangi gulitanya akal pikirannya karena
diselimuti bayangan Mari.
***
Nun jauh di Subang Jaya
sana. Mari merasakan hal yang tidak jauh berbeda dengan Zul. Bahkan
lebih parah. Jika Zul didampingi Yahya, maka Mari tidak punya pendamping
dan tempat untuk mengungkapkan gelisahnya. Teman-teman satu rumahnya
sibuk bekerja dan ia pandang tidak bisa dijadikan tempat berbagi
perasaan. Mari telah berulang kali menelpon nomor yang pemah diberikan
oleh Zul kepadanya. Nomor itu adalah nomor Rizal. Karena hp Rizal
hilang, maka usaha Mari menelpon Zul jadi sia-sia.
Mari hanya bisa
berharap Zul datang lagi ke sana dan ia akan mengungkapkan perasaan
cintanya kepada Zul. Ia sudah siap menerima apapun keputusan Zul.
Menerimanya ataukah menolaknya. Jika Zul menerimanya, ia berjanji akan
menjadi abdi bagi Zul selama hidupnya. Ia merasa hanya Zul-lah yang
paling berhak mendapatkan pengabdiannya.
Mari selalu mengingat perkataan Zul saat menanggapi ucapannya, "Mintalah apa saja padaku Zul,
selama itu tidak dosa dan aku mampu memenuhinya."
Zul
saat itu berkata, "Aku tidak minta apa-apa Mbak. Cukuplah Mbak terus
menjaga diri Mbak, kesucian Mbak, dan Mbak terus mendekatkan diri kepada
Allah serta berusaha menjadi wanita salehah selamanya, itu akan membuat
apa yang aku lakukan hari ini bermakna dan tidak sia-sia."
Kata-kata
Zul itu seolah ia jadikan pedoman hidup. Ia berjanji pada diri sendiri
untuk terus mendekatkan diri kepada Allah dan menjadi wanita salehah
yang sebenarnya. Ia mengawali dengan menutup rambutnya dengan jilbab.
Jilbabnya modis. Cara berpakaiannya pun masih modis. Masih memakai
celana jeans dan kaos ketat. Tapi ia terus berusaha. Ia rajin datang ke
majelis taklim yang ia ketahui. Setiap ia mendapatkan tambahan ilmu
agama, ia berusaha mengamalkan sebaik-baiknya. Berminggu-minggu setelah
itu, ia masih terus berusaha menelpon nomor yang ia terima dari Zul,
tapi tidak juga berhasil. Dan Zul tidak juga muncul, tidak pula
menelpon. Ia tetap bertahan dan sabar. Ia tetap berusaha untuk sedekat
mungkin dengan Allah. Sesuai dengan pesan Zul yang telah terpahat kuat
dalam relung hatinya.
* * *
Part Sembilan
Dua
bulan berlalu sejak Yahya mengajak Zul berbicara dari hati ke hati.
Yahya berharap Zul bisa menemukan kesadaran prima dan semangat
membaranya kembali seperti ketika awal-awal tinggal di flat itu. Namun
harapan Yahya belum menjadi kenyataan. Kenyataannya Zul tetap banyak
murung dan melamun. Tidak gesit dan semangat dalam bekerja, berusaha,
dan belajar.
Seringkali Yahya menemukan Zul hanya tidur di kamar satu
siang penuh, padahal ia yakin Zul ada jadwal kuliah dan kerja. Yahya
biasanya mengingatkannya dengan bahasa sehalus mungkin, namun Zul
seperti tidak mendengar apa-apa. Yahya beberapa kali menyarankan pada
Zul jika memang harus mendapatkan Mari, kenapa tidak secara jantan
menemui dan mengajaknya menikah. Obat paling mujarab untuk orang yang
sakit karena cinta adalah menikah. Tapi Zul gamang dengan dirinya
sendiri. Keraguan mengambil langkah telah membuatnya seperti orang yang
kehilangan cahaya kehidupan. Keadaan Zul yang sedang sakit karena cinta
itu menjadi perhatian dan keprihatian semua penghuni flat itu.
Pak
Muslim merasa kuatir keadaan Zul semakin parah. Jika parah, maka bisa
berpengaruh pada suasana rumah. Sudah dua bulan Zul tidak membayar uang
sewa rumah. la minta dipinjami dulu. Namun ia bekerja tidak seserius
dulu. Seolah bekerja seingatnya saja. Jika ingat bekerja, jika tidak ya
tidak bekerja. Pak Muslim juga kuatir Zul tidak bisa mengikuti ujian
semester depan jika sering bolos kuliah. Suasana rumah terasa mulai
tidak nyaman. Maka Pak Muslim sebagai yang paling tua berinisiatif
mempertegas sikap Zul. Jika ingin serius kuliah maka ia harus segera
bangkit dan merubah sikap. Jika sudah tidak ingin kuliah, ia melihat Zul
sebaiknya mencari tempat yang lain. Sebab kemalasan Zul bisa merusak
situasi rumah yang selama ini nyaman dan kondusif untuk belajar.
Pak
Muslim tidak mau perkataan najis satu tetes merusak kesucian air satu
gentong terjadi di rumah itu. Dan tidak ada najis yang paling merusak
kesucian umat yang ingin berprestasi kecuali kemalasan. Ia tidak mau Zul
jadi najis itu. Zul harus diselamatkan. Jika Zul tetap memilih jadi
najis itu maka ia harus disingkirkan agar tidak merusak kesucian
semangat orang satu rumah.
Pagi itu setelah shalat Subuh Pak Muslim membangunkan Zul yang masih mendengkur di kamarnya.
Berbeda
sekali Zul yang dulu dengan Zul saat itu. Zul saat awal-awal datang
dulu sudah bangun sebelum Subuh tiba dan selalu di shaf pertama. Tapi
Zul saat itu adalah Zul yang harus berkali-kali diingatkan dan
dibangunkan baru shalat Subuh dengan wajah malas tanpa cahaya.
Begitu
Zul selesai shalat Pak Muslim langsung memanggil Zul ke kamarnya.
Dengan menunduk Zul masuk ke kamar dosen Universitas Negeri Yogyakarta
yang mengagumi pemikiran-pemikiran Muhammad Iqbal.
"Duduk sini Zul!"
Pak Muslim mempersilakan Zul duduk di kursi yang ada tepat di depannya.
Setelah Zul duduk, Pak Muslim langsung menutup pintu kamarnya.
"Zul, sudah tiga bulan ini aku lihat kamu sangat berbeda dengan saat kau pertama datang. Apa sebenarnya masalahmu Zul?"
"M...tidak ada masalah Pak. Saya biasa-biasa saja."
"Zul kau masih ingin kuliah?"
"Ya tentu Pak."
"Kau sadar dengan yang kauucapkan?"
"Tentu saja sadar Pak."
"Bagus.
Jika kau ingin tetap lanjut kuliah kau harus bangkit dan mengembalikan
semangatmu. Cukup tiga bulan saja kamu sakit. Ingat Zul, setiap detik
kau berada di Kuala Lumpur ini ada harganya. Dan kau harus membayarnya.
Flat ini kita menyewa. Air yang kaugunakan untuk membersihkan dirimu
saat buang air juga harus dibayar. Kau makan tidak gratis. Kuliah tidak
gratis. Semua ada tagihannya. Jika kau terus malas dan murung seperti
itu kau tidak akan bertahan hidup. Kalau pun kau tetap hidup kau tak
lebih bernilai dari sampah. Sampah masih bisa didaur ulang. Tapi manusia
yang telah mati sebelum mati jauh merepotkan daripada sampah.
"Aku
ingin melihatmu berjaya. Meraih prestasi yang gemilang Zul. Sungguh aku
sangat menginginkan itu. Aku akan membantumu semampuku. Itu jika kamu
mau. Jika kamu tidak mau aku tidak berhak memaksamu. Kau lebih berhak
menentukan jalan hidupmu.
'Aku tahu kau masih sakit. Hatimu masih
dijajah oleh rasa cintamu pada wanita yang kaucintai itu. Ketahuilah
Zul, tak ada dokter yang bisa menyembuhkanmu kecuali kamu sendiri.
Sebagai orang tua, aku hanya bisa memberikan beberapa saran untuk
kebaikanmu dan kebaikan kita bersama.
"Saranku yang pertama Zul, jika
kamu ingin sukses dan berhasil lupakan wanita itu. Jodoh itu tanpa
dikejar, tanpa dibuat bersakit-sakit seperti kau sekarang ini jika tiba
saatnya akan datang juga. Jodohmu sudah ditulis oleh Allah. Kalau
jodohmu memang wanita bernama Siti Martini itu ya nanti Allah pasti akan
mempertemukan kamu dengan dia. Tapi jika jodohmu bukan dia, sampai kau
minta banruan seluruh jin di jagad raya ini untuk membantumu mendapatkan
dia ya kamu tidak akan mendapatkannya.
"Sementara ilmu dan prestasi
juga amal ibadah. Jika tidak kauusahakan dengan serius tidak akan
kauraih. Ilmu tidak bisa kauraih dengan tiduran dan malasmalasan.
Prestasi dan kesuksesan tidak akan kauraih kecuali dengan pengorbanan
penuh pikiran, tenaga dan perasaan. Kalau perlu bahkan nyawa. Tak ada
dalam catatan sejarah ada orang sukses hanya dengan melamun, tidur, dan
banyak angan-angan seperti yang kaulakukan tiga bulan ini. Tak ada
seorang juara di bidang apapun kecuali ia pasti seorang pejuang yang
ulung. Kalau ingin mendapatkan ilmu yang cukup, berprestasi dan hidup
sukses kau harus bangkit, bersemangat, memanfaatkan waktu sebaik-baiknya
dan gigih berjuang. Itulah jalannya orang-orang yang sukses.
"Zul,
godaan wanita adalah godaan utama orang mencari ilmu. Dan fitnah
perempuan adalah salah satu fitnah yang sangat dikuatirkan oleh Nabi
akan melumpuhkan umatnya. Bahkan saat Nabi berdakwah di Makkah, di
antara hal yang ditawarkan orang-orang kafir Quraisy untuk membujuk Nabi
agar menghentikan dakwahnya adalah dengan mengiming-imingi Nabi akan
dinikahkan dengan wanita paling cantik di Arab. Tapi Nabi menolaknya.
"Zul,
siapa pun yang kasmaran, siapa pun yang jatuh cinta seperti kamu saat
ini. Maka akal, pikiran dan perasaannya akan terus terfokus untuk
mendapatkan yang dicintainya. Jika keadaan seperti itu terus berlarut,
maka kewajiban-kewajibannya, tugas-tugas utamanya akan segera
terlupakan. Dan saat itu hanya tinggal menunggu datangnya kebinasaan.
"Sudah
tidak terhitung lagi jumlahnya pelajar dan mahasiswa yang gagal karena
skandal cinta. Tidak terhitung jumlahnya pemimpin besar dunia yang
terpuruk karena skandal cinta. Apakah kau mau menambah panjang daftar
itu dengan memasukkan namamu.
"Penuntut ilmu jika jatuh cinta pada
lawan jenisnya, maka ilmu itu tidak akan bisa melekat pada akal, pikiran
dan hatinya. Sebab akal, pikiran dan hatinya telah dikotori oleh
bayangan semu kekasih hatinya. Ada pujangga Arab yang menulis sajak
begini Zul, Jika aku sedang sibuk dengan gadisku Yang parasnya laksana
cahaya pagi Maka aku enggan memikirkan yang lain "Maka, aku ulangi lagi
saranku yang pertama, jika kamu ingin sukses dan berhasil lupakan wanita
itu. Saat ini berkonsentrasilah sepenuhnya untuk menuntut ilmu. Jika ia
jodohmu selesai S.2 aku doakan semoga bertemu. Dan bertemu dalam
keadaan yang paling baik dan paling barakah. Jika dia tidak jodohmu,
semoga kau dianugerai jodoh yang lebih baik dalam segalanya dari wanita
itu."
Zul diam saja di tempatnya. Ia tidak membantah, juga tidak
mengiyakan. Tapi ia mendengarkan dengan seksama. Pak Muslim jarang
sekali bicara serius seperti ini. Jika Pak Muslim bicara seperti ini
artinya masalah yang terjadi memang sudah parah.
Pak Muslim mengambil
nafas sebentar lalu melanjutkan, "Saranku yang kedua Zul, jika kau
tidak bisa mengikuti saranku yang pertama, aku sarankan kau untuk
mendatangi wanita itu secara jantan. Dan nikahi dia. Luapkan seluruh
cintamu padanya. Dan hiduplah dalam keluarga yang sakinah mawaddah wa
rahmah. Menikah itu jauh lebih baik daripada kau hanya memikirkan dia
siang malam sampai sayu seperti mayat hidup.
"Jika kau memilih saran
yang kedua ini, aku akan membantumu semampuku. Aku akan meminjami modal
untuk pernikahanmu semampuku. Aku bersedia mengantarmu menemui wanita
itu, juga bersedia membantumu menemui keluarganya. Dan jika ini yang
kauambil, aku minta kau jangan berhenti kuliah. Tetaplah lanjutkan
kuliah. Hiduplah sehemat mungkin. Tetaplah bertahan sampai lulus. Kau
harus lebih giatbekerja dan berusaha. Sebab kau tidak hanya menanggung
beban hidup dirimu sendiri, tapi juga menanggung orang lain.
"Jika
saranku yang kedua juga tidak bisa kauikuti, maka aku punya saran
ketiga, yaitu ya terserah kamu. Hiduplah sesukamu. Terus seperti
sekarang juga boleh. Tapi dengan memohon pengertiannya aku minta kau
meninggalkan rumah ini. Bukan kami tidak sayang dan tidak menghargai
kamu. Sama sekali tidak. Kami menghargai kamu, dan cara hidupmu. Tapi
perlu kamu ketahui juga, cara hidupmu yang hanya malas-malasan, banyak
melamun dan berangan-agan itu dapat meracuni kesehatan lingkungan rumah
ini. Cara hidupmu yang mulai tidak memikirkan membayar flat adalah cara
hidup orang yang tidak bertanggung jawab. Itu dapat merusak rasa saling
percaya yang telah tercipta dengan indah di rumah ini. Jika kau pilih
saran yang ketiga ini, kami akan membantumu mengangkatkan
barangbarangmu, juga akan membantumu menemukan tempat yang kauanggap
cocok bagi cara hidupmu. Kau masih boleh bermain ke sini, tapi tak bisa
tinggal di rumah ini. "Itulah Zul, tiga saran yang bisa aku sampaikan
kepadamu. Kau bisa memilih salah satunya. Dan kami tidak keberatan sama
sekali yang mana yang kamu pilih.
Tapi jika boleh berharap saya
pribadi berharap kaupilih yang pertama. Maafkan aku jika harus berlaku
tegas padamu. Untuk sebuah kebaikan ketegasan tidak ada salahnya
dilakukan. Dan ini pun terpaksa aku lakukan setelah melihat
perkembanganmu yang tidak juga menunjukkan ada perbaikan."
Setelah
menyampaikan tiga saran itu, bisa juga disebut tiga opsi untuk Zul, Pak
Muslim diam menunggu reaksi Zul. Keheningan menyelimuti kamar itu sesaat
lamanya. Zul tampak sedang mengolah saran Pak Muslim yang diseganinya
itu. Pak Muslim yang selama ini sangat baik padanya. Bahkan, ia masih
punya hutang beberapa ratus ringgit kepadanya untuk membeli sepeda motor
butut, dan Pak Muslim tidak pernah menyinggungnyinggung hal itu sama
sekali.
"Begini Pak," Suara Zul memecah keheningan. Pak Muslim langsung mengangkat mukanya dan menatap Zul penuh perhatian.
Zul merubah sedikit posisi duduknya lalu menyambung perkataannya,
"Saya
minta maaf dan saya menyesal sekali jika kelakuan saya selama ini
buruk. Dan itu membuat tidak nyaman rumah ini. Saya akui Pak, saya
sedang tidak stabil. Saya berterima kasih sekali atas kesabaran Pak
Muslim dan teman-teman selama ini. Saya juga berterima kasih atas
saran-saran Pak Muslim. Saya telah menimbang ketiga saran itu. Terus
terang saran yang pertama saya rasakan akan berat bagi saya. Saya kuatir
saya akan semakin jatuh, semakin tidak bisa menahan perasaan yang
mendera hati ini. Adapun saran yang ketiga, saya juga berat menerimanya,
sebab saya masih tetap ingin menjadi orang baik dan sukses Pak. Saya
bersyukur bertemu dengan orang seperti Bapak dan teman-teman yang masih
mau mengingatkan dan menasihati. Jika saya pilih yang ketiga, saya rasa
saya akan binasa. Dan jika saya terus begini, Bapak benar, saya akan
binasa.
"Maka saya memilih saran yang kedua Pak. Lebih baik saya menikah saja dengan gadis itu. Dia masih gadis Pak. Dan baik hatinya."
Pak Muslim mengangguk-anggukkan kepala.
"Jadi kau benar-benar akan menikahi dia?"
"Iya Pak."
"Kau mantap?"
"Mantap Pak. Toh sudah saatnya saya menikah. Sekarang atau besok sama saja, saya harus menikah."
"Kau siap dengan segala risikonya?"
"Siap
Pak. Mas Yahya sudah memberikan gambaran yang jelas. Bapak tadi juga
menambahkan penjelasan. Saya harus bagaimana jika menikah?"
"Bagus!
Itu baru lelaki! Kalau begitu kau harus semangat, kau akan menikah Zul!
Kau akan jadi suami! Kau akan jadi kepala rumah tangga! Kau akan jadi
ayah! Ayo semangat!"
"Iya Pak! Saya akan bangkit! Saya akan semangat!"
"Bagus! Kenapa tidak begird sejak dulu-dulu itu Zul, hah!?"
"Jadi Bapak benar-benar mendukung saya menikahi dia?"
"Menikah
kan baik, kenapa tidak saya dukung. Sudahlah, kapan kau akan menemui
dia, aku akan menemani kalau perlu. Dan kapan kau akan melamarnya?"
"Bagaimana kalau aku temui dia besok Pak?"
"Bagus
semakin cepat semakin bagus! Sekarang kau harus melihat kembali
jadwal-jadwalmu. Harus kautata. Jadwal kuliahmu. Jadwal kerjamu dan lain
sebagainya."
"Iya Pak. Baik!"
"Besok ya berangkat menemui dia?"
"Iya Pak."
"Jam berapa Zul."
"Pagi-pagi saja Pak sebelum jam delapan. Dia biasa berangkat kerja jam delapan."
"Baik. O ya sebaiknya kau telpon dia dulu. Agar dia tidak pergi."
"Baik Pak."
Pak
Muslim gembira melihat Zul kembali ceria. Orang jatuh cinta memang
begitu. Jika harapan bertemu dengan yang ia cintai datang ia akan hidup
pcnuh semangat dan harapan. Zul sendiri merasakan matahari kehidupannya
yang selama ini redup kini kembali bersinar terang.
Zul langsung
turun ke bawah mencari wartel. Satu wartel telah buka, ia langsung
menghubungi nomor Mari. Berulang kali nomor itu ia hubungi namun tidak
bisa nyambung. Ia agak kecewa. Ia kuatir Mari ganti nomor. Ia juga
menyesal kenapa selama ini ia ragu-ragu dan
gamang setiap kali mau
menghubungi nomor Mari. Tiga bulan lebih, sejak kejadian percobaan
pemerkosaan di rumah Mari itu, ia tidak berhubungan dengan Mari. Ia
kuatir Mari telah pindah rumah. Tapi ia yakin Mari akan mudah dicari.
Jika pun pindah rumah, teman-teman Mari pasti masih ada yang tinggal di
situ.
Sorenya Zul kembali mencoba mengontak nomor Mari, tapi tidak
berhasil juga. Berkali-kali operator seluler menjelaskan nomor itu
sedang tidak aktif. Zul kembali ke flat dengan hati kecewa. Namun Zul
tetap bersemangat besok pagi berangkat ke Subang Jaya untuk
menemui
Mari dan mengungkapkan isi hatinya. Temanteman satu rumahnya mendukung
langkah yang akan diambil Zul. Rizal bahkan siap membantu mencarikan
rumah yang harga sewanya murah untuk pasangan keluarga. Yahya
menyemangati Zul untuk bangkit dan tidak kehilangan semangat.
Malam
itu, untuk pertama kalinya Zul tidur dengan dada terasa lapang. Dan
malam terasa segar dan ringan. Tidak seperti malam-malam sebelumnya yang
ia rasakan terasa sumpek dan berat. Terbitnya harapan yang terang dalam
hati membuat hidup terasa ringan dan menyenangkan.
* * *
Pagi
itu ia telah bangun sebelum azan Subuh berkumandang. Mengetahui hal itu
Pak Muslim sangat bahagia. Zul agaknya mulai mendapatkan kembali
nyawanya. Selesai shalat Subuh Zul dan Pak Muslim langsung meluncur
dengan KTM ke KL Sentral. Dari KL Sentral mereka naik bus Rapid KL ke
Subang Jaya.
Jam tangan Pak Muslim menunjukkan pukul 07.25 ketika
mereka turun dari bus dan memasuki kawasan perumahan Taman Subang
Permai. Hati Zul berdegup kencang ketika ia merasa semakin dekat dengan
rumah Mari.
Sepuluh menit kemudian mereka telah sampai di depan rumah
Mari. Zul agak terkejut. Rumah itu sepi. Dan di pintu rumah serta di
pagar gerbang rumah itu ada kain kuning yang terbentang bertuliskan: For
Sale/For Rent. Dan ada nomor telpon di bawahnya.
"Ini rumahnya Zul?"
"Iya Pak."
"Kauyakin."
"Tak mungkin salah Pak. Itu nomornya 8A."
"Berarti mereka telah pindah. Dan mungkin telah lama. Kaubaca kan rumah itu ditawarkan untuk dijual atau disewa."
"Iya Pak, terus bagaimana ini Pak?" kata Zul murung.
"Kau masih bersemangat untuk mencarinya?"
"Tentu Pak. Sampai ke ujung dunia pun kalau perlu."
"Wah kau ini, jawabanmu itu kayak lakon di film saja."
"Tapi aku harus menemukan dia Pak?"
"Gampang. Coba kita tanya tetangga sebelah. Siapa tahu mereka tahu ke mana pindahnya Siti Martini dan teman-temannya."
"Iya Pak."
Mereka
berdua lalu bertanya pada tetangga sebelah kanan rumah itu. Yang mereka
tanya seorang wanita Melayu setengah baya yang sedang menggendong anak
kecil. Ketika Pak Muslim menanyakan perihal Siti Martini dan
teman-temannya yang pernah tinggal di rumah No. 8A, wanita itu menatap
penuh curiga. Pak Muslim menangkap kecurigaan wanita itu. la menegaskan
bahwa dirinya bermaksud baik, tidak ada maksud jahat.
Wanita itu
malah masuk ke dalam rumah tanpa berkata apapun. Pak Muslim merasa ada
yang tidak beres. Dua menit kemudian wanita itu keluar sambil membawa
koran. la berikan koran itu pada Pak Muslim.
"Sila Encik bace berita
itu baik-baik!" kata wanita itu. Pak Muslim membaca berita di koran yang
ditunjukkan oleh wanita itu. Pak Muslim membaca dengan seksama dengan
wajah dingin. Zul yang berdiri di sampingnya turut membaca. Baru membaca
tiga baris Zul langsut berkata setengah teriak,
"Tidak mungkin! Tidak mungkin ini terjadi!"
Wanita itu memperhatikan Zul dengan wajah heran bercampur curiga.
Pak Muslim menuntaskan bacaannya sampai akhir.
"Tenang Zul, ini baca dulu sampai akhir baru kita pikir dengan jernih," kata Pak Muslim tenang.
Dan
dengan mata berkaca-kaca Zul membaca berita yang membuat hatinya remuk
redam. Dengan jelas ia membaca nama inisial Siti M yang turut ditangkap
pihak polis. Selesai membaca berita di koran itu airmatanya meleleh.
Dengan suara lirih tertahan ia berkata pada
dirinya sendiri,
"Sia-sia aku menolongnya. Sia-sia aku mencintainya."
Pak Muslim menukas pelan, "Tenang Zul. Sabar!"
"Seminggu
yang lalu polis menangkap mereke. Mereke semua penghuni rumah itu.
Mereke semua perempuan lacur. Mereke menjadikan rumah itu markas
pelacuran. Sekarang mungkin sedang dibui. Kalau boleh tahu Encik berdua
ini ada hubungan apa dengan mereke berdua ya?"
Pertanyaan wanita muda itu membuat Pak Muslim agak tergagap. Ia sempat bingung menjawabnya. Tapi spontan ia menjawab,
"Dia ini adiknya, salah satu kakaknya ada yang tinggal di rumah itu. Dia ingin mengetahui keadaan kakaknya."
"Aduh kasihan. Kakak awak sekarang di dalam bui. Ya tapi begitulah semestinya balasan untuk pelacur, perusak moral masyarakat."
Hati
Zul semakin perih. Ia mengajak Pak Muslim segera pergi meninggalkan
tempat itu. Matahari harapan yang sempat bersinar di dalam hatinya kini
sama sekali padam. Pak Muslim mengerti dengan kesedihan Zul. Beliau
membesarkan hati Zul dengan berkata,
"Ini skenario Allah yang terbaik
Zul. Kau jangan malah lemah. Kau justru harus kuat. Sekarang fokuskan
untuk belajar. Percayalah Allah akan memberimu ganti yang lebih baik.
Percayalah!"
"Iya Pak, insya Allah ini jadi pelajaran sangat berharga
bagi saya. Doakan saya ya Pak. Dan jangan bosan menasihati dan
membimbing saya." Jawab Zul sambil menyeka airmatanya yang meleleh di
pipinya.
* * *
Part Sepuluh
Sudah
sepuluh jam Zul di Perpustakaan Akademi Pengajian Islam Universiti
Malaya. Sejak jam delapan pagi sampai jam lima sore. Matanya terasa
berat. Kepalanya seperti berdenyut. Inilah hari kelima ia memenjarakan
diri di perpustakaan. Empat hari sebelumnya di Perpustakaan Fakulti
Pendidikan.
Hari ini ia berada di Perpustakaan Akademi Pengajian
Islam untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan kecil penulisan ayat dan
hadis. Ia menulis tentang pendidikan pesantren dan dampaknya terhadap
kedewasaan berpikir masyarakat Indonesia. la menyempitkan wilayah
kajiannya pada pesantren-pesantren di Pati. la sudah bertekad tesisnya
harus selesai ia perbaiki dalam satu minggu. Para guru besar yang
menilai tesisnya memberi catatan agar ia memperbaiki tesisnya dalam
waktu satu bulan.
Perpustakaan Akademi Pengajian Islam itu telah sepi.
Di
lantai dua hanya tinggal dirinya saja. Petugas perpustakaan telah
mengumumkan dua puluh menit lagi perpustakaan tutup. Zul berdiri
sejenak. Ia menggerakkan tubuhnya dengan memutar kedua tangan ke kiri
dan ke kanan. Kepalanya ia jatuhkan ke kiri dan ke kanan. Setelah itu ia
merapikan buku-buku yang baru
saja ia baca. Kertas-kertas berisi
catatan-catatan penting untuk memperbaiki tesisnya ia periksa sesaat.
Lalu ia masukkan ke dalam map plastiknya. Setelah merasa tidak ada yang
ganjil ia turun ke bawah.
Di bawah, keadaan sudah sepi. Yang ada
adalah petugas perpustakaan empat orang dan dua orang gadis melayu yang
juga sedang berkemas dan siap pergi. Che Mazlan, petugas perpustakaan
paling ramah menyapanya dengan tersenyum,
"Sudah ketemu semua yang dicari Ustadz?"
Karena
memakai kopiah putih Zul dipanggil Ustadz. Ia hanya menjawab dengan
senyum dan menganggukkan kepala dengan ramah. Kepalanya mulai terasa
pening. Ia berjalan ke tempat meletakkan tas. Mengambil tasnya.
Memasukkan map plastiknya ke dalam tas. Dan melangkah keluar. Ia lihat
jam tangannya.
"Ashar baru mau masuk."
la merasa harus segera
mengisi perutnya yang sejak pagi hanya terisi sepotong roti canai dan
segelas air putih. Ia bergegas turun ke tempat parkir. Sepeda motor
tuanya begitu setia menunggunya. la ambil helm. Dan beberapa jurus
kemudian dengan pelan namun pasti Honda butut itu membawanya meluncur ke
kanlin kolej 12. Sore itu kantin kolej 12 padat pengunjung. Kantin yang
dikenal paling murah di seluruh kawasan Univesiti Malaya itu begitu
hidup. Padat bergairah, namun tetap rapi dan bersih. Ada lima belas cafe
dan kedai. Sore itu semua buka.
Bisa dipastikan sembilan puluh
sembilan persen pengunjungnya adalah mahasiswa. Termasuk dirinya. la
memilih SR Cafe, atau Sila Rasa Cafe. la ambil nasi, sayur kangkung,
ayam goreng dan sambal. Seorang penjaga SR Cafe berkerudung coklat muda
bertanya,
"Minum apa Dik?"
"Teh O14 panas Kak." Jawabnya sambil
meletakkan piringnya yang penuh nasi dan lauk. la memang mengambil nasi
dengan porsi banyak. Sebab ia merasa sangat lapar. Sepuluh jam duduk
serius di perpustakaan telah membuat tenaganya terasa terkuras habis.
"Berapa Kak? Tambah minum Teh O panas," tanyanya pada kasir.
"Empat ringgit dua puluh sen."
Ia
keluarkan lima ringgit. Lalu kasir berwajah bulat berkerudung putih itu
memberinya uang kembali. Tiga keping uang logam. Lima puluh sen, dua
puluh sen, dan sepuluh sen. Total delapan puluh sen.
Zul melangkah
mencari tempat yang kosong. Ia lemparkan pandangan matanya ke segenap
arah. Hampir semuanya terisi. Di pojok sebelah kanan tampak sepasang
mahasiswa China meninggalkan tempatnya.
Ia segera bergegas ke sana.
Ia melangkah cepat. Jika tidak ia kuatir akan didahului orang lain.
Piring bekas makan mahasiswa China ia singkirkan dengan tangan kiri.
Sementara tangan kanannya masih memegang piringnya. Seorang petugas
kantin agaknya tahu ketidaknyamanannya. Petugas itu dengan sigap
langsung membersihkan meja itu. Ia letakkan tasnya di atas meja, lalu
piringnya. Meja berwarna putih itu dikelilingi empat kursi alumunium.
Ketika hendak menyantap ia teringatbelum mengambil minumannya. Ia
kembali ke SR Cafe dan mengambil Teh O-nya. Mejanya masih utuh, belum
ada yang menempati.
Zul mulai makan dengan lahap. Ia merasakan kenikmatan luar biasa.
"Hmm benar kata pepatah China, rasa lapar adalah koki paling hebat di dunia." Lirihnya pada diri sendiri.
Sesekali
ia melongokkan kepala memandang ke kiri dan ke kanan. Melemparkan
pandangan kalau-kalau ada mahasiswa Indonesia yang ia kenal. Namun ia
rasa agak aneh, sore itu dari sekian pengunjung tidak ada satu pun
mahasiswa Indonesia yang ia kenal. Bahkan si Edy, si
Gugun, si Rizal
dan si Emil yang biasanya ada di kantin Kolej 12 pada jam seperti itu
pun tidak ada. Ia terus makan. Seorang mahasiswi berwajah India hendak
minta ijin untuk duduk di depannya. Tampaknya mahasiswi itu agak ragu.
Mahasiswi itu tidak jadi duduk satu meja dengannya. Mahasiswi itu
memilih mencari tempat yang lain.
Sambil makan ia tenggelam dalam
lamunannya. Ia melamun tentang masa depannya. Selesai master ia harus
bagaimana? Langsung pulang ke Indonesia dan mencari peluang kerja atau
usaha, ataukah langsung saja melanjutkan studi mengambil program doktor?
Kalau pulang ke Indonesia, di mana ia akan pulang? Ke tempat siapa? Ia
merasa sudah tidak memiliki siapa-siapa. Sejak kecil ia tidak melihat
ayah dan ibunya.
Menurut cerita Pakdenya, ibunya yang bodoh adalah
korban penipuan. Ibunya kerja di sebuah pabrik di Semarang. Di tempat
kerjanya ia kenal dengan seorang lelaki. Lelaki itu mengaku dari
Lampung. Ibunya terpikat oleh penampilan dan mulut manis lelaki itu.
Ibunya ikut saja ketika lelaki itu mengajaknya menikah secara siri. Asal
sah menurut syariat tapi belum dicatat secara resmi di KUA. Pakdenya
sebagai wali satu-satunya tidak menyetujui. Pakdenya menginginkan kalau
menikah ya menikah serius. Diumumkan terangterangan dan dicatat secara
resmi di KUA. Namun lelaki itu beralasan, keluarga besarnya harus datang
ke Demak jika nikah besar-besaran. Dan ia masih harus mengumpulkan
biaya unruk itu. Nikah siri adalah solusi agar hubungan dua insan itu
halal.
Ibunya yang sudah cinta mati pada lelaki itu mendukung nikah
siri. Ibunya bahkan mengancam akan bunuh diri jika Pakdenya tidak
merestui. Akhirnya Pakdenya terpaksa menikahkan ibunya dengan lelaki itu
secara siri. Lelaki itu hidup satu rumah dengan ibunya selama dua
bulan. Setelah itu ia pamit pergi ke Lampung untuk menjenguk
keluarganya. Dan ternyata tidak kembali. Padahal saat itu ibunya tengah
hamil. Pakdenya mencoba mencari lelaki itu di Lampung. Di alamat yang
ada di KTP yang ditinggalkan di Lampung. Ternyata alamatnya fiktif.
Ibunya stres. Kesehatannya menurun. Dan meninggal saat melahirkan
dirinya.
Sejak itu ia ikut Pakdenya. Pakdenyalah yang ia sebut dengan
panggilan ayah. Ia bahkan tidak tahu nama ayahnya. Ketika ia tanya sama
Pakdenya nama ayahnya, Pakdenya memberikan KTP yang ditinggalkan
ayahnya. Disitu tertulis sebuah nama. Tapi Pakdenya yakin nama
itu
pun fiktif, alias samaran. Ia merasa tidak punya ayah. Namun ia merasa
sedikit tenang bahwa ia terlahir dari hubungan yang halal. Dengan
menikah. Meskipun ayahnya menikahi ibunya dengan menipu.
Dengan tidak
mengenal ayahnya sejak kecil ia merasa bahagia karena tidak mendapatkan
didikan untuk menipu. Sejak kecil ia dididik oleh Pakdenya untuk jujur
dan bertanggung jawab.
Selama ini yang ia anggap sebagai keluarga ya
Pakdenya. Tapi Pakde yang bertalian darah dengannya sudah meninggal.
Pakde yang telah ia anggap sebagai ayahnya sendiri itu telah tiada.
Sebenarnya ia telah menganggap Budenya adalah ibunya sendiri. Namun
setelah Budenya itu menikah lagi, ia merasa menjadi asing dan tidak enak
jika ke rumah Budenya. Apalagi Budenya sudah tidak lagi menempati rumah
yang dulu, tapi kini telah pindah ke rumah suaminya yang baru. Pindah
bersama seluruh anak-anaknya. Rumah Budenya yang lama, tempat di mana ia
menghabiskan masa kecilnya ia dengar telah dijual.
Jika ia hendak pulang ke Indonesia ia mau pulang ke mana? Ia merasa tidak punya siapa-siapa.
Dan
jika ia terus lanjut program Ph.D, apakah ia akan hidup dengan cara
seperti ini terus. Hidup dengan cara sapi perah. Hidup di Kuala Lumpur
dengan tanpa mengenal istirahat. Hidup untuk bekerja sambil belajar. Itu
yang ia rasakan. Jujur saja. Bisa saja ia mengatakan
ia bekerja
untuk hidup dan bekerja untuk belajar. Tapi ia merasa sepertinya telah
diatur oleh waktu untuk bangun pagi, lari ke sana, lari ke sini. Bekerja
di sana. Bekerja di sini. Waktu seolah telah memprogramnya begitu, agar
ia bisa bertahan hidup. Seolah jika ia menyalahi program waktu itu,
hidupnya terancam. Ia terancam tidak bisa membayar sewa rumah, terancam
tidak bisa makan, terancam tidak bisa membayar uang kuliah, dan terancam
tidak bisa menata hidup lebih layak di masa depan. Ia selalu berusaha
menyembuhkan kelelahannya dengan menghibur diri: inilah proses merubah
takdir. Kata-kata yang selalu ia gumamkan saat didera keletihan itulah
yang menguatkannya. Ia merasa sejak kecil ditakdirkan untuk menderita.
Namun ia merasa Allah tetap menyayanginya. Ia yakin Allah telah
menyiapkan banyak jalan dan sebab untuk merubah takdir. Ia yakin dengan
usaha yang gigih Allah akan merubah takdirnya. Itulah yang menguatkan
dirinya.
Namun seringkali ia berpikir, apakah dirinya telah tepat
mengambil jalan dan sebab dalam mengubah takdir. Sejak lulus SMA di
Sayung Demak, ia telah berusaha keras. Merantau ke Semarang, membanting
tulang di Semarang. Sambil bekerja apa saja di Semarang ia berusaha
tetap kuliah. Akhirnya selesai juga S.l-nya. Ia meraih gelar S.Pd. dari
IKIP PGRI. Namun meraih gelar S.Pd. ia rasakan belum juga merubah
nasibnya. Ia tetap harus bekerja sebagai penjaga parkir di Pasar Johar
jika ingin tetap bisa makan. Ia bekerja bersama mereka yang bahkan hanya
lulus SD. Ia bahkan sering dijadikan bahan olok-olokan oleh
teman-temannya,
"Kalau hanya jadi tukang parkir ngapain kuliah sampai sarjana."
Ya
ia sarjana, tetapi bosnya hanyalah lulusan SD. Ia lalu berpikir untuk
hijrah. Pindah. Mencoba peruntungan baru. Hijrah dari satu takdir ke
takdir yang ia anggap lebih baik. Ia nekat ke Jakarta.Di Jakarta ia
merasa tidak mendapatkan apa yang ia cari. Sama saja. Ia masih tetap
menjadi buruh kasar. Ia merasa tak ada gunanya ia kuliah. Hanya empat
bulan ia bertahan di Jakarta. Ia lalu nekat merantau ke Batam. Banyak
yang bercerita Batam adalah cara cepat merubah nasib. Di Batam banyak
pekerjaan dan banyak uang. Di Batam ia merasa menemukan takdir yang tak
jauh berbeda. Namun ia merasa harus bersyukur, di Batam ia bertemu
dengan seorang sosok yang tulus. Namanya Pak Hasan.
Dialah orang yang mengarahkannya merantau ke negeri Jiran ini dan menyemangatinya untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi.
"Kamu
masih muda, seberangilah lautan ini. Dan tuntutlah ilmu ke jenjang yang
lebih tinggi di sana. Hanya dengan ilmulah seseorang akan lebih mudah
memperbaiki nasibnya. Jangan kuatir, Allah akan membukakan pintu
rahmat-Nya untukmu. Di sana, asal adik gigih dan terus ingat Allah, kamu
akan tetap survive. Percayalah kamu akan sukses. Percayalah dengan ilmu
derajatmu akan diangkat oleh Allah! Dan dalam setiap langkahmu,
berpegangteguhlah kamu pada Al-Quran, niscaya kamu akan sukses!" Begit
kata Pak Hasan padanya waktu itu, seraya memberikan mushaf kecil Al-
Quran.
Ia merasa tak boleh berhenti untuk merubah nasib. Ia harus
terus berusaha. Dan dengan modal seadanya, dengan nekat yang disertai
sebuah tekad ia merantau ke negeri Jiran ini. Dengan berdarah-darah ia
akhirnya bisa tetap hidup dan bisa kuliah pascasarjana. Dan kini ia
sudah diambang pintu kelulusan. Tak lama lagi ia akan menyandang gelar
M.Ed, atau Master of Education dalam bidang Sosiologi Pendidikan. Gelar
yang keren.
Di desanya, ia mungkin satu-satunya orang yang meraih
gelar M.Ed, dari sebuah universitas terkemuka di luar negeri. Menyadari
kenyataan itu bukannya ia bangga, justru dadanya kini sesak.
Ia
memang bahagia lantaran ia akan segera lulus S.2. Keseriusannya
memfokuskan diri pada kuliah dan kerja—usai membaca berita tentang
penangkapan Siti Martini dan kawan-kawannya—telah menampakkan hasil. Ia
hanya perlu waktu empat semester saja untuk menyelesaikan S.2-nya. Satu
bulan lagi, begitu tesisnya ia perbaiki bisa dikatakan ia telah berhasil
meraih gelar master.
Namun ia merasa ada yang menyesak di dadanya.
Ia merasa masih juga hidup dengan cara bertahan dengan kekuatan otot.
Ilmu Sosiologi Pendidikannya ia rasakan belum juga bermanfaat baginya.
Yang paling akrab dengannya masih juga kerja-kerja yang mengandalkan
otot. Belum kerja profesional yang mengandalkan otak.
Jika ia hitung,
rata-rata ia harus bekerja dua belas jam setiap hari. Dan ia harus
menempuh jarak tak kurang dari dua puluh kilo setiap hari. Selesai
kuliah setiap malam ia harus tiba di Jamaliah Cafe tepat jam sembilan
malam dan pulang jam dua malam. Di antara sekian
pelayan restoran
hanya dia seorang yang calon master. Rata-rata mereka hanya tamat SMA.
Sedangkan sang pemilik restoran hanya lulusan D2 dari sebuah institut
tidak terkenal di Shah Alam.
Ia bertanya pada diri sendiri, apakah
jika ia melanjutkan Program Ph.D., ia juga akan tetap seperti ini.
Bertahan dengan cara seperti ini. Bahkan ketika telah meraih gelar Ph.D.
juga akan tetap bertahan hidup dengan cara seperti ini. Dan jika ia
pulang ke Indonesia dengan gelar doktor, akankah ia tetap akan bekerja
sebagai kuli panggul di pabrik atau kerja otot lainnya? Atau, ia justru
akan masuk dalam daftar panjang para pengangguran yang hidup tak mau
mati pun segan? Ia teringat kata-kata Doktor Nyatman, salah satu putra
terbaik Indonesia yang kini bekerja di sebuah perusahaan farmasi di
Selangor,
"Di Indonesia, doktor yang menganggur sudah mulai banyak.
Bahkan doktor yang memiliki kualifikasi keilmuan yang hebat sekalipun.
Banyak putera bangsa yang berprestasi, bisa menyelesaikan doktor dan
memiliki prestasi gemilang bertaraf internasional tapi sama sekali tidak
diapresiasi di Tanah Air. Saya punya kenalan seorang doktor lulusan
Jepang yang cemerlang dan mendapat banyak penghargaan internasional atas
riset-risetnya yang brilian, namun sama sekali tidak dihargai di
Indonesia. la melamar ke pelbagai universitas negeri di Indonesia dan
tak ada satu pun yang menerima. Di Indonesia penjilat dan penjahat lebih
dihargai daripada ilmuwan dan pahlawan."
Ada nada marah dan pesimis
dalam kata-kata Doktor Nyatman. la merasakan Doktor Nyatman seolah-olah
menjaga jarak dari Indonesia. Bahkan seolah-olah sudah merasa bukan lagi
orang Indonesia. la mengatakan orang Indonesia dengan sebutan "mereka",
dan menyebut pemerintah Indonesia dengan sebutan "pemerintah mereka",
bukan pemerintah kita. Karena ia hidup di Malaysia, apakah ia merasa
lebih nyaman menjadi orang Malaysia dan tidak lagi merasa menjadi orang
Indonesia?
Ataukah ia sudah malu menjadi orang Indonesia? Kenapa
Doktor Nyatman menyampaikan itu semua kepadanya? Apakah supaya dirinya
takut hidup di Indonesia? Ataukah supaya dirinya benar-benar siap
menghadapi beratnya tantangan hidup di Indonesia? Atau bukan itu semua,
tapi hanya sebuah ungkapan kejengkelan seorang putra bangsa yang
disia-siakan oleh bangsanya sendiri, sampai ia harus mengais sesuap nasi
di negeri orang. Padahal gelar doktor dari Jerman telah ia sandang.
Jawabnya: Allahu a'lam.
Yang
jelas ia sedang berpikir keras, bagaimana takdir hidupnya segera cepat
berubah. Ia merasa sudah terlalu lama ia bersabar mati-matian berproses
untuk membuka lembaran hidup yang lebih baik. Yang ia pikirkan apakah ia
salah mengambil sebab dan jalan yang disiapkan Tuhan? Kenapa ada orang
yang hanya cukup bekerja empat jam saja, di dalam tempat yang nyaman
pula, dan hajat hidupnya tercukupi semua. Bahkan berlebih dan bisa
membantu dan menolong sesama. Bangun pagi tersenyum, siang tersenyum,
malam tersenyum dan tidur pun tersenyum. Kenapa ada negara yang
benar-benar mandiri, bisa memakmurkan rakyatnya dan menjaga kehormatan
bangsanya di mata dunia? Negara itu kecil, tidak memiliki kekayaan alam
apa-apa. Tapi ia bisa mengendalikan negara sekitarnya bahkan
memanfaatkannya. Sementara itu di sisi lain, ia lihat sendiri—bahkan ia
mengalami sendiri—ada orang yang nyaris hidupnya ia gunakan untuk
bekerja. Ia bekerja nyaris dua puluh empat jam penuh, namun ia tetap
juga sengsara. Hidupnya nyaris tak pernah bahagia. Padahal ia ulet luar
biasa.
Ah, ia jadi teringat para petani di desanya. Ia teringat Kang
Darsuki. Betapa luar biasa etos kerjanya. Ia selalu bangun jam tiga
pagi, jauh sebelum Subuh. Membantu menyiapkan dagangan sang isteri untuk
dijual ke pasar. Saat Subuh tiba ia dan isterinya telah berada di
pasar. Ia shalat Subuh di pasar. Lalu bergegas pulang, sementara sang
isteri berjualan hasil ladang di pasar. Setelah mengurus anaknya yang
masih SD, ia langsung ke sawah. Ia biasanya bekerja di sawah sampai jam
setengah lima sore. Malam harinya ia gunakan untuk bekerja membuat
kursi. Selain sebagai petani ia juga dikenal sebagai seorang pembuat
kursi. Namun sampai ia meninggal dunia karena penyakit typus akut,
rumahnya masih berdinding bambu dan beratap seng bekas. Dan belum
memiliki kamar mandi dan WC yang layak.
Di mana letak salahnya?
Kenapa
petani Indonesia seolah harus terus miskin, sementara petani dari
negeri Jiran saja bisa makmur dan menyekolahkan anaknya ke London? la
lalu teringat pada dirinya sendiri. Kenapa ia yang sebentar lagi selesai
master masih saja menggantungkan hidup dari mencuci piring di cafe dan
restoran, sementara temannya dari Pahang yang juga calon master sudah
memiliki dua perusahaan, dan satu kebun kelapa sawit seluas seribu
hektar di Sumatera. Ya di Sumatera, Indonesia. Bukandi Melaka Malaysia.
* * *
"Maaf
Bang, boleh saya duduk kat sini?" Suara seorang perempuan membuyarkan
lamunannya. Ia memandang ke arah suara. Seorang gadis Melayu berdiri di
depannya. Tangan kanannya memegang piring berisi makanan dan tangan
kirinya memegang gelas berisi minuman berwarna cokelat. Bisa susu
cokelat atau Milo. Bisa juga teh tarik.
"Em...silakan." Jawabnya sambil mengambil tasnya dari atas meja dan meletakkannya di atas kursi yang ada di samping kanannya.
Gadis
itu langsung meletakkan piring dan gelasnya di atas meja. Gadis itu
tidak membawa tas. Dengan gerakan yang lembut gadis itu duduk lalu
makan. Gadis itu makan dengan menunduk. Ia tidak mempedulikan sama
sekali gadis di hadapannya itu. Ia melanjutkan melahap nasi dan lauk
yang masih tersisa di piringnya.
Setelah nasinya habis, ia meneguk
teh O panasnya teguk demi teguk. Ia merasakan kehangatan menjalar ke
seluruh tubuhnya. Kehangatan itu juga mengaliri syarafsyaraf kepalanya.
Dan perlahan rasa peningnya memudar dan hilang.
Tanpa terelakkan ia
sempat juga memperhatikan gadis di depannya, yang sedang lahap makan.
Gadis itu memiliki tahi lalat di dagu sebelah kiri. Paras wajahnya
memancarkan pesona khas gadis Melayu. Baju kebaya panjang berwarna biru
muda membalut tubuhnya. Ia
tidak memakai jilbab. Rambutnya tergerai sebahu. Rambut itu hitam pekat dan berkilau indah.
Zul
merasa ada yang janggal dengan cara makan gadis itu. Gadis itu makan
dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya ia gunakan untuk
memegangi hand phone yang ia tempelkan ke telinga kanannya. Bahkan
ketika sudah selesai bicara pun gadis itu tetap makan dengan tangan kiri
dan tangan kanannya dibiarkannya tidak bekerja. Ia merasa harus
meluruskan kejanggalan itu.
"Maaf Dik, boleh saya cakap sesuatu," katanya tegas pada gadis itu.
Gadis itu menghentikan makan dan memandang ke arahnya. Gadis itu menganggukkan kepala mengiyakan.
"Adik seorang Muslimah?"
Gadis itu kembali menganggukkan kepala.
"Maaf,
ini hanya pelurusan kecil saja. Agar makan dan minum adik benar-benar
barakah, sebaiknya adik makan dan minum memakai tangan kanan. Tidak
memakai tangan kiri. Itu cara minum yang tidak disukai Rasulullah Saw.
Maaf saya tidak bermaksud apa-apa kecuali kebaikan."
Muka gadis itu sedikit memerah.
"Terima kasih atas nasihatnya. Tapi kenapa Abang pedulikan saya? Apa Abang tidak punya urusan yang lebih penting?"
Agaknya gadis itu tersinggung.
"Sekali
lagi maafkan saya Dik, jika ini mengganggu kenyamanan adik. Saya tidak
bermaksud apa-apa. Hanya entah kenapa saya merasa hati ini tidak bisa
diam setiap kali melihat ada sesuatu yang kurang pas. Sekali lagi
maafkan saya, saya hanya ingin cara makan adik sesuai dengan sunnah
Rasul. Itu saja. Tak ada maksud lain. Itu pun kalau adik berkenan."
Zul
bangkit dari kursinya dan bergegas ke sepeda motornya yang terparkir
tak jauh dari tempat makan. la sama sekali tidak mempedulikan reaksi
gadis itu. Yang ada dalam benaknya adalah segera sampai rumah. Istirahat
sebentar. Mandi. Menunggu Maghrib. Dan selepas shalat Maghrib kembali
memperbaiki tesisnya.
Malam nanti ia akan kerja lembur untuk
tesisnya. la telah ijin tidak kerja di Cafe Jamalia. Dengan tenang Zul
menaiki motor bututnya, dan melenggang meninggalkan kantin kolej 12. Ia
sama sekali tidak menyadari bahwa gadis Melayu itu terus memperhatikan
dirinya sampai ia hilang dari pandangan gadis itu.
* * *
Part Sebelas
Waktu
terus berjalan, menghasilkan pergantian jam. Menghasilkan siang dan
malam. Menghasilkan sejarah kehidupan dan kematian. Sejarah orang-orang
yang gagal dan sejarah orang-orang yang berhasil. Sejarah orang-orang
yang malang dan sejarah orang-orang yang beruntung. Waktu terus
berjalan. Setiap detik selalu ada perubahan. Ya, waktu terus berjalan
tanpa henti. Zul termenung di kamarnya memikirkan waktu yang ia lalui
dan perubahan-perubahan yang ia alami.
Alangkah cepat waktu berjalan.
Dan alangkah cepat umur berkurang. Ia merasa seperti baru kemarin ia
lulus SD, terus SMP, terus SMA. Kenangan-kenangan saat di SMA terbayang
di depan mata. Ia seolah ada di dalamnya.
Perubahan terasa sangat cepat. Ia menyadari bahwa ia ternyata sudah dua tahun lebih di Malaysia. Ia sudah selesai S.2.
Sepertinya
baru kemarin ia masuk flat itu diantar oleh Pak Rusli. Lalu berkenalan
dengan Sugeng, Yahya, Arif, Rizal dan Pak Muslim. Sekarang mereka sudah
tidak ada lagi di flat itu bersamanya. Sugeng sudah selesai setengah
tahun yang lalu dan kini mengajar di STAIN Kendari.
Yahya sedang
menempuh program Ph.D., ia kini tinggal di Sigambut bersama isterinya.
Arif sudah selesai masternya dan kini bekerja di sebuah Bank Syariah di
Semarang. Rizal juga sudah selesai, ia mendirikan penerbitan di
Bandung. Pak Muslim sudah menyelesaikan doktornya dan telah kembali
mengajar di UNY.
Orang yang dulu satu rumah dengannya telah
meninggalkannya. Kini ia tinggal bersama adik-adik yang lebih muda yang
baru datang. Tak terasa. Ia sudah mulai merasa semakin tua. Umurnya
sudah mendekati kepala tiga. Sugeng, Yahya, Arif dan Rizal semuanya
sudah berkeluarga. Hanya dirinya yang belum. Semua sudah mengamalkan dan
membagi ilmunya. Hanya ia seorang yang ia rasa belum. Ia masih saja
seperti dulu.
Bekerja di cafe dan restoran. Ia masih memikirkan
tentang nasibnya yang ia rasa belum mengalami perubahan. Ia gelisah.
Akan ia bawa ke mana gelar M.Ed.nya?
Apakah hanya untuk memperpanjang namanya saja. Biar tampak ada gelar di belakangnya?
Hari
itu jam tiga siang ia merasa harus silaturrahmi ke rumah Yahya. Ia
ingin mendiskusikan kegelisahannya. Ia harus mengakui terkadang ia
merasa sangat jauh dari dewasa. Ia merasa belum bisa berpikir tenang dan
jauh ke depan seperti Yahya. Ia juga sering bertanya pada dirinya
sendiri apakah kegelisahannya seperti itu termasuk tanda-tanda tidak
menyukuri nikmat Tuhan?
Bukankah Tuhan telah banyak merubah dirinya.
Dari orang jalanan yang terbuang dari kota ke kota menjadi orang yang
hidup tenang. Dari orang yang pernah nyaris binasa karena dibelenggu
oleh syahwat cinta menjadi orang yang merdeka.
Ketika ia sampai di
rumah Yahya ia langsung menyampaikan kegelisahannya. Yahya menjawab,
"Bersabar dan bersyukurlah Saudaraku. Jangan tergesa-gesa. Tetaplah
sabar dan istiqamah dalam berusaha. Syukurilah apa pun karunia yang
dilimpahkan oleh Allah. Jangan kau mendikte Allah. Jangan kau
berprasangka buruk pada Allah. Allah-lah yang Mahatahu yang terbaik
untuk kita. Apa yang menurut kita baik belum tentu baik menurut Allah.
Dan apa yang menurut kita tidak baik belum tentu tidak baik menurut
Allah. Apa yang kita sukai belum tentu itu baik bagi kita. Dan apa yang
kita benci belum tentu tidak baik bagi kita.
"Bisa jadi, sampai saat
ini kau masih bekerja di cafe, karena itu memang yang terbaik. Bisa jadi
setelah itu akan ada hikmah yang luar biasa bagimu. Yang paling penting
bersabar dan bersyukurlah. Optimislah. Dan berprasangka baiklah kepada
Allah."
Zul merenungkan perkataan sahabatnya itu.
Yahya mempersilakannya untuk mencicipi agar-agar buatan isterinya. Zul mengambil satu dan memuji, "Agar-agarnya enak."
Spontan Yahya menjawab, "Makanya segera menikah, biar ada yang membuatkan agar-agar."
"Kalau
kau ada calon untukku boleh Ya. Aku merasa sudah tiba saatnya. Orang
satu rumah kita dulu sudah menikah semua. Hanya aku saja yang belum."
"Kau serius Zul."
"Serius."
"Kalau orang Malaysia bagaimana?"
"Kalau salehah kenapa tidak?"
"Ini serius lho Zul."
"Ya pasti seriuslah Ya. Masak aku main-main."
"Baik.
Ini ada calon. Orangnya baik. Aku berani jamin. Dulu dia teman isteriku
waktu kuliah di Birmingham. Dia Muslimah yang taat. Tidak pernah
menanggalkan jilbab. Bagaimana?"
"Boleh saja. Cuma aku kuatir kalau aku mau dan dianya tidak mau."
"Bagaimana kalau sebaliknya. Ternyata dianya mau malah kau yang tidak mau."
"Kayaknya
itu kemungkinan kecil Zul. Kalau kau sudah berani menjamin baik, masak
sih aku tidak mau. Siapa namanya kalau boleh tahu?"
"Laila Abdurrahman."
"Kau mau ta'aruf serius dengannya Zul."
"Wualah tho Ya, Yahya. Berapa kali lagi kau akan tanya tentang keseriusanku. Baiklah, aku serius Ya."
"Kalau begitu kau besok datanglah ke masjid kampus UKM15 Bangi jam 3 sore. Kau akan aku temukan dengannya insya Allah."
"Baik."
* * *
Hari
berikutnya Zul berangkat ke Bangi naik KTM dari Pantai Dalam sampai UKM
lalu naik bus mini kuning ke masjid kampus UKM. Yahya ternyata sudah
menunggu di masjid. Begitu ia sampai ia langsung diajak ke Fakulti
Ekonomi. Ia dibawa ke auditorium. Di sana ada seminar membahas dua judul
proposal disertasi doktor. Dua orang mahasiswa program doktor dari
Malaysia mempresentasikan judul proposal disertasi mereka di hadapan
dosen dan guru besar.
Zul dan Yahya duduk agak di belakang. Satu per
satu kandidat doktor itu mempresentasikan kajiannya. Ada empat profesor
yang menilai dan mengkritisi. Di antara empat profesor itu ada profesor
madya perempuan yang tampak masih muda dan cantik. Dialah yang menjadi
artis di ruangan itu. Zul diam-diam tersihir oleh keanggunan dan
kecerdasan profesor itu. "Ya, perempuan Malaysia ada yang hebat juga ya.
Itu yang di depan itu. Masih muda sudah profesor madya. Canggih betul."
" Kau tahu itu siapa?"
"Siapa Ya?"
"Itulah orang yang akan aku kenalkan denganmu." Zul kaget bagai disambar petir.
"Weh, yang benar Zul. Kau jangan bercanda Zul. Masak jauh-jauh datang kemari hanya untuk bercanda?"
"Aku
tidak bercanda Zul. Aku serius. Dia itu namanya Prof. Madya Datin Laila
Abdul Majid, Ph.D. Dia menyelesaikan S.2 dan S.3-nya di Birmingham.
Satu kelas dengan isteriku saat S.2. Hanya saja isteriku pulang ke
Indonesia setelah selesai S.2-nya, sedangkan dia langsung lanjut S.3.
Kata isteriku, ketika di Birmingham dia termasuk mahasiswi yang
disanjung banyak dosen karena kecerdasannya. Itulah kelebihan yang dia
miliki. Bagaimana Zul, mau dilanjutkan apa tidak? Terus terang aku tidak
bilang apa-apa padanya. Kalau mau nanti kita datangi dia dan kita
ngobrol santai saja. Bagaimana?"
"Lanjut Ya."
"Okay, kau juga
harus tahu kekurangannya, kalau ini dibilang kekurangan, dia itu sudah
janda. Sudah pernah mau punya anak tapi keguguran. Dia janda karena
suaminya meninggal dunia. Bagaimana Zul? Dilanjutkan apa tidak?"
Zul berpikir sejenak. Lalu menjawab,
"Dilanjutkan."
"Baik." Jawab Yahya sambil tersenyum.
Setelah
seminar selesai Yahya bangkit. Isteri Yahya ternyata juga ada di
ruangan itu. Isteri Yahya menyalami Prof. Datin Laila. Keduanya
berangkulan mesra. Lalu Yahya menyapa seraya memperkenalkan Zul. Mereka
berempat lalu berbincang-bincang sambil berdiri beberapa saat. Prof.
Darin Laila sangat ramah dan murah senyum. Zul terpesona dengan aura
kemelayuannya. Mereka berbincang tidak lama, sebab waktu shalat Ashar
tiba. Prof. Datin Laila minta diri ke ruangannya. Yahya dan isterinya
serta Zul bergegas ke masjid dengan mobil Yahya. Di perjalanan isteri
Yahya menjelaskan bahwa Laila adalah teman akrabnya saat di Birmingham.
Beberapa
bulan lalu Laila meminta padanya kalau punya calon yang sesuai
untuknya. Orang Indonesia tidak apa-apa. Hari itu Zul seperti mimpi. la
seperti tidak percaya kalau calon yang dikenalkan dengannya adalah
seorang Datin Laila yang ia rasakan lebih dari seorang bidadari.
"Tapi
Datin Laila belum tahu apa-apa. Dia tidak tahu kalau ada orang
Indonesia yang melihatnya dan berniat ta'aruf dengannya. Besok baru aku
akan jelaskan padanya. Apa kira-kira reaksi dan tanggapan dia. Semoga
seperti yang kita harapkan. Kalau melihat suami dia dahulu juga dari
kalangan orang biasa. Bukan dari kalanganbangsawan," kata isteri Yahya.
"Insya Allah, kalau ini jodohmu tidak akan lari ke mana-mana Zul." Sambung Yahya.
Zul mengamini dalam hari berharap semoga surga itu telah ia rasakan di dunia.
Setelah
shalat Ashar mereka pulang meninggalkan kampus UKM. Yahya dan isterinya
membawa mobil. Zul naik bus kuning. Yahya menawarkan padanya untuk satu
mobil, tapi Zul ingin berkunjung ke rumah seorang kenalannya bernama
Ardan di Hentian Kajang.
Zul naik bus mini kuning ke Hentian Kajang.
Ongkosnya
cuma tujuh puluh sen. Sepuluh menit kemudian bus itu sudah sampai di
Hentian Kajang. Zul berjalan ke kanan menuju tempat duduk para
penumpang.
Ketika ia melewati tempat itu, sekonyong-konyong ada seorang wanita berjilbab yang memanggilnya dengan keras.
"Zul! Mas Zul!"
Ia
menghentikan langkah dan menoleh ke arah suara. Seorang wanita
berjilbab dengan wajah gembira melangkah ke arahnya. Ia mengamati dengan
seksama, mencoba mengingat-ingat.
"Lupa ya sama saya? Pasti lupa?" kata wanita itu sambil tersenyum.
"Siapa ya? Agak lupa-lupa, ingat," jawab Zul.
"Sudah
terlalu sibuk dan sudah lama sekali tidak bertemu jadi kau lupa. Sangat
wajar. Apalagi penampilan saya dulu dengan sekarang berbeda. Pasti kau
susah menerka."
"Aduh langsung saja. Siapa ya?" katanya sambil melihat jam. Ia memang tidak punya waktu terlalu Uziek Collections
longgar untuk hal yang kurang penting.
"Baik Mas. Saya Sumi Mas. Saya Sumiyati. Kita dulu ketemu di Subang Jaya. Ingat? Saya dulu tidak jilbaban seperti sekarang."
Seketika Zul terkaget dan langsung tersenyum bahagia.
"O
Mbak Sumi. Ya Allah, saya benar-benar susah mengingat-ingat tadi. Saya
sepertinya pernah bertemu. Tapi di mana saya tak ada bayangan. Iya Mbak
benarbenar beda setelah pakai Jilbab. Tambah anggun."
Sumi tersenyum mendengar pujian.
"Alhamdulillah Mas. Saya bahagia berjalan dalam hidayah ini."
"O
ya Mbak cerita teman-teman yang lain bagaimana ya? Saya pernah ke sana
ternyata kalian sudah tidak di sana?" Zul pura-pura bertanya tidak tahu.
la tidak bisa melupakan berita koran tentang penangkapan penghuni rumah
itu.
"Mas belum tahu beritanya ya?"
"Berita yang mana?"
"Ah
baiklah. Aku ceritakan biar nanti kalau suatu saat Mas dengar berita itu
tidak salah faham. Begini Mas. Kami pergi tepatnya terusir dari rumah
itu ada sebabnya. Sebabnya adalah ulah Linda dan Watik yang keterlaluan.
Maksiatnya sudah terang-terangan. Aku yakin kau tahu apa pekerjaan
Linda. Melacurkan diri. Biasanya ia dijemput dan berbuat maksiat itu di
hotel. Kami mengingatkan tidak mempan. Mbak Mari sering bertengkar
dengannya. Apalagi setelah kejadian Mbak Mari mau diperkosa sama mantan
suaminya. Mbak Mari curiga Lindalah yang memberitahu keberadaan dirinya
pada mantan suaminya. Linda semakin nekat seolah menantang penghuni
rumah yang lain. Ia maksiat di kamarnya. Beberapa teman lelaki Linda
datang ke rumah. Hal itu dicium oleh masyarakat. Akhirnya rumah itu
digrebek. Kami semua dianggap pelacur semua. Padahal pelacurnya cuma
Linda sama Watik. Kami diinterogasi habis-habisan. Kami difoto dan masuk
koran. Yang paling sabar dan tabah menghadapi ujian ini adalah Mbak
Mari. Mbak Mari berusaha sekuat tenaga berdialog dan menjelaskan bahwa
tidak semua yang ditangkap adalah pelacur. Akhirnya Mbak Mari bisa
menelpon seorang kenalannya. la anak seorang pejabat penting. Dengan
jaminan temannya Mbak Mari, kami, selain Linda dan Watik dibebaskan.
Sejak itu saya memakai jilbab. Saya ingin lebih berarti menjalani hidup
ini. Begitu ceritanya Mas."
Zul mengucapkan syukur berkali-kali dalam
hati mendengar penjelasan itu. la merasa berdosa telah berprasangka
buruk pada semua penghuni rumah, termasuk pada Mari dan Sumi. Sekarang
ia tahu Mari bersih. Ia jadi tidak sabar untuk menanyakan keberadaan
Mari. Walau bagaimanapun nama itu pernah tertanam dalam hatinya.
"Lha Mbak Mari sekarang di mana?"
"Dia sudah di Indonesia."
"Ada alamatnya?"
"Sayang
tidak ada. Buku catatanku yang ada alamat dan kontak Mbak Mari hilang
di bus. Mungkin jatuh. Saya dengar dia sekarang hidup di Semarang."
"Mmm di Semarang. Dia sudah menikah?"
"Saya
juga tidak tahu. Tapi dia pernah ngobrol dengan saya. Maaf lho Mas Zul
ya kalau tidak berkenan. Ia pernah cerita kalau dia diam-diam suka sama
Mas Zul."
Seperti ada setetes embun membasahi hatinya. Wajah Mari
hadir dalam pikirannya. Kenangan lama perlahan muncul ke permukaan. Tapi
cepat-cepat ia tepis kuatkuat. Ia tidak boleh menghadirkan kenangan
itu. Ia telah siap berta'aruf dengan Datin Laila.
"Maaf Mas bus saya sudah datang, saya harus pergi.
Say a sekarang tinggal di sekitar sini. Mari Mas. Sukses ya." Sumi minta diri.
Zul terpaku di tempatnya beberapa saat lamanya.
Kemudian
ia teringat hari sudah sore. Ia harus sudah ada di Pantai Dalam sebelum
Maghrib. Keinginannya untuk menemui Ardan terpaksa ia urungkan. Ia
langsung bergegas mencari bus ke KL Sentral. Dari KL Sentral ia akan
nyambung dengan KTM.
* * *
Hari berikutnya, pagi-pagi
sekali Yahya datang ke Pantai Dalam. Yahya menyampaikan hasil komunikasi
antara isterinya dan Datin Laila. Zul tidak sabar menunggu berita
gembira itu.
"Bagaimana, sesuai harapan?" tanya Zul.
"Pada dasarnya Datin Laila menerima dan tidak masalah...." jawab Yahya tenang.
"Alhamdulillah," potong Zul.
"E dengarkan dulu sampai aku selesai bicara!"
"O masih ada lanjutannya tho. Apa lanjutannya?"
"Ya
pada dasarnya Datin Laila menerima dan tidak ada masalah. Yang jadi
masalah adalah kakak sulungnya, yang sekarang jadi walinya telah membawa
seorang calon untuknya. Datin Laila belum mengambil keputusan. Tapi
agaknya Datin Laila merasa berat jika harus berseberangan dengan kakak
sulungnya."
"Artinya ia cenderung mengiyakan calon dari kakaknya kan?"
"Begitulah.".
Zul menunduk kecewa.
"Kenapa dalam masalah seperti ini aku selalu menuai kecewa ya. Dulu mau serius menikahi Mari tak jadi. Apa ya dosaku ini?"
"Lha
mulai berprasangka tidak baik pada Yang Mahakuasa! Sabarlah Zul. Selain
membawa kabar menyedihkan itu aku juga membawa kabar menggembirakan
untukmu."
'Apa itu Ya?"
"Aku kemarin dibel Pak Muslim. Di UNY ada
lowongan dosen. Yang dicari S.2 jurusan Psikologi Pendidikan dan jurusan
Sosiologi Pendidikan. Ini mungkin rejekimu. Coba kau masukkan lamaran
ke sana."
"Wah boleh ini Ya." Zul semangat.
"Caranya bagaimana Ya?"
"Sebaiknya
kau pulang ke Indonesia. Masukkan langsung lamaranmu ke UNY. Sekalian
bersilaturrahmi ke rumah Pak Muslim. Siapa tahu Pak Muslim juga
mencarikan jodoh untukmu. Mahasiswinya yang jilbaberjilbaber kan
banyak."
"Wah saranmu brilian sekali Ya. Dunia ini sejatinya luas ya
Ya. Wanita di dunia ini pun miliaran jumlahnya. Tidak cuma Mari atau
Laila ya."
"Lha iya lah."
"Kenapa aku baru menyadarinya sekarang ya."
"Karena kamu selalu menyempitkan ruang berpikirmu selama ini Zul. Cobalah kau buka lebar-lebar.
Hidup ini akan terasa mudah, menyenangkan, dan menggairahkan."
"Ya sudah saatnya aku meluaskan ruang hati dan pikiran Ya."
"Di antara caranya adalah dengan selalu berprasangka baik kepada Allah."
"Terima kasih Ya. Bisa bantu aku lagi?"
"Apaitu?"
"Pinjami uang untuk beli tiket pesawat," kata Zul tersenyum.
"Tentu bisa."
"Kau memang sebaik-baik teman Ya."
"Kau juga Zul"
"Alhamdulillah."
* * *
Part Dua Belas
Tiga
hari kemudian, Zul terbang ke Yogyakarta. Di Bandara Adi Sucipto ia
dijemput oleh Pak Muslim. Begitu bertemu mereka berangkulan erat sekali.
Pak Muslim tampak bahagia sekali bertemu dengan Zul, begitu juga Zul.
Kesahajaan dan kesederhanaan Pak Muslim sama sekali tidak berubah,
meskipun ia telah menyandang gelar doktor. Ia berpakaian biasa, layaknya
orang biasa.
Orang yang tidak mengenal Pak Muslim bisa jadi
menyangka beliau adalah tukang ojek. Sebab saat itu beliau memakai batik
warna tua yang tersembunyi dalam jaket cokelat yang tampak tua.
Warnanya telah berubah karena terkena panas dan hujan.
Pak Muslim
menjemput dengan mobil Katana tuanya. Beliau langsung membawa Zul ke
rumahnya di sebuah perumahan di daerah Maguwoharjo.
"Rumah ini masih
menyewa Zul," kata Pak Muslim begitu sampai di rumahnya. "Doakan tahun
depan ada rejeki untuk membeli rumah. Meskipun dengan mengangsur,"
lanjutnya.
"Semoga Pak."
"Ayo masuk. Kita cuma berdua di rumah ini. Isteriku sedang tugas ke Semarang. Dua anakku sedang di rumah eyangnya di Solo."
Begitu masuk Pak Muslim langsung ke dapur membuatkan minuman.
"Adanya ini Zul." Kata Pak Muslim sambil membawa dua gelas berisi air sirup berwarna hijau.
"Nyaman hidup di Jogja Pak ya?" tanya Zul.
"Nyaman dan tidaknya hidup itu yang mengkondisikan adalah hati
dan pikiran kok Zul. Kalau aku di mana saja merasa nyaman. Aku tak pernah kuatir atau takut sebab aku yakin Allah mengasihiku."
"O ya Pak tentang lowongan itu. Ada berapa kursi? Kira-kira yang daftar banyak tidak?"
"Cuma
enam kursi saja. Secara keseluruhan, yang daftar mungkin puluhan,
ratusan, bahkan mungkin ribuan. Saya tidak tahu persis. Tentang
peluangmu, ya yakin saja ini adalah rejekimu. Tapi untuk Sosiologi
Pendidikan, saya lihat yang daftar sampai kemarin belum terlalu banyak,
kira-kira baru belasan orang. Peluangmu mungkin bagus. Apalagi hanya kau
yang meraih M.Ed, dari luar negeri."
"Doanya Pak."
"Semoga. Syarat-syarat sudah lengkap semua?"
"Yang belum foto Pak."
"Nanti foto kilat saja. Supaya besok berkas kamu bisa dimasukkan."
"Iya Pak."
"O iya Zul. Kamu tidak ada rencana nikah? Atau masih mengharap yang di Subang Jaya?"
"Aduh
jadi malu. Jangan diingat-ingat Pak. Tapi penggerebekan di Subang Jaya
seperti yang tertulis di koran itu ternyata tidak seperti itu lho Pak.
Saya jadi merasa berdosa karena berburuk sangka pada semua isi rumah
itu."
"Terus sebenarnya bagaimana?"
Zul lalu menceritakan
pertemuannya dengan Sumi di Hentian Kajang. Dengan detil dan panjang
lebar Zul menjelaskan apa yang ia dapat dari Sumi. Pak Muslim
mengangguk-angguk.
"Hmm saya juga berburuk sangka lho Zul. Jika tidak
kauberitahu mungkin selamanya dalam pikiran saya yang ada ya persepsi
itu. Persepsi satu rumah itu pelacur semua. Kan kasihan mereka yang
tidak berdosa. Ini jadi pelajaran penting bagiku Zul. Kabar apa pun saat
ini, di akhir zaman ini harus dicek. Berita saat ini sepertinya kok
lebih banyak bohongnya, lebih banyak munafiknya daripada jujurnya."
"Ya alhamdulillah, Allah mempertemukan saya dengan Sumi Pak."
"Terus tentang nikah. Jadi setelah tahu kabar itu apa masih mau mengejar si Siti Martini itu? Atau bagai mana?"
"Aduh
Pak itu masa lalu. Sudah biarlah berlalu Pak. Dunia ini kan luas.
Jumlah wanita di atas muka bumi ini miliaran Pak. Gadis Muslimah yang
belum menikah jumlahnya jutaan Pak, kenapa saya mesti mempersusah diri."
"Wah
kamu sudah berubah Zul. Tapi ada satu sifatmu yang aku sangat salut.
Dan aku berharap sifat itu tidak pernah berubah apalagi hilang dari
dirimu."
"Apa itu Pak?"
"Jujur dan tidak mengada-ada. Itu yang aku
suka padamu. Jujur itulah sifat yang mutlak harus dimiliki seorang
pendidik di negeri ini. Karena kejujuran sekarang ini jadi barang yang
sangat langka Zul."
"Doakan saya bisa terus istiqamah Pak."
"Semoga Zul. O ya kembali tentang nikah. Muslimah seperti apa
yang
sekarang kauinginkan. Mungkin aku bisa membantu. Tidak hanya membantumu
tapi juga membantu kaum Muslimah yang ingin menikah tapi belum
menemukan jodoh. Siapa tahu di antara mereka ada yang sesuai untukmu."
"Yang
salehah dan jujur Pak. Ah Pak Muslim kan sudah pernah tinggal bersama
saya lebih dari satu tahun. Pasti Pak Muslim tahu yang cocok buat saya."
"Ini
Zul. Ada Muslimah baik sekali. Ini menurut isteri saya. Sebab Muslimah
ini kenal baik dengan isteri saya. Pernah satu kampus di Bandung dulu.
Dia sokarang kalau tidak salah dosen di Universitas Semarang. Baru
menyelesaikan Master Ekonominya di UKM Malaysia."
"Umurnya berapa?"
"Ya seumuran isteri saya."
Uziek Collections
"Kalau seumuran isteri Bapak, berarti sudah tua dongPak."
"Ei jangan salah. Kau tahu berapa umur isteri Baya?"
"Berapa Pak?"
"Dua puluh delapan tahun. Kau umurmu berapa?"
"Tigapuluh."
"Berarti kira-kira dia lebih muda dua tahun darimu. Bagaimana?"
"Boleh Pak."
"Kalau boleh tahu. Dia berjilbab Pak?"
"Kamu ini Zul. Isteri saya ini aktivis dakwah, masak mau mencarikan kamu yang suka tabarruj. Ya pasti berjilbab rapat-lah Zul."
"Kalau begitu boleh Pak. Boleh tahu namanya Pak?"
"Namanya
agak panjang Zul. Tapi seingat saya depannya Agustina. Isteri saya
kalau memanggil dia\ Mbak Agustin begitu. Tapi nama penanya kalau dia
nulis di koran Asma Maulida, M.Ec. Sebentar aku cari koran dulu. Ada
beberapa tulisan dia yang bagus kok."
Pak Muslim beranjak menuju rak tempat majalah dan koran tertumpuk. la mengolak-alik beberapa koran sesaat lamanya.
"Lha ini dia." Seru Pak Muslim gembira.
"Ini Zul tulisan dia coba kaubaca." Pak Muslim menyodorkan koran itu pada Zul.
Zul membaca dengan seksama. Runtut, rapi dan argumentatif. Bahasanya enak dibaca.
"Baguskan?"
"lya Pak?"
"Rapi dan runtut kan?"
"Iya."
"Itulah cermin kepribadiannya. Saya pernah bertemu dengannya. Saya salut. Sangat berkarakter orangnya. Kira-kira bagaimana Zul?"
"Saya manut Pak Muslim saja."
"Baik. Mumpung isteri saya ada di Semarang. Biar dia urus sekalian. Saya telpon isteri saya sekarang saja."
Pak Muslim mengeluarkan hand phone-nya dan memanggil isterinya. Langsung nyambung.
Zul hanya mendengar suara Pak Muslim:
"O jadi malah sedang bincang-bincang sama dia?"
"Di mana Dik, di Warung Bentuman?"
"Dia belum ada calon kan?"
"Ini, temanku satu rumah yang pernah kuceritakan dulu itu lho Dik."
"Ya, sudah selesai M.Ed dari Universiti Malaya."
"Namanya Ahmad Zulhadi Jaelani. Tulis saja A.
Zulhadi Jaelani, M.Ed."
Lalu Pak Muslim menarik hand phone-nya dari telinga kanannya dan bertanya pada Zul.
"Zul, tanggal lahirmu berapa?"
"21 April 1977 Pak." Jawab Zul.
Pak
Muslim lalu menyampaikan hal itu pada isterinya. Tak lama kemudian
beliau menyudahi pembicaraannya. Lalu kembali berbicara pada Zul.
"Namanya juga ikhtiar. Ya semoga saja ini berhasil."
"Jadi Agustin itu masih belum punya calon Pak?"
"Ya
kata isteri saya begitu. Dia berharap proses kali ini adalah prosesnya
yang terakhir. Proses yang mengantarkannya memiliki rumah tangga yang
mawaddah wa rahmah."
"Amin. O ya Pak, terus terang saja Pak ya. Bapak ada foto dia?"
"Wah
sayang tidak punya Zul. Tapi jangan kuatir Zul. Kata isteri saya, biar
prosesnya cepat. Artinya kalau iya ya biar segera diijab kalau tidak ya
biar cepat ketahuan tidaknya, Agustin akan ikut isteri saya ke Jogja."
"Mau datang ke sini?"
"Iya.
Biar bertemu kamu. Kamu juga biar tidak penasaran. Biar itu tadi cepat
jelasnya kalau iya ya biar segera diijab kalau tidak ya biar
cepatketahuan tidaknya. Kalau misalnya tidak jadi, karena kau tidak
cocok kan sama-sama cepat tahunya. Dan bisa mencari yang lain yang
cocok. Kalian kan sudah berumur. Tidak perlu ditunda-tunda atau proses
yang rumit dan berbelit-belit tho?'
"Iya Pak sepakat."
* * *
Rumah
Pak Muslim memiliki tiga kamar. Kamar utama, kamar tamu dan kamar anak.
Zul ditempatkan di kamar tamu yang sekaligus merangkap sebagai
perpustakaan. Kamar itu penuh buku. Kebanyakan buku-buku tentang
pendidikan dan ekonomi. Pak Muslim adalah pakar manajemen pendidikan.
Sementara isterinya adalah dosen mata kuliah ekonomi di sebuah Sekolah
Tinggi Ilmu Ekonomi di Yogyakarta.
Siang itu setelah selesai
memasukkan berkasnya ke UNY ia diantar Pak Muslim pulang. Ia memang
harus istirahat. Sebab sebelumnya ia begadang bersama Pak Muslim di
sebuah warung angkring sampai larut malam.
Pak Muslim sendiri juga
istirahat di kamarnya. Ia telah diberi ijin oleh Pak Muslim kalau mau
membaca-baca koleksi perpustakaan pribadinya.
Siang itu ia tidak
langsung tidur. Tapi ia melihat-lihat buku yang ada di kamar itu. Banyak
judul-judul baru terbitan Indonesia. Ia senang dengan perkembangan
penerbitan buku di Indonesia yang semakin marak. Tibatiba kedua matanya
tertuju pada warna sampul sebuah buku yang sepertinya pernah ia lihat.
Ia ambil buku itu.Buku bersampul biru tua. Terbitan Oxford University
Press. Judulnya Game Theory with Applications to Economics. Rasa-rasanya
ia pernah memegang buku itu.
Ia mencoba mengetes ingatannya. Di mana
ia pernah memegang buku seperti itu. Ia mengingat-ingat tempattempat ia
bisa mengambil dan membaca buku. Akhirnya ia ingat di kamar Mari di
Subang Jaya, saat ia pertama kali tiba di Malaysia. Ia tersenyum bahagia
ingatannya masih tajam.
Ia buka buku itu. Halaman pertama. Dan ia
bagai tersengat listrik. Nama pemilik buku itu dan tanda tangannya sama
dengan yang ia baca di Subang Jaya: Laila Binti Abdul Majid, TTDL Kuala
Lumpur. Pikirannya langsung nyambung ke Prof. Datin Laila Abdul Majid.
Diakah
pemilik buku ini? Dan ia yakin buku yang ada di tangannya adalah buku
yang beberapa tahun lalu ia pegang di Subang Jaya. Lalu bagaimana buku
itu bisa sampai di rumah ini? Puluhan kemungkinan dan pertanyaan
berkelebat dalam pikirannya. Ia tak mau pusing. Ia merasa lelah dan
harus istirahat. Masalah buku itu bisa ia tanyakan pad a Pak Muslim
nanti.
Lima belas menit sebelum azan Ashar berkumandang ia telah
bangun. Pak Muslim telah duduk dengan pakaian rapi siap ke masjid di
ruang tamu.
"Bagaimana istirahatnya? Enak?"
" Alhamdulillah. Sudah segar kembali Pak."
"Berarti sudah siap bertemu Agustin ya?"
"Jadi malam ini Pak?"
"Lhaiyalah?"
"Cepatsekali."
"Kenapa berlambat-lambat jika bisa cepat."
"Di mana akan ketemu Pak."
"Di sini. Nanti habis Maghrib aku akan jempul mereka di Pertigaan Janti. Mereka naik bus Ramayana.
Setelah shalat Isya kita ad akan majelis ta'aruf di sini."
Hati
Zul bergetar hebat. Ia tidak pernah menyangka akan sangat cepat proses
untuk bertemu dengan calon isterinya. Pak Muslim meneguk air putih yang
ada di hadapannya. Zul kembali ke kamarnya untuk bersiap dan merapikan
pakaiannya. la kembali keluar dari kamarnya sambil membawa buku
bersampul biru tua itu.
"Dari mana dapat buku bagus ini Pak?" tanya Zul. Hatinya penasaran.
Pak Muslim mengulurkan tangannya. Zul memberikan buku itu pada Pak Muslim. Sesaat lamanya Pak Muslim mengamati buku itu.
"Isteri saya yang bawa."
"Dari mana dia dapat?"
"Saya tak tahu pasti Zul. Nanti malam saja kita tanyakan."
* * *
Usai
shalat Maghrib Pak Muslim meluncur ke Pertigaan Janti dengan Katana
tuanya. Zul memilih iktikaf di masjid sampai Isya. Sebelum azan Isya
berkumandang Pak Muslim sudah tiba di masjid dan memberitahu Zul bahwa
Agustin sudah ada di rumah.
"Jadi nanti pertemuannya alami saja Zul.
Kita pulang dari shalat dan mereka sudah menunggu di ruang tamu. Kita
langsung ngobrol dan bincang-bincang santai saja?"
"Saya cuma pakai sarung saja begini Pak?"
"Lha memangnya kenapa? Kalau pakai sarung apa terus hilang ketampananmu?"
"Nggak sih Pak. Nggak apa-apa."
"Agustin sekarang aku lihat agak berubah."
"Berubah bagaimana?"
"Jadi
lebih muda dan segar. Dulu waktu pertama kali bertemu bersama isteri di
Semarang, ia kurus, agak sayu dan tampak lebih tua dari umurnya."
"Kalau begitu bagus lah Pak."
"Ya, rejekimu Zul kalau kau punya isteri yang semakin tambah umur tapi wajahnya semakin tambah muda."
"Amin ya Rabb."
Azan
Isya dikumandangkan. Jamaah berdatangan. Shalat sunnah didirikan. Lalu
iqamat disuarakan. Shafshaf dirapikan. Dan sang Imam mengucapkan
takbiratul ihram. Zul mengikuti takbir Imam dengan hati bergetar. Shalat
jamaah didirikan dengan penuh kekhusyukan.
Dalam sujud Zul berdoa
agar dilimpahi kebaikan dunia dan akhirat, serta diberi pasangan hidup
yang menjadi penyejuk hati, teman sejati dalam mengarungi hidup
beribadah kepada Allah Azza wa Jalla.
Selesai shalat Pak Muslim dan
Zul melangkah pasti ke rumah. Semakin dekat dengan rumah hati Zul
semakin bergetar hebat. Ia akan bertemu dengan Agustin. Yang dalam
bayangannya akan menyejukkan hatinya. Zul sampai di halaman. Pak Muslim
melangkah duluan. Dari halaman ia bisa melihat dari terawang sela-sela
gorden, ada dua Muslimah berjilbab yang sedang berbincang di ruang tamu.
Namun tidak jelas. Jantungnya semakin keras berdegup. Ia berusaha
menguasai dirinya, dan menenangkan batinnya.
Pak Muslim sudah
mengucapkan salam. Dua Muslimah itu menjawab bersamaan. Zul mencopot
sandalnya. Pandangannya menunduk ke lantai. Pak Muslim masuk. la
mengikuti di belakang. la memandang ke depan. Dan...
Pandangannya
bertatapan dengan pandangan seorang perempuan berwajah bersih, wajah
yang dibalut jilbab putih bersih. Wajah yang pernah ia kenal. Mata yang
pernah ia kenal. Dan...
"Z...zul!" Dari bibir perempuan itu tersebut
namanya Ia berdiri mematung di tempatnya. Hatinya sesak oleh keharuan
luar biasa. Hawa dingin seolah menyebar ke seluruh syarafnya. Tak terasa
airmatanya meleleh. Lidahnya kelu.
Perempuan berwajah bersih itu adalah Mari.
"Ja..j.adi ternyata kau Zul!"
Zul tidak bisa bersuara. Ia hanya mengangguk dengan airmata berderai.
"Yang dimaksud temannya Pak Muslim ini kau Zul?"
Zul kembali mengangguk.
"Ini tidak mimpi kan?!" seru Mari.
"Ti...tidak
Mari. Tidak! Ini kenyataan!" Zul buka suara dengan tangis yang pecah.
Begitu mendengar kalimat yang keluar dari mulut Zul, Pak Muslim langsung
mengerti. Beliau meneteskan airmata. Hanya isteri Pak Muslim yang masih
bingung.
"Jadi kalian sudah saling kenal?" tanya isteri Pak Muslim heran.
Zul dan Mari menjawab serentak:
"I ya!"
Pak
Muslim menyuruh Zul duduk Mari tak kuasa membendung tangisnya. Isteri
Pak Muslim belum mengerti apa yang terjadi. Pak Muslim lalu menceritakan
apa yang terjadi pada Zul saat jatuh cinta pada Mari "Zul bilang
namanya Siti Martini." kata Pak Muslim.
Mari menyela "Benar, nama saya memang Siti Martini. Itu nama kecil saya."
Pak
Muslim lalu melanjutkan kisahnya Bagaimana Zul nyaris gila dan binasa.
Sampai akhirnya ia memanggil Zul dan memberinya tiga saran atau tiga
opsi.
Lalu Zul memilih opsi yang kedua, yaitu memilih menikahi Mari.
Ia dan Zul pergi ke Subang Jaya dan mendapati rumah telah kosong.
Seorang perempuan Melayu memberi tahu kalau Mari dan kawan-kawan
digrebeg karena dianggap bertindak asusila.
"Saat itu aku lihat Zul
sangat terpukul. Aku masih ingat bagaimana ia seolah tidak bisa percaya
atas apa yang dibacanya. Ia berteriak histeris 'Tidak mungkin! Tidak
mungkin ini terjadi!' Aku melihat bagaimana ia membaca lagi nama inisial
Siti M di koran itu dengan hati hancur.
Dengar nada putus asa Zul saat itu mengatakan, 'Sia-sia aku menolongnya. Sia-sia aku mencintainya.''
Mendengar
cerita Pak Muslim, tangis Mari menjadi-jadi. Perempuan berjilbab itu
jadi tahu betapa Zul sebenarnya sangat mencintainya. Bahkan sampai sakit
karena mencintainya. Dan sampai datang bersama Pak Muslim untuk
mencintainya.
Mari lalu berbicara dengan suara terbata-bata.
Menceritakan bagaimana dia sebenarnya sangat berharap Zul datang. Ia
lalu menceritakan kejadian pemerkosaan atas dirinya dan bagaimana Zul
menolongnya. Sejak itu ia merasa bahwa orang paling berhak menerima
pengabdiannya adalah Zul. Mari juga mengakui ia berubah total cara
hidupnya karena pesan Zul untuk terus mendekatkan diri kepada Allah. Pak
Muslim dan isterinya, ikut terharu mendengar kisah mereka berdua.
"Subhanallah.
Allah tidak mempertemukan di Subang Jaya Malaysia, tapi Allah
mempertemukan di Indonesia dalam kondisi yang lebih baik, yang lebih
barakah. Insya Allah." Kata Pak Muslim dengan berlinang airmata.
"Jadi tak perlu ada ta'aruf ini?" tanya isteri Pak Muslim.
Pertanyaan itu malah dijawab dengan derai airmata oleh Mari.
Semuanya kemudian diam. Masing-masing menyelami perasaan dan pikirannya sendiri-sendiri.
Keheningan tercipta sesaat lamanya. Zul teringatbuku bersampul biru tua. Ia beranjak ke kamar dan mengambilnya.
"Kalau boleh tahu bagaimana cerita buku ini. Buku ini rasanya pernah aku baca di Subang Jaya. Kok
sekarang ada di sini?" kata Zul.
Mari dan isteri Pak Muslim berpandangan. Mari merasa lebih berhak menjawab,
"Itu
buku milik Prof. Datin Laila Abdul Majid. Dosen sekaligus sahabatku.
Saat kaubaca di kamarku di Subang Jaya, saat itu aku masih kuliah
semester tiga. Aku kuliah di UKM mengambil part time. Sambil kerja."
Zul mengangguk. la langsung bertanya,
"Kenapa waktu kenalan dulu kau tidak menyebutkan dirimu mahasiswi? Kenapa malah mengenalkan sebagai pekerja?"
Mari mendesah lalu menjawab,
"Untuk
apa aku menonjol-nonjolkan kuliahku. Aku toh sama sekali tidak bohong.
Aku memang bekerja. Dan terus terang karena aku beranggapan pada waktu
itu sedang kenalan dengan orang yang mencari kerja. Dengan calon
pekerja. Bukankah dulu yang kautanyakan padaku adalah informasi tentang
pekerjaan. Dan kau juga, kenapa kau tidak pernah bercerita kalau kau
adalah mahasiswa di UM?"
Zul diam sesaat, lalu ia berkata lirih, "Jawabannya kira-kira sama denganmu."
Pak Muslim dan isterinya tersenyum.
"Oh
ya saya masih bingung. Namamu itu yang benar siapa tho? Zul
memperkenalkan dengan nama Siti Martini. Dia biasa menyebut Mari. Tapi
kau mengatakan pada isteriku dengan nama Agustina. Isteriku kalau
memanggilmu Agustin. Di koran kau pakai nama Asma Maulida? Banyak nama
samaran ya?"
Mari menata tempat duduknya dan menjawab,
"Baiklah
saya jelaskan. Semuanya benar. Artinya semua itu memang nama saya. Saya
lahir dengan nama Siti Martini, waktu kelas enam SD, ibu guru
membolehkan mengganti nama yang dirasa kurang cantik untuk ditulis di
ijazah. Ini agak lucu, tapi memang nyata.
Teman saya namanya
Sungatemi, biasa dipanggil Ngat, atau Ngatmi ia ganti jadi Salsabila Ayu
Ratnasari. la lalu minta dipanggil Ratna. Ada yang namanya Sukodor, ia
ganti jadi Anang Febrian, karena lahir di bulan Februari.
Saya
bingung. Nama saya Siti Martini, biasa dipanggil Mar. Saya ikut-ikutan
teman-teman, saya minta ibu guru membuatkan nama saya yang cantik dan
panjang. Ibu guru membuatkan nama Agustina Siti Mariana Maulida. Karena
saya lahir di bulan Agustus. Untuk nama pena sekarang ini saya sering
menggunakan nama Asma Maulida. Asma kepanjangan dari Agustina Siti
Mariana. Kepada kolega saya sekarang lebih mantap mengenalkan sebagai
Asma. Anggap saja Asma juga nama hijrah saya.
Tapi sebenarnya
tetaplah nama asli saya. Kepada teman di Bandung saya memperkenalkan
diri Agustin. Dan kepada para pekerja di Malaysia sama memperkenalkan
diri sebagai Mar, Mari atau Siti Martini."
"O begitu. Jadi lengkapnya Agustina Siti Mariana Maulida, M.Ec?"
"Iya begitu."
Malam
itu adalah malam yang sangat bersejarah dan membahagiakan bagi Zul dan
Mari. Mereka sepakat untuk menikah secepatnya. Dan dua minggu setelah
itu mereka mengikrarkan akad nikah di Sragen. Di desa kelahiran Mari.
Selanjutnya mereka hidup bersama dalam kesucian. Dan beribadah bersama,
saling mendukung dan menguatkan, sujud bersama dalam bingkai mahkota
cinta yang terbangun indah di atas mahligai iman dan takwa.
* * *